Menarik untuk disimak, selain setan, hampir setiap masyarakat atau negara menggunakan nama-nama hewan untuk mengekspresikan kemarahan, kedongolan, atau untuk memaki, menghina, merendahkan, dan mengolok-olok orang lain, umat agama lain, penduduk negara lain dan seterusnya. Kenapa hewan yang “dikambinghitamkan”? Kasihan kambing kan: sudah hitam, dikambinghitamkan pula. Saya juga kasihan sama setan yang sering “disetanhitamkan” terus oleh manusia. Padahal kita sama-sama tidak tahu dan tidak pernah melihat wujud “si dia”. Di Jakarta mungkin sekarang karena lagi panas musim pilkada-pilkadaan, setan (dan teman-temannya termasuk demit, dajjal, tuyul, dll) dan hewan-hewan tertentu sedang menjadi “buah bibir” dan “ngetop” karena sering dilotarkan oleh para fans dan “cheerleaders” kandidat gubernur.
Mungkin Anda juga pernah mengalami, saya pun sama: sering dibilang anjing, babi, ulat blatung, dlsb. Kalau di kampungku dulu, ada dua hewan favorit untuk mengumpat: anjing (Jawa: asu) dan babi hutan (Jawa: celeng). Di Jawa Timur mungkin “jangrik” (contoh: “jangkrik kon” he he). Di Saudi atau kawasan Arab pada umumnya, hewan favorit untuk mengumpat bukan onta (“jamal”) tetapi keledai (“khimar”), ranking kedua adalah anjing (“kalb”). Kalau orang Arab bilang, misalnya, “Anta kal khimar” (Kamu seperti keledai) berarti sedang marah besar. Oleh masyarakat Arab, keledai dianggap sebagai “simbol binatang dungu”.
Sementara onta adalah hewan yang sangat berharga disini dan bisa menjadi simbol kelas sosial. Di sejumlah daerah non-urban, kekayaan dan status sosial diukur dari seberapa banyak orang mempunyai onta. Tidak seperti keledai, hewan berpunuk ini memang multi-fungsi dan menghasilkan banyak manfaat: bisa dimakan dagingnya, diminum susunya, dipakai kulitnya. Onta juga bisa menjadi kendaraan transportasi yang handal di padang pasir karena ia tahan panas dan hemat air, bukan hanya untuk tunggangan tapi juga untuk mengangut barang. Onta juga bisa digunakan untuk berlindung dari teriknya matahari atau dari serangan angin gurun. Di era modern, onta juga digunakan untuk “lomba adu tangkas” semacam “karapan onta” dan di sejumah kawasan Arab Teluk, “lomba balap onta” ini bisa menjadi ladang bisnis yang lumayan.
Menariknya, kalau di Indonesia, masyarakat lokal yang “kontra Arab” justru menyebut orang-orang Arab tertentu atau orang-orang yang berdandan ala Arab (khususnya “pasukan berjubah” yang hobi melakukan tindakan intoleran dan kekerasan) dengan sebutan “onta” bukan “keledai”. Dan menariknya lagi, para “Arab KW” terpancing dan tersinggung dengan sebutan “onta” ini. Padahal para “Arab Ori” biasa-biasa saja. Saya pernah cerita di kelas tentang fenomena ini, murid-murid Arabku malah ketawa-ketawa dan heran: “Kok, bisa marah dengan sebutan onta?” Jika para “Arab haters” menyebut “lawan-lawan” mereka dengan sebutan “onta”, maka para “Arab lovers” menyebut “lawan-lawannya” dengan nama-nama hewan favorit mereka: “babi” atau “anjing”.
Lain ladang, lain belalang; lain masyarakat, lain pula budaya dan ekspresi bahasa mereka. Kalau di Barat, menyebut “orang-orang bule” dengan anjing, mereka mungkin malah berterima kasih: “I am like a dog, oh so cute, thank you so much” (he he). Sebagian orang-orang Belanda atau Belgia (berbahasa Flemish), konon babi (“varken”) adalah simbol “orang-orang yang semrawut tak beraturan”, sedangkan “lambang kedunguan” adalah ana sapi (“kalf” atau “calf”). Di Russia, konon kambing adalah padanan kata untuk “asshole” atau mungin “dancuk” di Jawa Timur he he. Sementara dalam Bahasa Flemish, kata kambing sering dikombinasikan dengan kata perempuan seperti “stomme geit” alias “perempuan bego bin o-on”.
Jadi, kalau mau bepergian ke daerah lain apalagi ke negara lain harus hati-hati ya? Lebih baik dipelajari dulu dikit-dikit supaya tidak menimbulkan salah paham dan ketegangan. Selamat berakhir pekan.
Jabal Dhahran, Arabia
Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Tidak ada komentar:
Posting Komentar