Ini lanjutan kuliah virtual tentang "Bab Perbabian" yang sempat tertunda. Untuk sementara lanjutan pembahasan "Bab Perkafiran" saya tunda dulu sebentar. Seperti pernah saya singgung sebelumnya (silakan review postinganku sebelumnya), ada sejumlah teori yang dikemukakan oleh sejumlah pakar (sejarawan, arkeolog, antropolog) tentang fenomena punahnya babi dari mayoritas kawasan Timur Tengah (meski tidak semuanya).
Salah satu teori yang belum sempat saya kemukakan adalah tentang hadirnya ayam sebagai bagian penting dalam "subsistence system" masyarakat Arab dan Timur Tengah. Teori ini dikemukakan oleh Richard Redding, misalnya dalam tulisannya, "The Pig and the Chicken in the Middle East". Menurutnya, berdasarkan kajian antropologi sejarah dan didukung oleh sejumlah data arkeologis, "kehadiran" ayam menjadi faktor fundamental bagi lenyapnya hewan babi di Arab dan Timur Tengah pada umumnya.
Asal-usul ayam tentu saja bukan dari Timur Tengah tapi dari Asia Tenggara. Hewan khas Timur Tengah waktu itu adalah keledai, onta, domba, termasuk babi yang menjadi primadona masyarakat di kawasan ini. Kaum nomad dan pelayar / pelaut Asia Tenggara (termasuk "Indonesia" tentunya) yang memperkenalkan mahluk bernama ayam ke kawasan Arab/Timur Tengah ini melalui jalur dan jaringan perdagangan dan pelayaran Samudera Hindia.
Kehadiran ayam disambut dengan riang-gembira oleh masyarakat suku Timur Tengah di daerah pedesaan, sub-urban, dan Arab nomad (pastoral nomads atau nomadic pastoralists) yang hidupnya mobile, berpinda-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ada sejumlah alasan kenapa mereka lebih jatuh hati pada ayam daripada babi.
Pertama, ayam dipandang sebagai sumber protein yang jauh lebih efisien dari sisi ekonomi daripada babi. Tidak seperti babi yang yang boros makanan dan minuman yang juga dibutuhkan oleh manusia, ayam, karena perutnya kecil, hanya perlu sedikit makanan.
Kedua, ayam menghasilkan "sumber sekunder protein", yaitu telur. Ini tentu jauh lebih efisien. Ibaratnya: sambil menyelam minum air, sambil makan daging ayam, makan pula telurnya. Apalagi bulu ayam juga bisa dipakai untuk "korek kuping" he he.
Ketiga, ukuran ayam jauh lebih kecil ketimbang babi (kecuali "ayam kampus" lo ya yang mungkin ada yang bongsor he he) sehingga efektif dan efisien untuk dikonsumsi oleh keluarga dalam 24 jam kapan saja kalau lapar. Masaknya juga gampang, tidak perlu banyak alat. Kalau menyembelih babi repot karena dagingnya terlalu banyak dan belum ada kulkas untuk menyimpan. Kalau mereka menyembelih babi, sebagian daging harus ditukar dengan barang-barang lain (dalam antropologi istilahnya "reciprocal exchange") supaya tidak mubazir.
Keempat, ayam gampang diangkut kemana-mana (biasanya ditaruh di belakang punggung keledai atau onta) sesuai dengan kultur masyarakat nomad, sedangkan babi terlalu gembrot dan gak bisa jalan jauh berpindah-pindah. Babi juga tidak bisa dipakai sebagai alat transportasi seperti onta atau keledai. Jadi, fungsi babi seperti ayam, yaitu sebagai sumber protein saja. Oleh karena itu daripada memelihara babi yang boros dan ngrepotin, ya diceraikan saja si babi, lalu pindah ke ayam yang lebih "langsing" dan oke.
Sejumlah kajian antropologi juga menunjukkan suku-suku nomads di Arab dan Timur Tengah (seperti Beduin, Bahktiari, Luri, Qashqai, dlsb) memang memelihara ayam di tenda-tenda mereka. Mau percaya atau tidak dengan teori ini, terserah saja, emang gue pikirin? he he (bersambung)
Jabal Dhahran, Arabia
Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Tidak ada komentar:
Posting Komentar