Maka, Rabu siang kemarin, saya pun datang ke istana. Debar jantung saya biasa saja, sudah terlalu sering saya terjebak macet di jalan seberang istana hehe... (di seberang lho ya). Ada juga belasan orang lain. Di pelataran, sebelum masuk ruangan, saya bertemu kawan lama, Johan Budi.
Lalu Presiden Jokowi pun datang. Kami duduk di depan meja panjang -- meja makan besar -- dengan kursi yang serupa dan ketinggian yang sama, di ruang berlangit-langit tinggi, lampu-lampu gantung kristal dan ditunjang pilar-pilar putih.
Tak ada kata pengantar, tak ada moderator. Perbincangan berlangsung sembari makan dan sesudahnya, seperti obrolan siang di rumah-rumah. Kami bercakap hampir dua jam lamanya.
Presiden di tengah, diapit dua lelaki yang wajahnya karib sejak dulu, dua pentolan lembaga dan gerakan antikorupsi yang kini sehari-hari bersamanya: Johan Budi dan Teten Masduki. Ada pula dua staf khusus, Ari Dwipayana dan Sukardi Rinakit.
Tak ada yang istimewa.
Dan ini yang membesarkan hati saya untuk duduk di sini: saya mendengar cerita tentang Indonesia, rupa-rupa kabar tentang orang-orang di pemerintahan, informasi di balik peristiwa terorisme, harga-harga dan lain-lain, langsung dari tangan pertama -- dari mulut seorang presiden.
Saya berbicara, orang lain berbicara, bercanda dan ada yang mencela, tentang apa saja yang mengendap di pikiran. Juga konfirmasi tentang kebenaran kabar-kabar yang berseliweran, sebagian hanya hoax, langsung ke presiden.
Hanya itu. Dan sesungguhnya, semula saya tak ingin menuliskan kabar kongkow siang saya dengan presiden, Rabu kemarin. Tapi sejumlah tautan melintas pula di linimasa, dengan berita yang sudah menggelembung bahwa: kecebong ke istana, ini hasil dari puja-puji di media sosial, bla-bla-bla...
Dan saya tak perlu menjawabnya.
Di negeri ini, masih begitu banyak orang memandang dunia di luar dirinya hanya dengan takaran diri-sendiri. Masih mengukur baju sendiri di badan orang lain. Ia sedang mencari pekerjaan, dianggapnya semua orang juga pencari kerja. Ia mungkin sungguh lapar, dipandangnya semua orang lain sedang butuh makan. Ia sungguh tamak, dan setiap orang dianggapnya serakah. Dan mungkin di benaknya, kenikmatan hidup itu baru datang bila beroleh kesempatan untuk menghamba pada penguasa.
Begitulah. Saya datang ke istana, Rabu kemarin, mengobrol dengan Jokowi, dan pulang dengan gembira karena saya mendengar bual-bual tentang Indonesia langsung dari tangan pertama. Dari mulut sang pemilik tahta, Presiden Joko Widodo.
Presiden Joko Widodo |
Oya, satu kabar saja dari saya, sodara-sodara. Ia masih berbadan kurus, wajahnya tetap tirus, dan kulitnya masih tak mulus-mulus. Setahun di singgasana, dengan makanan berlimpah, ia tetap tak gemuk-gemuk juga.
Selamat pagi, Indonesia..
Penulis: Tomi Lebang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar