Breaking News

Islam

Politik

Kamis, 31 Maret 2016

BU MEGA, SUDAHLAH

Apa yang hilang dari PDI-P sekarang ini ?
Sebut saja satu kata, Integritas. Integritas adalah konsisten mempertahankan nilai2, dan nilai yang hilang dari PDI-P sekarang ini adalah "membela wong cilik".
PDI-P lahir ditengah tekanan keras Soehato pada masa orde baru. Soeharto yang tidak ingin ada "sosok" yang melawannya, memecah PDI menjadi dua bagian, PDI versi Soerjadi dan PDI versi Megawati. Dan sebagai sosok yang mengancam, maka Megawati harus disingkirkan dan puncaknya adalah peristiwa penyerangan kantor PDI 27 Juli 1996.

Tekanan2 tersebut membuat nama Megawati berkibar sebagai "tokoh perlawanan" terhadap kepemimpinan Soeharto. Massa yang sudah jenuh dengan Soeharto yg otoriter masuk dan mengisi ruang2 di tubuh PDI Perjuangan. PDI-P lahir sebagai sebuah aksi perjuangan.

Megawati Soekarnoputri

Besarnya tubuh PDI-P ternyata tidak membuat jiwa mereka juga besar. Arogansi sebagai partai pemenang kursi parlemen di banyak daerah, membuat mereka bertingkah seperti orang kaya baru. Tindakan2 mereka menjadi aneh di mata masyarakat, berlawanan dengan harapan yang selama ini ditanamkan.
Wong cilik bagi PDI-P bukan lagi menjadi komunitas yang dibela, tetapi dimanfaatkan seluas2nya. Mereka memegang pasar2 kaget dan tempat2 kumuh hanya untuk memperoleh suara sekaligus mengutip setoran2. Yang terjadi di banyak tempat di Indonesia adalah ketidak-teraturan tata kota. Dan ini dibiarkan belasan tahun lamanya.

Kader2 mereka banyak yang bobrok dan berakhir di penjara. Apa yang dulu mereka perjuangkan seakan hilang, diganti dengan ketamakan, arogansi, pemanfaatan dan banyak hal lainnya. PDI-P tumbuh menjadi organisasi yang setara dengan Soeharto dari sisi keganasan-nya.

Kejenuhan masyarakat terhadap PDI-P semakin lama semakin memuncak. Untungnya PDI-P tertolong dengan kemampuannya memainkan kartu dengan mengangkat orang2 yang punya integritas dalam menjabat. Tetapi anehnya, sesudah diangkat mereka juga yang berusaha menjatuhkannya.
Teringat dulu bu Risma yang diusung PDI-P untuk menjabat sebagai walikota, malah mau di-impeach ketika beliau menentang tol tengah kota. Dan salah satu motornya adalah kader PDI-P sendiri. Begitu juga kebijakan2nya di parlemen RI yang bertentangan dengan misi Jokowi, kadernya sendiri, untuk menciptakan pemerintah yang pro-rakyat dengan sibuk memaksakan BG sebagai Kapolri, menyingkirkan Abraham Samad sbg ketua KPK dan menjadi motor revisi UU KPK.

PDI-P ini sebenarnya mau kemana ?
Arogansi PDI-P mereka tampakkan lagi ketika mereka sibuk menentang Ahok yang mereka anggap tidak sopan. Padahal cara mereka mengulur waktu akan melemahkan posisi Ahok sendiri, dan ada kemungkinan itulah yg dilakukan PDI-P, untuk menjatuhkan Ahok, mengingat kader mereka di DPRD DKI selalu bertentangan dengan kebijakan Ahok. Mereka berkata mendukung Ahok sebagai langkah mengulur waktu untuk menaikkan posisi tawar.
Sesudah Ahok paham dan menetapkan dirinya di jalur independen, seperti anak kecil PDI-P sibuk dengan istilah deparpolisasi, dimana partai tidak dianggap sebagai partner penting. Mereka tiba2 ribut dengan jalur independen yang dibilang liberal, padahal mereka jugalah yang menyusun dan menetapkan sistemnya.
PDI-P entah maunya apa...

Saya yakin masih banyak orang2 baik di PDI-P yang ingin menyeimbangkan situasi dan menyelamatkan kondisi partai, tetapi mereka kesulitan ketika keputusan akhir ada di tangan bu Mega yang dikelilingi pembisik2 yang punya kepentingan sendiri.
Bu Mega sudah terlalu lama diatas, berkuasa 17 tahun lamanya. Berada pada posisi puncak sekian lama, tentu akan berpengaruh pada psikologis, hal yang sangat manusiawi. Lelah dengan perasaan berkuasa selamanya, membuat beliau begitu mudah dipengaruhi. Belum ditambah kecurigaan2 akan ada yang mendongkel-nya dari orang2 dekatnya. Bagi mereka yang punya kepentingan pribadi, bu Mega terus dipaksa menjadi simbol untuk mengamankan apa yang mereka ingini. Kasian sebenarnya, tapi itu juga yang beliau sukai.

Tanpa sadar bu Mega perlahan2 berubah menjadi Soeharto, orang yang pernah menjadi musuh besarnya. Seperti sebuah karma, kutukan yang tidak bisa dihindari.
Bersyukurlah kita yang masih menjadi manusia biasa dan tidak terus menerus di posisikan sebagai dewa. Karena rasionalitas kita masih terjaga dengan semua kekurangan kita.

Butuh secangkir kopi untuk membaca ini, tapi butuh2 bercangkir2 untuk memahaminya.

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Selasa, 29 Maret 2016

NASDEM, CIYEE.. CIYEEEE...

Perubahan zaman tidak bisa ditolak. Mereka yang beradaptasi dengan situasi dan pintar memanfaatkan peluang-lah yang akan bertahan.
Saya teringat ketika seorang teman yang mempunyai radio AM besar begitu jumawanya tidak mau pindah dari frekwensinya. "Untuk apa ? Jangkauan AM jauh lebih luas. Kita bisa kaya dari sini saja, dari sandiwara radio. FM itu terbatas daya pancarnya dan tidak bisa menjangkau wilayah seluas AM. Ya, suaranya memang lebih bagus, tapi suara bagus tidak menghasilkan uang yang banyak..."
Dan terbukti temanku salah besar.

Ahok
Perubahan zaman membuat segmen2 pendengar berubah. Sandiwara radio sdh tidak menarik, mereka lebih tertarik dengan apa yg terjadi di kotanya sendiri drpd situasi di kota org lain. Kualitas suara juga menentukan pilihan mereka. AM ditinggal dan FM menjadi raja jalanan. Sekuat2nya temanku bertahan, ia ambruk juga. Baru kudengar bahwa ia-pun sekarang sudah bisa pindah ke FM, tapi terlambat sudah, sekarang era-nya media sosial.

Situasi global yang sama kita lihat ada pada sisi telepon genggam. Dulu Nokia merajai dunia, bahkan di Indonesia siapa sih yang tidak kenal Nokia ? Karena besar, mereka menjadi jumawa. Lupa berbenah diri dan melihat perubahan2. Akhirnya mereka habis dihantam blackberry, dan tambah habis disikat android. Nokia akhirnya menyediakan dirinya di akuisisi Microsoft yang langsung memecat 7 ribu lebih karyawannya.
Jepang yang dulu merajai teknologi, perlahan2 pun jatuh dihantam Korea. Mau bagaimana lagi ? Mereka terlalu besar, terlalu lamban, terlalu sombong. Mereka mengandalkan sistem yg selama ini mereka pakai dengan kebanggaan tinggi, "sistem inilah yang membesarkan kami..". Ibarat balon gas, mereka terbang tinggi dan jatuh melempem ke tanah karena kehabisan udara.

Inilah yang akan terjadi pada PDI-P.
Besar, lamban, gemuk, berlemak membuat mereka tidak lincah. Sombong, arogan, membuat mereka berjalan dengan sangat pelan. Malas dan terlallu lama duduk nyaman.
Nasdem melihat peluang ini dan mulai menyalip di tikungan. Mereka partai kecil yang harus bertahan hidup di tengah para dinosaurus. Mereka tidak punya beban karena tubuhnya ramping dan memungkinkan mereka bergerak dengan cepat tanpa penuh birokrasi.

Mereka tahu bahwa era politik sekarang berubah. Tokoh2 yang popular dan berintegritas sudah menjadi pilihan masyarakat cerdas. Mereka curi start. "Pegang Ahok.. Bantu dia.." Maka orangpun melirik mereka.
Apa yang diharapkan Nasdem ? Toh, Ahok juga bukan tipikal orang yang suka bagi2 setoran ?
Ini rally panjang. Efeknya bukan sekarang, tapi pemilihan legislatif di tahun2 mendatang. Nasdem sedang membangun brand sebagai partai yang bersih pendukung tokoh2 bersih. Tujuan mereka mendudukkan orang2nya di parlemen dan mengambil alih kekuatan. ibarat perusahaan multinasional, visi mereka bukan untuk 5-10 tahun mendatang, tetapi sampai 50 tahun ke depan.

Ini bukan tentang radio, bukan tentang telepon genggam apalagi tentang partai. Ini tentang pelajaran, bagaimana perasaan terlalu nyaman akan menjatuhkan sesuatu sampai berdebam. Sudah bukan lagi mereka yang kuat adalah pemenang. Eranya berubah, mereka yang mampu berselancar dengan perubahan-lah yang kelak akan berada di depan.

Seperti kata temanku saat kami minum kopi bersama, "Catat ya, semua akan ciee ciee pada waktunya..."
Entah apa maksudnya.. Mungkin kopinya ketumpahan garam.

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Minggu, 27 Maret 2016

GELOMBANG SEJARAH MENERPA JAKARTA

Warga Jakarta sedang memulai sejarahnya sendiri. Itu yang saya rasakan. Keputusan Ahok maju via jalur independen telah membalik seluruh logika kekuasaan saat ini.
Jika dulu parpol merasa pede, bahwa setiap kandidat harus unggah-ungguh mengharap dapat tiket Pilkada, lengkap dengan maharnya. Kini tidak lagi. Kandidat-kandidat terbaik, hanya perlu menunjukan kinerja, integritas, track record dan komitmennya pada NKRI.
Setelah itu, rakyat yang akan mengusungnya. Rakyat yang akan berjuang untuknya. Rakyat yang akan berkeringat.

Sudah tidak jamannya lagi keputusan tentang nasib rakyat hanya dibahas dalam ruang-ruang sempit, di atas meja para elit. Sudah bukan jamannya lagi rakyat hanya dipandang sebagai objek politik yang digiring seperti domba ke bilik-bilik pemilihan suara.

Sesungguhnya rakyat adalah subjek. Rakyat adalah penentu. Dan itu dibuktikan relawan Ahok. Dibuktikan oleh anak-anak muda, ibu-ibu rumah tangga, para buruh, pedagang asongan, para pekerja profesional warga Jakarta. Dibuktikan oleh mereka yang selama ini dianggap apolitis.
Apa yang dilakukan relawan Ahok bukan hanya untuk Jakarta. Gemanya akan terdengar sampai Papua, Aceh, Kalimantan, Maluku, Sulawesi. Semangatnya merambat ke seluruh Indonesia. Bahwa kita --sebagai rakyat-- adalah penentu masa depan kita sendiri!

Mereka bukan hanya sedang berjuang untuk mendudukan Ahok ke kursi Gubernur. Mereka sedang melawan kepengapan politik yang makin hari makin menyesakkan.

Mereka sedang berjuang untuk melawan oligarki partai dan kesombongannya. .
Mereka sedang berjuang melawan politisi yang merasa lebih berjasa daripada tetesan keringat rakyat.
Mereka sedang berjuang melawan para elit yang merasa lebih berhak memutuskan persoalan rakyat, ketimbang rakyat itu sendiri.
Mereka berjuang melawan bos-bos besar yang selama ini kongkalikong merampok duit rakyat.
Mereka juga sedang berjuang untuk melawan pemecah belah bangsa yang menunggangi isu-isu agama. Membenturkan muslim dan non-muslim, lalu memungut untung dari konflik agama.
Mereka sedang berjuang melawan para pengasong yang menjual ayat Tuhan untuk kepentingannya sendiri.
Mereka sedang berjuang melawan orang picik yang masih teriak soal pribumi dan non-pribumi. Soal putra daerah atau bukan. Soal warga asli atau pendatang.
Mereka sedang berjuang untuk sebuah keterbukaan politik. Untuk perimbangan kekuatan baru.
Tidak ada jalan yang mudah untuk sebuah revolusi. Tapi langkah sudah dimulai. Dan sejarah sedang ditulis di langit Jakarta.

Saya tidak mau jadi penonton yang bertepuk riuh di pinggir gelanggang. Saya merasa berkepentingan terlibat bersama mereka. Dengan segala keterbatasan saya.

Pilgub DKI Jakarta

Saya ingin bersama-sama mereka untuk merayakan perubahan.
Demi cita-cita berbangsa. Demi masa depan anak-anak saya. Meski saya cuma warga Depok, yang cari nafkah di Jakarta...

Penulis: Eko Kuntadhi
Read more ...

Jumat, 25 Maret 2016

PENDEKAR TANPA WAJAH

Abang becak baik hati berpakaian lumayan gaya bertopi pendekar (begitu yang suka saya lihat di komik-komik -pendekar sakti dg wajah tersembunyi di balik topi tudung) ini sedang menolong sesama pengayuh becak lainnya ketika melintasi rel.

Empat rel sejajar di jalan ini membuat morfologi jalan sedemikian rupa dan besi-besi baja rel menonjol sehingga menyulitkan becak berpenumpang melintasinya. Di sini biasanya pengayuh becak pasti akan turun dari sadelnya lalu mendorong dari belakang, tetapi itu sering tak mulus malahan becak suka oleng hampir guling ketika roda becak menggilas rel dengan cara tak tepat. Bila itu susah, abang becak akan pindah menarik becaknya dari depan.

Dan usaha itu dilakukan dengan "stres" tertentu sebab kereta sudah terlihat mau lewat, ditimpali oleh bunyi riuh sirene kereta mau lewat. Belum lagi yang melintas itu banyak sekali: pejalan kaki, motor, becak, dan pasti 'crowded' sebab ini area pasar kaget. Saya kalau dalam kondisi begitu, akan turun saja dari becak dan ikut menghela becak dari depan.

Pendekar Tanpa Wajah

Maka ketika tadi pagi ada seorang "pendekar" tanpa wajah tiba-tiba melompat dan dengan sigap menarik becak dari depan membantu seorang penarik becak dengan usia sekitar 50-60 tahun yang tengah stress berusaha melintaskan becak berpenumpang menyeberangi empat rel, ini pemandangan yang nyaman dilihat.
Saling membantulah kalian sesama rekan seprofesi....

Penulis: Awang Satyana
Read more ...

Rabu, 23 Maret 2016

Jamaah Salat Jum'at di Masjid Dhahran

Masjid Dhahran adalah nama sebutan untuk "masjid jami'" di kampusku. Sepertinya ada puluhan masjid di area kampus ini. Itu belum termasuk mushala-mushala kecil yang hampir ada di setiap gedung di kampus. Masjid Jami' adalah sebutan untuk "masjid raya" tempat untuk berkumpulnya salat-salat tertentu seperti salat Jum'at, salat Idul Fitri & salat Idul Adha. Meskipun banyak masjid, hanya di Masjid Dhahran ini untuk Jumatan.

Karena penduduk kampus dari berbagai suku-bangsa, negara, dan mazhab Islam, maka kebayang kan bagaimana warna-warninya para peserta Jumatan: pakaiannya, tata-cara salatnya. Dari segi busana misalnya, ada yang memakai jubah Saudi, jubah Sudan, gamis Pakistan (shalwar kameez), sarong Yaman, jeans, baju, kaos, training, bahkan celana pendek atau kolor yang hanya menutup lutut. Memang sih "aurat" laki-laki cuma sampai lutut jadi secara teori, salat tidak masalah asal lutut tertutup. Penutup kepalanya juga beraneka ragam. 

Karena kaum Muslim di kampus berasal dari berbagai mazhab dalam Islam, tata-cara salatnya pun warna-warni: takbirnya, sedakepnya, rukuknya, takhiyatnya, duduknya, gerakan kepalanya, bahkan cara ngacung jari telunjuk juga berlainan (ada yang diam-lurus, ada yang utak-utik, ada yang mlungker dlsb).
Meskipun berbeda-beda tetapi rukun tidak saling mengklaim kebenaran tafsir dan "kemurnian" pakaian dan tata-cara salat. Masuk masjid sama-sama, keluar masjid pun sama-sama uyel-uyelan. Indahnya sebuah kebersamaan dan saling pengertian, bukan? Kita boleh saja meyakini "tafsir agama" kita setengah mati tetapi jangan paksakan tafsir kita itu kepada orang lain. Banyak orang sebetulnya mempraktekkan dan membela mati-matian sebuah "tafsir agama", bukan agama itu sendiri, tafsir tentang Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.

Sumanto Al Qurtuby
[Catatan; ini "postingan perdana" setelah FB-ku koma sekian lama diserbu oleh para "zealot agama"]

Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Read more ...

Senin, 21 Maret 2016

AKU MUSLIM, KAMU MUSLIM TAPI KOK KAMU REPOT?

Jadi Muslim Itu Repot Ya

Kau bilang umat Islam itu bersaudara tapi kenapa kau musuhi saudaramu sendiri? Kenapa kau hujat dan caci-maki saudara-saudaramu? Kenapa kau rusak dan jarah properti milik saudaramu? Kenapa kau usir saudaramu? Kenapa bahkan kau dengan suka-rela membunuh dan memerangi saudaramu? Kenapa? Kenapa?


Kau bilang umat Islam akan selamat kelak di akhirat tapi kenapa kau sesatkan mereka? Kenapa kau kafirkan mereka? Kenapa kau musyrikkan mereka? Kenapa kau "luruskan" mereka? Kenapa kau "najiskan" mereka? Kenapa? Kenapa? 

Kau bilang kaum Muslim itu umat yang sudah mendapat "hidayah" tapi kenapa kau anggap Muslimah tak berjilbab belum mendapat hidayah? Kenapa kaum Muslim lain yang hanya berbeda pemikiran & pakaian dengan kalian dianggap belum mendapat hidayah? Kenapa? Kenapa?
Kau bilang umat Islam itu akan masuk surga tapi kenapa kau justru nerakakan meraka? Maumu itu apa? Islam yang bagaimana?

Tidak punya jenggot kau suruh berjenggot. Sudah berjenggot kau bilang kurang panjang. Sudah berjubah kau bilang kurang cingkarng. Kau suruh Muslimah berjilbab. Sudah berjilbab kau bilang kurang "syar'i". Maumu itu apa? Islam yang bagaimana?

[Catatan: Orang bodoh sedang bertanya, silakan bantu jawabannya...]

Penulis:Sumanto Al Qurtuby
Read more ...

Minggu, 20 Maret 2016

JAKARTA! BERHENTILAH JADI PEMUNGUT REMAH ROTI

Serangan terus dibombardir ke Ahok. Di ranah hukum, ada aliansi masyarakat mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK, agar lembaga anti korupsi itu cepat-cepat menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus RS Sumber Waras.

Padahal praperadilan biasanya diajukan oleh tersangka yang merasa aparat hukum salah dalam menindak, sebelum kasusnya naik ke persidangan. Jadi menggugat biasanya adalah pihak tersangka.
Nah, kalau yang ini kebalik. Justru maunya agar aparat hukum menjadikan Ahok tersangka untuk kasus Sumber Waras. Lho, kalau belum cukup alat bukti? Ya, gak apa-apa. Yang penting tetapkan dulu sebagai tersangka. Dengan begitu, Ahok akan gagal maju dalam Pilkada.

Ahok

Penjegalan terhadap Ahok juga datang dari DPR. Komisi II DPR yang berencana merevisi UU Pilkada. Salah satu rencananya menaikkan syarat dukungan untuk calon independen. Sebelumnya 7% sd 10% akan dinaikan menjadi 20%.

Jika UU itu jadi direvisi, dibutuhkan 1,4 juta dukungan agar Ahok bisa maju via jalur independen. Angka itu termasuk moderat. Jika mau aman banget, ya minimal 2juta dukunganlah.
Sedangkan jadwal pendaftaran pasangan calon harus masuk Agustus 2016 ini. Sekarang jumlah dukungan riil untuk Ahok mencapai 900 ribu. Bisakah kelompok relawan Ahok mengumpulkan 1juta dukungan tambahan dalam waktu 5 bulan?

Partai-partai itu mau menjegal Ahok, karena demam Pilkada Jakarta pengaruhnya akan sampai ke seluruh Indonesia. Apalagi ini Pilkada serentak. Jika banyak tokoh hebat daerah meniru jalan Ahok, bisa-bisa harga mahar per partai akan jauh berkurang. Dan pundi-pundi partai kosong melompong.
Jadi semua tergantung Anda, warga Jakarta. Jika dalam 5 bulan ini Anda hanya diam, jangan salahkan kalau pesta mereka tidak akan berhenti. Lalu kita cuma kebagian membersihkan ruangan bekas pesta, memunguti sisa-sisa remah roti di lantai. Untuk sarapan esok pagi.

Jika mau dianggap setara dan diundang sebagai tamu terhormat, cepatlah ke mall atau ke mana saja tempat stand Teman Ahok berdiri, Isi formulir dukungan. Itu artinya Anda sedang ikut mengusahakan perubahan. Ikut menaikan harkat Anda sebagai rakyat. Bukan cuma jadi tukang pungut remah roti.
Kini Ahok seperti berhadapan dengan hampir seluruh elemen politik di Indonesia. Dia dianggap lalat penganggu, yang merecoki pesta para politisi..

Ahok dan Teman Ahok juga harus mau membuka diri dengan berbagai kelompok relawan lain. Sebab kekuatan penjegalnya seperti tembok Berlin yang sulit diruntuhkan.

Tapi percayalah, sejarah membuktikan, bekas reruntuhan tembok itu kini cuma jadi souvenir...

Penulis: Eko Kuntadhi
Read more ...

Sabtu, 19 Maret 2016

PARTAI POLITIK PERANG DI PILGUB DKI

Salah satu tujuan Partai Politik adalah mengakomodasikan kadernya untuk memimpin dan menjalankan roda pemerintahan.
Bila si kader melanggar hukum atau menghambat putaran roda pemerintahan maka partainya akan kena maki oleh rakyat, dan sebaliknya bila si kader bekerja baik maka keharuman nama partai akan naik.
Ketika Ahok menyatakan keluar dari Partai Gerindra yang mendukungnya menjadi Wakil Gubernur DKI mendampingi Jokowi, kita bersorak karena memiliki seorang pemimpin yang memiliki pendirian kokoh dan tidak mau disetir oleh partai. 

Statement saat itu yang bilang bahwa Ahok hanyalah kutu loncat ternyata telah dipatahkan oleh beliau yang lebih memilih jalur independen untuk maju ke pilkada DKI.
Resikonya, bila Teman Ahok gagal melengkapi persyaratan KPU DKI maka Ahok pun akan gagal mengikuti pertarungan pilkada. Bila hal itu terjadi, maka pada saat itu saya berharap orang seperti Ahmad Dhani atau Farhad Abbas menjadi orang nomor 1 di DKI.


Semestinya kita sudah bisa melihat bahwa Ahok bukanlah orang yang bisa dipermainkan / disetir parpol, Ahok tidak bisa kompromi dengan koruptor yang hampir seluruhnya berasal dari kader Parpol, dan satu lagi Ahok bukanlah orang yang Gila Jabatan.
Ahok tidak pernah takut untuk tidak popular apalagi kehilangan jabatan. Beliau mendobrak keangkuhan anggota DPRD yang selama ini tak tersentuh ketika mempermainkan APBD. Seandainya beliau lengser, minimal beliau telah membeberkan kebobrokan kinerja para wakil rakyat bukan cuma kepada warga DKI tetapi juga kepada seluruh rakyat Indonesia.

Ribuan bahkan jutaan orang yang bukan warga DKI mendambakan karakter pemimpin seperti Ahok dan mengharapkan Ahok dapat menjadi Gubernur di wilayah mereka.
Keputusan PDIP untuk menolak Ahok dengan alasan menentang deparpolisasi sebenarnya suatu keputusan yang tidak elok.





Ahok-Heru
Mereka tidak dapat melihat (atau pura pura tidak melihat) bahwa rakyat Indonesia sebenarnya sudah muak dengan para wakil mereka di DPR. Kata "Oknum" hanyalah alasan klise yang selalu diucapkan ketika kadernya tertangkap karena kasus korupsi.

PDIP....... PDIP....... jujurlah dan akuilah bahwa kalian menang dalam Pemilu lalu bukan karena rakyat mencintai partai kalian, tetapi rakyat menginginkan dan memilih Jokowi sebagai Presiden RI.
Parpol yang baik adalah parpol yang lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat Indonesia ketimbang mementingkan parpol itu sendiri.

Salud dan terima kasih untuk Nasdem yang mendukung Ahok melalui jalur independen tanpa syarat.
Saya yakin Ahok - Heru akan memimpin DKI.
Selamat malam dan sejahtera selalu.

Penulis: Raymond Liauw
Read more ...

Kamis, 17 Maret 2016

ANTARA TERE LIYE, JONRU & ENNY ARROW

Di wall saya bersliweran kayak tikus2 di malam hari membahas tentang Tere Liye.
Saya akrab dgn nama ini, tapi jujur saja sy tidak pernah membaca karyanya. Katanya doski penulis terkenal yang novelnya selalu best seller. Page-nya di like 1 juta orang. Dan beliau di bully karena statusnya yang akhir2 ini sangat agamis tp sempit. Semua dihantamnya dengan agama tanpa latar belakang pengetahuan yang memadai. Denger2 Tere Liye itu nama samaran, aslinya sih Darwis.
Saya jadi ingat Jonru. Penulis ini juga sangat berbakat. Ia berhasil membawa fans fanatiknya ke ranah pembenaran atas nama agama dan politik. Page nya juga di like 1 juta orang. Banyak yang meng-imani-nya, meski tidak mau membeli sprei-nya.

Dan meski beda model, satu kesamaan mereka adalah mereka mempunyai pengikut fanatik, yang selalu mengikuti tulisan2nya.

Tapi, meskipun begitu, penulis yang sangat saya kagumi sepanjang masa adalah Enny Arrow.
Jika Tere Liye dan Jonru membuka identitas dirinya, Enny Arrow adalah penulis misteri sampai saat ini. Tidak ada yg tahu apakah ia perempuan atau lelaki atau mungkin hewan yang pintar.
Namanya ada dimana2. Di belakang bangku2 sekolah, di wc2 yang terkunci berlama2, di kamar2 yang hening, di bus2 dalam kota di lempitan majalah. Ia ada dimana2. Bahkan mungkin Enny Arrow sudah bukan lagi Enny Arrow. Namanya di-kopi dimana2 tapi penulisnya sudah bukan dia yang aslinya.

Berapa fans-nya Tere Liye dan Jonru ? Sejuta ? Dua juta ? Duh jelas gada apa2nya. Enny Arrow mempunyai pembaca fanatik hampir seluruh remaja era 80-90'an. Itu berarti belasan bahkan puluhan juta orang. Dan tambahkan dengan puluhan miliar sperma yang keluar ingin membaca karena saking fanatiknya. Enny Arrow bukan hanya punya pembaca, ia punya generasi. Dahsyat.

Selain punya generasi, Enny Arrow juga punya quote-quote yang me-legenda. Menggelinjang, rumput manila, desah nafas memburu, menggelosoh, tante binal dan segala macam "bahasa sastra" yang membuat celana sempit dan akhirnya basah. Enny Arrow bukan hanya membuat pembacanya membaca, tetapi juga menggeliat.

Mahapati Jonru


Dan tidak ada satupun yang meng-kritik tulisan Enny Arrow. Semua setuju karena mereka punya imaginasi yang berbeda pada setiap kata-katanya. Beda dengan sekarang, yang sudah tersedia dalam gambar bergerak dan tidak membutuhkan imaginasi yang luas.

Satu kata yang ingin saya sampaikan kepada mas atau mbak Enny Arrow sambil mengangkat secangkir kopi hitam dan panas. "Terima-kasih sudah membuat kami lebih cepat dewasa..."

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Selasa, 15 Maret 2016

KALAU SAYA GUBERNUR DKI


Jabatan Gubernur DKI dapat juga disamakan dengan Presiden “Kecil” RI yang cakupan wilayahnya Ibukota Jakarta dan juga berpengaruh pada wilayah sekitar di luar Jakarta (Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok, .....).
Walaupun pilkada DKI masih beberapa bulan lagi tapi semaraknya melebihi guntur di malam hari.
Kenapa banyak politikus sangat berhasrat dan berambisi untuk menjatuhkan dan menggantikan Ahok menjadi orang nomor 1 di DKI ??

Ahok, Calon Gubernur DKI Jakarta 2017-2022

Kalau kita lihat APBD DKI yang menduduki peringkat atas se-Indonesia dalam jumlah yaitu Rp.65,7 T sepertinya hanya sekitar 2,7 kali dibanding Jawa Barat sebagai peringkat kedua dengan jumlah Rp.24,8 T. Tetapi bila kita teliti lebih jauh dengan melihat populasi tahun 2013, di DKI terdapat sekitar 10 juta jiwa sedangkan Jawa Barat sekitar 46 juta jiwa.
Maka, secara kasat mata kasar kita melihat bahwa di DKI dengan APBD sebanyak Rp.65,7 T untuk melayani populasi 10 juta jiwa, sedangkan di Jawa Barat APBD nya Rp.24,8 T untuk melayani 46 juta jiwa. Suatu perbedaan yang sangat menyolok.

Saya membayangkan seandainya saya menjadi Gubernur DKI, saya akan meneruskan program Gubernur sebelumnya dan sedikit demi sedikit sayapun akan menelurkan PerGub baru mengganti PerGub lama untuk memupuk dan menjaga wibawa saya.
Tidak ada gunanya berdebat dengan para anggota DPRD karena seperti yang Pak Jarot bilang bahwa Legislative dan Executive harus bekerja sama dan memiliki komunikasi yang baik, yang penting aman damai tidak ada pertengkaran / perdebatan apalagi sampai tuntut menuntut ke KPK seperti yang terjadi pada masa kepemimpinan Ahok.

Pokoknya saya jamin hubungan PNS PemProv DKI dengan anggota dewan akan sangat harmonis layaknya pelangi yang memiliki aneka warna tetapi indah.
Saya pun juga masih membutuhkan ormas ormas radikal untuk membantu kegiatan saya sehari hari. Toh…. para anggota mereka dan keluarganya memerlukan nasi bungkus untuk memenuhi perut sehari hari.
Salah satu kesalahan Ahok adalah beliau terlalu banyak memecat PNS, semestinya biarkan saja PNS melakukan pungutan liar toh warga Jakarta sudah terbiasa sogok menyogok. Di samping itu PNS kan juga butuh penghasilan tambahan apalagi kalau yang punya istri lebih dari satu, lumayan untuk modal cari istri baru.

