Breaking News

Islam

Politik

Rabu, 31 Agustus 2016

SALAH KAMAR


Lama tidak naik bus TransJakarta, tengah hari tadi saya naik bus ini lagi. Masuk ke dalam bus panjang ini saya langsung duduk kebetulan ada beberapa kursi kosong. Kemudian saya pun agak bingung -penumpangnya kok semua wanita. Ah saya salah masuk "kamar" nampaknya, lalu saya menoleh ke belakang ternyata para penumpang pria berkumpul di sana... Saya tahu ada pembagian area wanita dan pria di bus ini, tetapi tidak menyangka sepanjang dan sedefinitif itu areanya.
Saya pun segera berdiri mau berjalan ke bagian belakang, lebih baik saya berdiri di sana saja, di antara kaum saya...tidak apa-apa berdiri juga. Tetapi petugas bus menyilakan saya tetap duduk saja di bagian wanita (?).

Di perhentian bus berikutnya masuklah tiga anak muda dari pintu bus bagian wanita -seperti saya tadi. Melihat masih ada kursi kosong di bagian wanita mereka serentak hendak duduk. Tetapi petugas yang sama yang menyilakan saya tetap duduk melarang para pemuda itu duduk di kursi wanita (?)
Mengapa saya boleh duduk, sementara ketiga pemuda itu tidak boleh duduk di bagian wanita (?). Saya menduga-duga jawabannya. Mungkin karena saya terlihat sudah tua, rambut banyak ubannya dan tinggal sedikit, mengenakan baju batik, bermimik muka bersahabat... - nampak bukan ancaman bagi para wanita (he..he..).


Saya pun duduk saja dengan tenang... Sekali-sekali saya menoleh ke bagian pria. Nampak beberapa mimik muka tidak suka, apa iri melihat saya tidak diminta pergi. He..he..mungkin ini keistimewaan bagi para orang yang berpenampilan tua...


Tiba-tiba saya ingat aktor/artis Benyamin Suaeb, alm: muka kampung rezeki kota, katanya. Penampilan saya boleh tua -memang umur sudah lebih dari setengah abad, tetapi jangan salah menilai. Para geolog muda tak jarang teler mengikuti saya berjalan... Saya juga tentu lelah sebenarnya, hanya antusiasme, semangat, mental yang kuat sering menyeret fisik yang lemah...***

Penulis: Awang Satyana
Read more ...

Senin, 29 Agustus 2016

PERANG.PEMISAH BENAR DAN SALAH


Pada intinya, media sosial itu sebenarnya medan perang propaganda.
Kedua pihak, baik kebenaran dan kesalahan, memainkan senjata propagandanya masing2 untuk membentuk barisan. Kedua pihak mengaku berada pada sisi kebenaran, tetapi hanya satu pihak yang berada pada sisi yang benar.


Bagaimana memahami mana sisi yang benar dan mana sisi yang salah ?
Situasi ini pernah ditanyakan seseorang pada Imam Ali as waktu perang Jamal dimana terjadi kebingungan mana barisan yang benar, karena individu2 di kedua pihak yang berlawanan adalah individu2 yang dulu pernah berperang bersama Nabi Muhammad Saw.

"Wahai Imam, manakah menurutmu yang paling benar ? Di sisi musuh ada bunda Aisyah ( istri Nabi Muhammad Saw ), Thalhah dan Zubair sahabat Nabi.

Lalu di sisi berlawanan ada dirimu dan juga sahabat Nabi lainnya. Manakah menurutmu yang paling benar ?"
Imam Ali as yang pada waktu itu menjabat sebagai khalifah ( beliau dipaksa oleh penduduk untuk menjabat pasca terbunuhnya khalifah ke tiga Utsman bin Affan ) dengan tenang menjawab, "Kamu salah. Kamu mengukur manusia2nya lalu mengukur kebenaran. Manusia bukanlah ukuran kebenaran.
Kenalilah kebenaran itu sendiri, pasti engkau akan mengenali siapa manusia di belakangnya.. "
Kebenaran itu sejatinya seperti secangkir kopi.

Kita tidak menghukuminya dari warnanya yang hitam. Kita mengenal kenikmatannya dulu melalui prosesnya, baru bisa mengatakan bahwa ia adalah kenikmatan.

Seruput...

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Sabtu, 27 Agustus 2016

Bila Muslim Turut Merawat Kelenteng


Pagi itu, ditemani oleh sahabatku Dr. Zainuddin Prasojo dan para santrinya, saya meluncur menyusuri sungai dan Selat Karimata di sebuah kampung nelayan dengan “perahu kelotok” (sebutan warga setempat untuk perahu motor). Tujuan kami adalah mengunjungi sebuah kelenteng unik yang lokasinya berada di tengah laut di daerah Muara Kakap, Kalimantan Barat, sekitar 25 km dari Pontianak. Konon 80% warga Muara Kakap adalah keturunan Cina khususnya Tiociu (dari Guangdong) dan Khek atau Hakka (dari Fujian). Kelenteng itu bernama Kelenteng Timbul atau Pekong Laut (seperti tampak dalam foto ini. Courtesy: National Geographic). Di beranda kelenteng itu tersemat papan nama beraksara Cina: Xiao Yi Shen Tang atau Kelenteng Dharma Bhakti. Saya sendiri tidak paham betul apakah tempat ibadah ini milik umat Konghucu atau pengikut Taoisme.


Di saat kita sedang dikejutkan oleh tragedi pembakaran sejumlah kelenteng dan wihara di Tanjung Balai, Sumatra Utara, dan amuk massa oleh sejumlah kelompok Muslim yang memilukan dan memalukan, saya melihat pemandangan lain dan menyejukkan di kelenteng ini. Masyarakat Muslim setempat yang umumnya berprofesi sebagai nelayan bukannya merusak kelenteng dan segala pernik-perniknya karena dianggap rumah ibadah orang kafir misalnya. