Dalam aktifitas sebagai konsultan komunikasi sebuah LSM, saya
berkesempatan berjumpa dengan BJ Habibie di rumahnya. Kami menunggu di
ruang perpustakaan yang teduh. Tidak lama menunggu, Pak Habibie muncul.
Saya mengamati geraknya tetap energik. Gaya bicaranya masih memancarkan
antusiasme.
Tapi usia memang tidak dapat dibohongi. Menjumpai Pak Habibie saat itu tetap saja saya melihat seorang lelaki yang telah melewati masa jayanya. Ada rasa lelah. Meski dia berusaha terus memompa semangat, tampaknya Habibie yang saya temui sore itu adalah seorang lelaki yang sadar, bahwa sebagai manusia dia sudah memasuki masa-masa istirahat. "Saya lebih suka dipanggil eyang," ujarnya kepada kami. Sebuah refleksi kesadaran tentang usia.
Kami duduk mengitari meja panjang. Obrolan mengalir. Muai dari kondisi pemerintahan sampai suasana masyarakat Indonesia. Juga sedikit soal teknologi pesawat. Dia bicara dengan gayanya. Tapi tetap saja, saya merasa energinya sudah tidak seperti Habibhie yang dulu. Habibie yang penuh gelora.
Obrolan kami kemudian menyerempet mengenai Bu Ainun. Mulai dari buku "Habibier & Ainun' yang ditulisnya sampai film yang menguras air mata itu. Saat itulah saya merasakan energi yang berbeda. Sinar matanya tiba-tiba menyala cerah. Senyumnya melebar. Bahasanya deras seperti air. Dan gerak tubuhnya lebih bersemangat. Ini seperti lelaki yang sedikit berbeda dibanding beberapa menit yang lalu.
Setiap kali menyebut nama Ainun, saya merasakan ada getaran yang luar biasa dari tekanan suaranya. Sepanjang bercerita, saya hanya mendengar kekaguman seorang pria terhadap sesosok wanita.
Bagi Anda yang pernah membaca buku 'Habibie dan Ainun' atau pernah menyaksikan filmnya, mungkin akan merasakan getaran yang sama. Buku dan film itu, melulu berisi ekspresi cinta seorang lelaki, seoran jenius teknologi pada jamannya, seorang mantan pejabat tinggi negara, dan seorang mantan presiden Indonesia terhadap sosok wanita.
Tapi begitu mendengar tuturan Pak Habibie secara langsung, getaran itu jelas lebih terasa. Menceritakan kenangan tentang Bu Ainun, saya mendapat kesan bahwa Habibie adalah seorang pecinta sejati. Bahkan hanya dengan menyebut nama Ainun saja energi lelaki itu seperti tumbuh kembali.
Sejak dulu saya kagum dengan Pak Habibie karena kejeniusannya. Bahkan Iwan Fals mengabadikan kecerdasan seorang Habibie dalam lagu Oemar Bakrie. Sebagai ilmuan Habibie sudah berada pada level puncak. Karyanya sampai sekarang tetap menjadi tonggak pengembangan teknologi pesawat terbang.
Saya juga kagum padanya karena berhasil mencapai karir tertinggi dalam politik, sebagai Presiden RI. Tapi sore itu, saya mengagumi Habibie sebagai seorang lelaki. Sejak perjumpaan dengan Bu Ainun puluhan tahun lalu, sampai sekarang --setelah beberapa tahun istrinya wafat-- dia tetap berhasil memelihara api cintanya.
"Saya sudah 77 tahun. Entah berapa lama lagi saya bisa bertemu ibu Ainun," begitu ucapnya. Enteng. Mungkin diucapkan dengan perasaan rindu yang menggelora.
Tampaknya untuk urusan mencintai pasangan dengan hati yang penuh dan terus hidup, bisa dikatakan Pak Habibie adalah juaranya.
Penulis: Eko Kuntadhi
Read more ...
Tapi usia memang tidak dapat dibohongi. Menjumpai Pak Habibie saat itu tetap saja saya melihat seorang lelaki yang telah melewati masa jayanya. Ada rasa lelah. Meski dia berusaha terus memompa semangat, tampaknya Habibie yang saya temui sore itu adalah seorang lelaki yang sadar, bahwa sebagai manusia dia sudah memasuki masa-masa istirahat. "Saya lebih suka dipanggil eyang," ujarnya kepada kami. Sebuah refleksi kesadaran tentang usia.
Kami duduk mengitari meja panjang. Obrolan mengalir. Muai dari kondisi pemerintahan sampai suasana masyarakat Indonesia. Juga sedikit soal teknologi pesawat. Dia bicara dengan gayanya. Tapi tetap saja, saya merasa energinya sudah tidak seperti Habibhie yang dulu. Habibie yang penuh gelora.
Obrolan kami kemudian menyerempet mengenai Bu Ainun. Mulai dari buku "Habibier & Ainun' yang ditulisnya sampai film yang menguras air mata itu. Saat itulah saya merasakan energi yang berbeda. Sinar matanya tiba-tiba menyala cerah. Senyumnya melebar. Bahasanya deras seperti air. Dan gerak tubuhnya lebih bersemangat. Ini seperti lelaki yang sedikit berbeda dibanding beberapa menit yang lalu.
Setiap kali menyebut nama Ainun, saya merasakan ada getaran yang luar biasa dari tekanan suaranya. Sepanjang bercerita, saya hanya mendengar kekaguman seorang pria terhadap sesosok wanita.
Bagi Anda yang pernah membaca buku 'Habibie dan Ainun' atau pernah menyaksikan filmnya, mungkin akan merasakan getaran yang sama. Buku dan film itu, melulu berisi ekspresi cinta seorang lelaki, seoran jenius teknologi pada jamannya, seorang mantan pejabat tinggi negara, dan seorang mantan presiden Indonesia terhadap sosok wanita.
Tapi begitu mendengar tuturan Pak Habibie secara langsung, getaran itu jelas lebih terasa. Menceritakan kenangan tentang Bu Ainun, saya mendapat kesan bahwa Habibie adalah seorang pecinta sejati. Bahkan hanya dengan menyebut nama Ainun saja energi lelaki itu seperti tumbuh kembali.
Sejak dulu saya kagum dengan Pak Habibie karena kejeniusannya. Bahkan Iwan Fals mengabadikan kecerdasan seorang Habibie dalam lagu Oemar Bakrie. Sebagai ilmuan Habibie sudah berada pada level puncak. Karyanya sampai sekarang tetap menjadi tonggak pengembangan teknologi pesawat terbang.
Saya juga kagum padanya karena berhasil mencapai karir tertinggi dalam politik, sebagai Presiden RI. Tapi sore itu, saya mengagumi Habibie sebagai seorang lelaki. Sejak perjumpaan dengan Bu Ainun puluhan tahun lalu, sampai sekarang --setelah beberapa tahun istrinya wafat-- dia tetap berhasil memelihara api cintanya.
"Saya sudah 77 tahun. Entah berapa lama lagi saya bisa bertemu ibu Ainun," begitu ucapnya. Enteng. Mungkin diucapkan dengan perasaan rindu yang menggelora.
Ngobrol Cinta Dengan Habibie |
Tampaknya untuk urusan mencintai pasangan dengan hati yang penuh dan terus hidup, bisa dikatakan Pak Habibie adalah juaranya.
Penulis: Eko Kuntadhi