Saya melihat di Jakarta masih banyak sekali jomblo yang planga plongo di akhir pekan. Makanya saya akan menawarkan para pengembang property untuk mendirikan café sebanyak banyaknya. Siapapun pengembang yang memiliki hubungan dekat dengan saya akan memenangi tender, minimal saya kenal baik dengan pribadinya, sebagai wujud tanggung jawab saya kepada warga DKI. Begitupun dengan pemberian izin membangun apartment untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal warga DKI, saya pun akan memilih pengembang yang memiliki hubungan dekat dengan saya.

Dalam hal penggunakan APBD agar terserap full 100%, saya pasti akan melakukan “komunikasi dan merangkul” anggota dewan seerat mungkin untuk mengelabui warga DKI yang bodoh dan agamais untuk mencicipi 10% dari APBD DKI. Bila berhasil, maka 9% atau Rp.5,913 T akan saya berikan kepada para anggota dewan, sedangkan yang 1% atau Rp.657 M akan menjadi “uang pensiunan” saya.
Saya yakin semua orang tau kalau saya bukan dewa yang bisa melawan banjir atau kemacetan yang sudah biasa terjadi di kota kota besar. Biarlah semua berjalan dengan sendirinya, warga Jakarta juga akan memaklumi saya seperti mereka memaklumi para Gubernur DKI sebelum sebelumnya.

Indahnya hidup ini, bekerja santai tanpa perang urat syaraf apalagi mencaci maki, juga dapat gaji bulanan secara rutin selama lima tahun. Setelah itu saya akan memiliki uang “pensiunan” sebanyak Rp.657 M. Belum lagi beberapa ratus milyard rupiah hasil cipretan cipretan keuntungan dari para pengembang property yang sudah saya beri kemudahan dalam beroperasi selama saya menjabat sebagai Gubernur DKI.
Bagus bagus saya masih punya hoki dikirim ke luar negeri menjadi Duta Besar untuk Indonesia seperti pak Kumis - Fauzi Bowo.

Saya adalah seorang dermawan dan janganlah heran bila saya sumbangkan Rp.100 M untuk membangun banyak rumah ibadah. Mengutip pendapat Bapak Fuad Amir mantan Bupati Bangkalan “anggap saja uang yang kita terima tersebut adalah rejeki dari Allah”.
Itulah cita cita saya. Memegang jabatan Gubernur DKI adalah suatu amanah dari warga DKI yang harus dipegang teguh demi kepentingan dan kesejahteraan warga DKI termasuk keluarga saya dan kroni kroni saya tentunya.

Mohon doa restu agar saya bisa menggantikan si "mulut toa" Ahok.

Sebelum saya lupa, saya juga mau bilang setuju dengan omongan sohib baik saya si Upin Lulung "kalau cuma Ahok seh kecil bukan tandingan saya".

Wabillahi Taufiq Walhidayah Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat pagi dan sehat selalu.

Oleh: Raymond Liauw
Read more ...

Minggu, 13 Maret 2016

HIJAB TIMUR TENGAH

Melanjutkan postingan saya sebelumnya. Sudah saya jelaskan bahwa tradisi pemakaian hijab bukanlah bermula dari Islam. Pula, bukan dimulai dari "saudara tua" islam, yakni "kakak kesatu" Yahudi maupun "kakak kedua" Kristen. Praktek berhijab ini sudah ada dalam kebudayaan manusia jauh sebelum "agama-agama Semit" ini lahir di dunia.

Sejarah mencatat setidaknya sejak tahun 2,500 SM sudah ditemukan tradisi hijab ini, misalnya saja dalam kebudayaan Mesopotamia kuno atau Assyria dimana sang rezim sudah membuat peraturan atau undang-undang tata-cara berbusana bagi perempuan. Disitu jelas disebutkan bahwa hijab adalah sebagai mekanisme pembeda antara "perempuan elit" dengan "perempuan rendahan", antara "perempuan terhormat" dengan "perempuan kurang terhormat". Para budak perempuan, pekerja rendahan, dan perempuan tak berkasta dilarang memakai hijab. Bahkan dikenai hukuman berat jika ketahuan memakainya. Hanya perempuan dari "kelas elit" yang boleh mengenakan hijab. 

Hijab

Tradisi Mesopotamia (kini Irak) ini kemudian diteruskan oleh berbagai imperium kuno: Mesir, Yunani, Persia, Byzantium, Romawi yang sama-sama memandang pemakaian hijab itu sebagai "simbol kehormatan", prestise, dan "high status". Agama-agama Semit (Yahudi, Kristen, dan Islam) di Timur Tengah lahir dalam pengaruh peradaban2 besar ini, dan oleh karena itu tidak mengherankan jika ketiga agama "warisan" Ibrahim atau Abraham ini mengadopsi tradisi hijab. Berhijab bagi perempuan (seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci mereka) adalah lambang kesederhanaan dan kepantasan. Karena itu tidak heran jika kelompok perempuan Yahudi dan Kristen awal (sebagian berlanjut sampai sekarang) mengenakan hijab. Bahkan tidak hanya berhijab, perempuan Yahudi awal juga memakai niqab.

Sejarah juga menunjukkan, tradisi perempuan Arab tidak berhijab apalagi berniqab & berburqa. Emperium Byzantium-lah yang memperkenalkan tradisi hijab ini ke kawasan Arab. Pada waktu Islam lahir, dunia Arab dan Timur Tengah memang dikepung oleh emperium ini, sehingga masyarakat Kristen dan Yahudi mendominasi kawasan ini. Jadi, sangat "unyu" jika mendapatkan masyarakat Yahudi dan Kristen kontemporer yang anti-hijab sama "unyunya" dengan sejumlah kaum Muslim yang mengklaim hijab sebagai "properti Islam" saja.

Penulis: Sumanto Al Qutuby
Read more ...

Sabtu, 12 Maret 2016

HUKUM YANG MAU DIPAKSAKAN


400 pengacara disiapkan mengeroyok Ahok dalam kasus RS Sumber Waras. Barisan orang-orang picik mau melakukan demo mendesak penegak hukum menangkap Ahok.

Demikian juga serangan di media sosial. Hastag ‪#‎penjarakanahok‬ beredar luas di dunia maya.
Inilah kebuasan politik. Ratusan pengacara itu ingin memaksakan tuduhan. Seolah KPK dan Kejaksaan begitu lemah dan bodohnya melihat kasus ini, hingga perlu bantuan mereka segala.

Demo atas nama umat, seperti ingin unjuk kekuatan bahwa hukum bisa ditekan-tekan semaunya. Bahwa jika sudah ada yang demo, fakta hukum jadi tidak penting lagi. Seseorang sudah pantas jadi tersangka atas desakan demonstran.

Begitupun serangan masif di dunia maya. Menjadi alat penekan untuk urusan teknis hukum. Sekaligus juga penyebar fitnah.

Ahok

Kita ingat dulu waktu Jokowi didapuk jadi Capres. Segala jenis fitnah beredar. Mulai yang halus sampai yang paling biadab.

Dan Ahok tetap dengan prinsipnya. "Mati dalam menegakan kebenaran adalah keuntungan," begitu yang selalu dikatakannya.

Dia telah mewakafkan dirinya untuk idealismenya. Ahok seperti sedang menggemakan arti jihad sesungguhnya. "Dipanggil Tuhan saja saya siap. Apalagi cuma dipanggil KPK."

Ahok bukan orang yang berani mati. Justru dia berani menegakkan kehidupan. Sebab hidup yang tidak lagi punya nilai, tidak ada bedanya dengan kematian.

Bagi saya yang muslim membela orang yang dizalimi adalah kewajiban. Membela pemimpin yang adil dan amanah adalah perintah Agama. Dan Ahok adalah salah satu ladang untuk menegakan kewajiban kemanusiaan dan perintah agama itu.

Penulis: Eko Kuntadhi
Read more ...

Jumat, 11 Maret 2016

AKHIRAT YANG DIPERBAIKI

"Seandainya semua beban dan keinginan itu berwujud, pasti kita akan melihat banyak manusia berjalan terbungkuk.
Di punggungnya begitu banyak hal yang tidak penting. Keinginan, ketakutan, harapan, rasa was-was, ambisi, perasan berdosa dan entah apalagi. Belum lagi akibat dari sebab2 di masa lalu seperti hutang yang besar,
Aku dulu pernah seperti itu.
Menumpuk harta karena ketakutan akan tidak makan di masa depan. Ambisi yg selalu terancam ketika ada orang yang lebih sukses di depan mata. Selalu takut diukur orang dan selalu mengukur orang. Bodoh dan bebal.

Merasa kaya padahal sesungguhnya miskin ga keruan. Sibuk mencari yang namanya "kebahagiaan" di tempat sampah. Menutupi jiwa yang kosong dengan bersenang2. Emosi tak terkendali karena terbungkus sombong dan arogan.
Betapa memalukan.
Hidup ku jadikan sebuah peluang. Tidak pernah terpikir bahwa semua ini hanya amanat, hanya titipan yang harus disalurkan. Aku hanya "merasa" punya, padahal sesungguhnya tidak. Dan bodohnya, perasaan "merasa" itu saya umbar kemana2, saya pamerkan dgn kebanggaan.."
"Lalu bagaimana kamu sadar kalau semua itu salah ?" Tanyaku sambil menghirup kopi hitam yang harum sore ini.

Akhirat

"Tuhan mengambil semua milik-Nya, merampasnya dariku dgn banyak peristiwa. Sebagian karena kebodohan dan kelalaian-ku, sebagian lagi karena hal yang tidak kuduga bernama musibah.."
Temanku menyeruput kopinya. Matanya tampak menerawang.
"Semua atribut kesombonganku di preteli, sampai bahkan tidak ada yg bisa kusombongkan lagi. Aku menghadapi banyak penghinaan, dijauhi teman, dikejar2 hutang.. Ah, sakit rasanya mengingat peristiwa2 dulu..."

Aku menatapnya. Sama sekali tidak kulihat kesulitan di matanya, padahal ceritanya bisa saja mengerikan ketika didengar orang yang tidak pernah mengalami situasinya. Dia malah tersenyum, seakan sudah mengalahkan badai situasinya. Ya, dia tersenyum.
"Baru aku paham, bahwa seumur hidup ternyata aku adalah budak. Budak dari keinginan, ketakutan. Budak dari nafsu yang ada dalam diriku sendiri. Aku membawa begitu banyak barang di punggungku. Barang yang sebenarnya tidak penting, tetapi selalu kubawa karena ingin "berjaga2"

Sore ini nampak indah. Hujan turun dengan lembut seakan menyapanya dengan ucapan selamat datang.
"Kuturunkan ranselku diperjalanan. Kubuang semua keinginan dan ketakutan. Aku berjalan tanpa beban. Semua mengalir. Dan ternyata, semua ketakutanku sama sekali tidak terbukti. Tuhan menyediakan banyak buah di pinggir jalan supaya aku tidak kelaparan. Ada saja hal yang menyelamatkan situasiku...
Aku paham, aku disuruh pasrah dan ikhlas. Semakin lama aku beradaptasi dgn situasi. Aku merasa merdeka. Dan ternyata, ketika aku merasa merdeka, kebahagiaan yang dulu kucari2 datang padaku dari sisi yg sama sekali tidak kuduga. Tubuhku seperti magnet yg menarik semua kebahagiaan itu. Jalan tiba2 terbuka dan semuanya jauh dari keinginanku dulu yang kuciptakan penuh nafsu.."

Aku merasakan pancaran ketenangan di wajahnya. Hal yang tidak dibuat2. Dan hujan semakin deras mengetukkan iramanya. Sore ini kopi sungguh nikmat sekali.

"Perbaikilah akhiratmu, maka Tuhan akan memperbaiki dunia-mu" Imam Ali as.

- Untuk seorang teman. -

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Rabu, 09 Maret 2016

POLITISASI AGAMA YANG JADI BUMERANG

Pilkada DKI masih setahun lagi. Tapi aromanya sudah tercium. Saya melihatnya seperti pertandingan tinju. Ada Ahok sang juara bertahan dan para menantangnya.

Di kalangan politisi artis ada Eko Patrio, Desi Ratnasari, Ahmad Dhani, Tantowi Yahya dan Nurul Arifin. Sementara Haji Bolot yang Betawi asli memilih sikap menunggu : kalikali aja ada partai iseng yang mencalonkan dirinya.
Di kalangan politisi dan pengusaha ada Yusril, Sandiaga Uno, Sanusi (Gerindra), Adyaksa Dault, atau Triwaksana (PKS).

Saya sih, berharap pertarungan Pilkada nanti tidak dihiasi isu SARA. Tapi mungkin agak susah. Soalnya ada juga kalangan yang mulai mengkampanyekan pemimpin muslim.

Rupanya mereka gak pernah belajar dari sejarah.
Di awal reformasi, saat Pileg, beredar isu bahwa PDIP banyak caleg kristen. Jga beredar di PDIP tersusupi Syiah. Apa yang terjadi? PDIP menang Pemilu.

Lalu pada saat pilpres, isu beredar SBY itu berlatar kristen. Khususnya dari istrinya yang bernama Ani Kristanti. Tapi SBY malah terpilih jadi Presiden.
Demikian juga saat Pilkada DKI. Saat itu Fauzi Bowo melawan Adang Darajatun yang diusung PKS. Seperti biasa, PKS memainkan isu agama dengan menuding Foke tidak mewakili Islam. Dan pemenangnya adalah Foke.

Jelang Pilgub DKI 2017

Pada Pilkada berikutnya malah kebalik. Ketika Foke melawan Jokowi-Ahok, justru tim Foke memainkan isu agama untuk menyudutkan Jokowi, apalagi Ahok yang Tionghoa Kristen. Tapi Foke akhirnya tersingkir.
Yang paling gres adalah Pilpres. Pendukung Prabowo juga memainkan isu agama. Jokowi dianggap tidak islami. Bahkan difitnah ini-itu. Lagi-lagi kandidat yang disudutkan dengan isu agama, justru yang menang.
Nah, kalau nanti Ahok disudutkan dengan isu agama dan ras, saya sih bersyukur. Sebab dari pengalaman yang sudah-sudah, kita sudah tahu Ahoklah yang akan meneruskan jabatan Gubernur DKI.

Jadi bagi para pendukung Ahok, bergembiralah bila saat ini mulai ada gerakan memilih pemimpin muslim untuk DKI. Dan fatwa yang mengharamkan memilih Ahok. Sesungguhnya mereka sedang membangun jalan untuk kemenangan Ahok.

Penulis: Eko Kuntadhi
Read more ...

Senin, 07 Maret 2016

TULISAN ARAB

Sejak beberapa Minggu lalu, saya perhatikan di setiap toilet di kampus, King Fahd University, khususnya di fakultasku, ada sebuah "pengumuman" bertuliskan dengan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang berisi tentang himbauan untuk tidak membuang tisu/sampah di toilet, menyiram / meng-flush toilet setelah buang air, dan membersihkan tempat duduk / kloset setelah memakainya. Karena tertarik saya foto saja: jepret...

Maaf ya "man-teman" Muslim di Indonesia, hadirin & hadirat jama'ah fesbukiah yang budiman, jangan buru2 marah, erosi eh emosi, ngamuk, dan menghujat orang2 Saudi sebagai orang2 yang melecehkan Al-Qur'an. Ini Bahasa Arab lo, bukan Al-Qur'an. Kalian tahu kan bedanya antara Bahasa Arab & Al-Qur'an? Pengumuman ini juga tidak ada sangkut-pautnya dengan pelecehan terhadap agama Islam lo, apalagi terhadap Allah SWT. Masak orang Saudi kok melecehkan Al-Qur'an, Islam, dan Allah SWT?

Tulisan Arab

Eh tahu gak kalian, kalau Bahasa Arab itu juga ditulis di gereja-gereja Kristen & sinagok Yahudi di kawasan Arab dan dipakai dalam setiap khotbah Minggu di gereja. Bahasa Arab, selain Bahasa Aram di Suriah, juga digunakan untuk menulis Injil lo. Orang Arab Kristen ya, Kitab Injil-nya pakai Bahasa Arab, masak pakai Bahasa Jawa sih. "Arab-Jawa" kali he he. Jadi intinya, Bahasa Arab itu beda dengan Al-Qur'an ya, bukan pula "bahasa Islam", apalagi "bahasa Islami" makin gak nyambung lagi tuh. Bahasa itu dimana-mana sama derajatnya, tidak ada "bahasa superior" dan "bahasa inferior", karena semua itu bagian dari "kreativitas" dan budaya manusia yang aduhai ini. Paham kan?

Note: tentang lanjutan "kuliah viirtual" tata-busana besuk aja ya?

Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Read more ...

Sabtu, 05 Maret 2016

PAKDE JOKOWI, TOLONG ANAK-ANAK KAMI

Era Soeharto meski meninggalkan jejak berdarah, juga meninggalkan jejak yang baik.
Begitu kuatnya nasionalisme ditanamkan sejak dini. Upacara bendera di sekolah2, lagu2 kebangsaan, pemasangan bendera saat hari perjuangan benar2 dipaksakan. Tidak ada yang berani melanggar, karena akan dituding PKI dan kata PKI adalah momok yang menakutkan.

Lepas era Soeharto, perlahan2 terkikis juga nasionalisme. Semua bicara reformasi tanpa perduli bahwa reformasi harus ada dasar, tanpa itu reformasi seperti terop kawin yang terbang kena badai.
Saat itu pelan2 masuklah kembali paham Negara Islam, paham lama yang dimodifikasi dan diusung pihak yang beragam. Hormat bendera menjadi haram, pancasila di musrik-kan dan tumbuhlah organisasi2 radikal yang ke-arab2an meng-klaim bahwa Islam harus seperti mereka.

Lihatlah buku2 pelajaran. Islam digambarkan berjenggot dan celana cingkrang, seolah2 begitulah seharusnya seorang muslim. Sibuk di aksesoris dan ritual dengan meninggalkan konsep "paham". Pengajian2 dibangun dimana2 untuk merekrut kader2, bukan lagi sebagai tempat pengisian jiwa. Masjid2 dibangun sebagai tempat berkumpul ideologi bukan lagi sebagai "rumah" Tuhan.
Belasan tahun mereka membangun itu sejak jatuhnya rezim Soeharto dan hasilnya mulai terlihat sekarang.
Seorang bupati dikejar2 ormas tanpa perlindungan aparat. Seorang walikota melindungi ormas yang menentang Pancasila bahkan meresmikan kantornya . Seorang Gubernur duduk bersila dibawah kaki negara Saudi, mengemis minta dana dengan mem-fitnah. Seorang Gubernur bagus diserang karena "kafir" dan tidak boleh memimpin "muslim".

Nasionalisme yang dibangun kuat oleh Soeharto luntur, seperti bedak terkena hujan. Kikisan2nya menggoyahkan pondasi kenegaraan. Mereka sudah sangat terbuka, terang2an menuding dasar negara dan menuntut di bentuknya negara khilafah.
Sudah saatnya Pakde melibatkan penuh NU dan Muhammadiyah dalam meramu konsep pelajaran Islam di sekolah2. Sertifikasi guru2 agama di sekolah, juga ustad2 dan pelaksanaannya di berikan kepada 2 organisasi itu, bukan MUI, sehingga mereka punya koridor nusantara dalam mengajar, bukan koridor timur tengah.

Galakkan kembali hormat bendera dan gaung Pancasila. Jika perlu, paksa sebagai sebuah kewajiban. Sekolah negeri yang tidak melaksankan, beri sanksi. Pakde sudah bagus menyuruh media TV memutar lagu2 nasional, tetapi itu jangan dijadikan konsep "jika media TV berkenan", tetapi harus jadi kewajiban, seperti hal-nya masa Soeharto dulu mewajibkan setiap jam ada berita nasional di semua radio2. Ancam cabut ijinnya jika menentang.

Pakde, nasionalisme kita sedang dirongrong, banyak pejabat yang main serong, jangan pakai tendangan memutar lagi untuk ini tapi sudah harus gunakan kungfu peremuk tulang.
Nasionalisme harus dipaksakan sejak kecil, supaya besar nanti anak2 kami tidak mudah dikadalin radikalis berdagu sarang lebah dan bersorban. Pakde, nasionalisme anak2 kami terancam.
Pakde, tolong kami.... Masak harus Batman yang turun tangan ? Batman hanya bisa bergerak di kegelapan, dan itupun kudu ada kopi dan tahu isi sebagai suguhan.

Joko Widodo


Nb :
Kucing kurus mandi di papan. Pakde kurus tapi orangnya tampan. *
*agak menjilat supaya nanti diundang makan2*

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Kamis, 03 Maret 2016

BUSANA SYAR'I

Adakah hubungannya antara pakaian dan kesalehan, antara jubah atau jilbab dengan kebaikan, moralitas, dan perilaku seseorang? Jelas tidak. Itu hanya sehelai pakaian. Tidak kurang, tidak lebih. Karena itu keliru besar jika orang2 di Barat misalnya yang mengaitkan antara jubah & hijab dengan radikalisme, ekstremisme, anti-kemanusiaan dan seterusnya. Hal itu sama kelirunya dengan sebagian kaum Muslim di Indonesia yang menganggap orang Islam lain yang tidak berjubah & berjilbab itu sebagai Muslim sesat. Lebih konyol lagi jika ada yang beranggapan bahwa surga itu hanya untuk kaum Muslim yang berjubah dan berjilbab. 

Beragama itu tidak cukup hanya membaca ayat ini, hadis itu, perkataan ulama ini-inu, tanpa melihat konteks ayat, hadis, dan perkataan ulama tadi. Segala sesuatu ada konteksnya. Setiap dalil ada sejarahnya. Begitu pula risalah tentang "hijab" ini: ada sejarah dan konteknya. Jika umat Islam membaca dengan teliti dan seksama diiringi dengan pemahaman sosial-kesejarahan, maka kita akan tahu bahwa sesungguhnya tidak ada "juklak" dan "juknis" mengenai berhijab ini. Karena itu sejumlah ulama dan fuqaha (ahli hukum Islam) melonggarkan aturan berhijab ini.

Sepanjang pakaian itu menutup aurat, maka itu sudah berhijab karena itu tidak ada bedanya antara kebaya Jawa dan abaya Saudi misalnya--semuanya "busana Muslimah". Yang menganggap jeans dan kaos itu sebagai "busana kafir" dan "tidak agamis" juga keliru dan "unyu". Kalau memang jeans, kaos dll sebagai "pakaian kafir" tentu perempuan2 Muslimah Arab tidak memakai donk. Kenyataannya mereka memakainya dengan suka-ria. Luarnya pakai abaya, dalemannya macam2: jeans, kaos, training, dlsb.
Membacalah dengan perspektif dan kacamata yang luas bukan dengan "kacamata" kuda. Jadilah elang atau rajawali, bukan kodok yang bersembunyi di dalam "gentong" atau tempurung yang sempit...

Kenapa sejak dulu di Indonesia, para ulama dan kiai besar tidak pernah "meributkan" soal jilbab atau hijab atau "busana syar'i" dlsb? Karena mereka menganggap masalah ini bukan masalah fundamental dan substantial dalam Islam. Mereka berargumen sepanjang busana yang dikenakan itu menutup aurat dan sesuai dengan ukuran kepantasan dan norma yang berlaku di masyarakat setempat atau katakanlah sesuai dengan "tradisi dan budaya Nusantara" maka itu sudah sangat Islami dan sangat Qur'ani. 

Busana Syar'i


Karena itu dulu para putri kiai-kiai besar cukup mengenakan pakaian jarik dan kerudung. Bahkan sebelum "teknologi kerudung" diperkenalkan ke masyarakat, mereka cukup memakai kemben. Setelah "teknologi" celana panjang & aneka jenis baju diperkenalkan, gaya berbusana para putri kiai pun mengikuti dan menyesuaikan perkembangan zaman. Jadi, kaum Muslimah di Indonesia tidak perlu repot2 mencontoh gaya berbusana masyarakat Arab dengan abaya gelombor. Busana "kebaya Jawa", misalnya, itu sama derajat "islaminya" dengan model "Budaya Arab".

Hanya belakangan saja orang-orang pada ramai hiruk-pikuk membahas soal "hijab syar'i" lah, "jilbab islami" lah. Saya amati hal ini terjadi setelah munculnya berbagai ustad karbitan yang "unyu-unyu"--para ustad yang hanya bermodal cekak satu-dua dalil dari Al-Qur'an atau Hadis tapi miskin wawasan kesejarahan dan perangkat ilmu-ilmu sosial. Para ustad yang hanya bisa menghafal sejumlah ayat, Hadis, dan "aqwal" (perkataan para ulama klasik) tetapi tidak menguasai metodologi keilmuan. Akibatnya, mereka hanya bisa mengartikan ayat, hadis, dan "aqwal" tentang "hijab" tadi secara leterlek dan tekstual sehingga kehilangan konteks, sejarah, spirit atau ruh tentang tradisi hijab tadi dalam sejarah keislaman, keagamaan, dan masyarakat Timur Tengah pada umumnya--baik masyarakat agama maupun masyarakat non-agama.

Teks apapun kalau dibaca secara "leterlek" menjadi kaku: harus begini, tidak boleh begitu. Padahal kan justru lebih enak & mengasyikkan kalau sesuatu itu bersifat lentur: kadang kaku, kadang lemas; kadang keras, kadang lembut sesuai dengan situasi dan kondisi. he...he...

Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Read more ...

Selasa, 01 Maret 2016

KEBUTUHAN PRIMER ATAU SEKUNDER?

Free Charging - Sejumlah stop kontak disediakan di tempat-tempat fasilitas umum seperti stasiun (foto terlampir di Stasiun Bogor), bandara, restoran, atau fasilitas umum lainnya tempat orang-orang menancapkan charger-nya untuk mengisi batere gadgetnya (HP, ipad, tablet, dll.): adalah pemandangan biasa pada saat ini. Selalu ada orang yang memanfaatkan fasilitas gratis ini, mungkin mereka tidak membawa atau tidak punya gadget pengisi daya: power bank.
Di beberapa warung makan di kampung yang kebetulan pernah saya singgahi pun ada fasilitas ini meskipun tidak khusus disediakan, yaitu stop kontak yang ada di warung itu sendiri. Boleh dipinjam untuk menancapkan charger, ada yang gratis, ada yang mesti bayar. Ada warung yang menulis di selembar kertas: charger/ ngecas Rp 5000.

Free Charging


Di ruang rapat kantor, saya juga mengamati para peserta rapat kalau bisa memilih duduk yang tak jauh dari tempat stop kontak, bersiap baik untuk keperluan charging laptop maupun gadgetnya. Mereka suka berkata, "Saya tak mau jauh-jauh dari sumberdaya."
Saya kalau sedang mengajar kursus di hotel, ruang rapat yang diubah menjadi kelas selama lima hari biasanya dilengkapi dengan begitu banyak extension stop kontak di setiap meja peserta kursus, kabel-kabel extension jalin-menjalin berestafet dari pangkal ke ujung ditutupi plester lakban agar aman tak terantuk kaki.
Di bus Damri bandara, bus jarak jauh, dan kereta api, juga di pesawat-pesawat tertentu kelas bisnis jarak jauh, semuanya dilengkapi stop kontak yang dipasang tak jauh dari setiap tempat duduk.

----------------

Nah, dari warung kampung sampai tempat duduk kelas bisnis di pesawat selalu disediakan stop kontak untuk charging gadget. Gejala apa ini?
Saya pikir kita tahu jawabannya: akibat kemajuan zaman, ekses zaman, zaman kemajuan elektronika, komunikasi, informatika. Budaya menggunakan gadget kini sudah jadi bagian kehidupan manusia, baik di kota maupun di kampung, meskipun tentu masih banyak juga orang-orang yang tak menggunakannya di daerah-daerah terpencil yang tak terjangkau sinyal komunikasi atau gaya hidup masyarakat yang sangat tradisional.
Namun di kota-kota, anak-anak SD sampai abang becak yang sedang santai bergulung di dalam becaknya pun menggunakan gadget, dari gadget yang sangat sederhana sampai yang paling canggih.
Apakah gadget itu, khususnya di kota, sudah jadi kebutuhan primer? Relatif. Mungkin sekarang ada orang yang lebih stres bila HP-nya ketinggalan daripada perutnya lapar. Padahal makan itu kebutuhan primer. Relatif, sebab bagi satu orang gadget itu begitu pentingnya, bagi yang lain biasa-biasa saja.
Secara ilmu ekonomi, mungkin gadget itu kebutuhan sekunder yang definisinya adalah kebutuhan yang sifatnya melengkapi kebutuhan primer dan kebutuhan ini baru terpenuhi setelah kebutuhan primer terpenuhi. Kebutuhan ini bukan berarti tidak penting, karena sebagai manusia yang berbudaya, yang hidup bermasyarakat sangat memerlukan berbagai hal lain yang lebih luas dan sempurna, baik mengenai mutu, jumlah, dan jenisnya. Contoh kebutuhan sekunder antara lain televisi, kulkas, sepeda motor, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang mendukung kebutuhan primer.

Kebutuhan primer sendiri adalah kebutuhan utama yang harus dipenuhi untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia secara wajar. Menurut ILO (International Labour Organization) bahwa kebutuhan primer adalah kebutuhan fisik minimal masyarakat, berkaitan dengan kecukupan kebutuhan pokok setiap masyarakat, baik masyarakat kaya maupun miskin.

Begitu kira-kira, tetapi yang dulu kebutuhan sekunder kini bisa menjadi kebutuhan primer. Relatif.
Anda sendiri bagaimana merasakan kebutuhan akan gadget itu? Saya sendiri merasakannya penting, penting sekali bahkan - baik untuk komunikasi biasa dan penting-sangat penting, sampai urusan pekerjaan. Tetapi, tetap di bawah kebutuhan pokok: pangan, sandang, papan.
Dan hati-hatilah menggunakan gadget Anda, bijaklah, jangan menulis di media sosial atau mengirimkan pesan via sms, BBM, WA, Instagram, Line, dll yang isinya mengancam, memojokkan, mencemooh, memfitnah, dan sejenisnya sebab perbuatan itu kini ada sanksi hukumnya dan bisa diadukan. Lalu hati-hatilah menjaga gadget Anda sebab itu benda berharga dan pribadi.

Gadget adalah seperti pisau, bisa menolongmu, bisa menusukmu.***

Penulis: Awang Satyana
Read more ...

Indonesia

Air Hidup

Advertise Here

Designed By VungTauZ.Com