Karena sedang “hangat” dan ramai dibicarakan, saya ingin mengulas sedikit tentang sejarah dan implementasi kata “kafir” agar tidak disalahpahami dan digunakan untuk hal-hal yang bukan-bukan. Kata “k-f-r” dan padanannya (kafir, kufr, kuffar, takfir, kafirah, kafirun, dst) ini memiliki makna yang sangat plural, majemuk, dan kompleks.
Dari aspek sejarah dan perkembangan bahasa, kata k-f-r juga sangat fluktuatif dan tidak stabil penggunaannya. Perlu pemahaman dan pengetahuan yang dalam, luas, dan utuh untuk memahami akar kata dan sejarah penggunaan kata “k-f-r” ini yang dimaksudkan agar kita tidak mudah bilang “kopar-kapir” terhadap seseorang dan kelompok tertentu.
Meski jelas kata “kafir” adalah Bahasa Arab, tetapi kata ini jelas berakar dari Bahasa Hebrew (“kipper” atau “kofer”) atau Persia (“gaur” atau “gabr”) atau Aram (“gabra”) yang jauh lebih tua ketimbang Bahasa Arab. Menarik untuk disimak, dalam bahasa kuno India, Sanskrit, juga disebut kata “kapish” atau “kapis” yang maknanya kurang lebih sama dengan “kafir”. Dalam Bahasa Hebrew, kata “kipper” atau “kofer” memiliki sejumlah makna seperti menolak, menutupi, melenyapkan, merepresentasikan, mengtransfer, atau bahkan menebus atau tebusan, dlsb. Hal yang sama juga dalam Islam seperti nanti saya jelaskan.
Kata “k-f-r” juga memiliki padanan di berbagai bahasa seperti Turki (“gavur”), Albania (“kaur”), dan “Kafiristan” yang kini berubah menjadi Provinsi Nuristan di Afganistan. Masyarakat Muslim di Nuristan, menyebutnya “kapir” (seperti dalam Bahasa “Indonesia gaul”). Kata “kapir” di Nuristan ditujukan kepada “masyarakat pribumi” Kalash yang tinggal di kawasan pegunungan Hindu Kush yang memiliki agama, kepercayaan, dan kebudayaan berbeda dengan mayarakat Islam di daerah itu.
Rezim Turki Usmani (Ottoman) dulu menggunakan kata “giaour” atau “gawur” yang juga bermakna “kafir”. Kata ini khususnya ditujukan untuk masyarakat Kristen Ortodoks di Balkans, tapi bukan untuk kelompok non-Muslim lain (termasuk non-Kristen Ortodoks). Kata “giaour” ini diambil dari nama sosok “manusia monster” dalam novel Vathek: an Arabian Tale, karya William Beckford (terbit pada 1782), mungkin seperti “Tuan Takur” dalam film India.
Menariknya, Saudi dulu menyebut rezim Turki Usmani yang Muslim sebagai “kafir” penjajah Arabia, sementara Inggris yang “jelas-jelas kafir” malah tidak dikafirkan. Sama seperti Imam Khomaini atau Ahmadinajad yang mengafirkan Israel dan Amerika tapi tidak pada Uni Soviet / Russia maupun China. Kemudian, di Persi (“pre-modern Iran”), kata “gaur” atau “gabr” merujuk pada penganut Zoroastrianisme (atau Majusi dalam Islam). Di Afrika dulu lain lagi, kata “kafir” ditujukan untuk untuk masyarakat suku asli (native) seperti pernah ditulis oleh Dudley Kid, The Essential Kafir.
Sementara itu di era Kerajaan Sasani, kata “gabr” ditujukan untuk masyarakat petani di Mesopotamia. Menarik juga untuk disimak, salah satu arti kata “kafir” dalam Bahasa Arab adalah juga “petani”. Hal ini masih tercermin dalam Al-Qur’an, misalnya Surat Al-Hadid ayat 20: “Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani…”. Disini Al-Qur’an menyebut “kuffar” (jamak dari “kafir”) untuk “para petani”. Bukan “petani kafir” tapi kata “kafir” disini memang berarti “petani”. Jadi memang kata “k-f-r” ini sangat plural dan memiliki makna dan “konteks sosial” yang sangat kompleks dan beragam. Jadi, mulai sekarang, jangan suka sembarangan “mengafirkan” orang lain ya, entar dimarahi abi-umi lo?
Bagaimana penjelasan selanjutnya tentang “pluralisme kafir” dalam Islam, jangan kemana-mana, panteng terus di Facebook ini (bersambung).
Jabal Dhahran, Arabia
Penulis: Sumanto Al Qurtuby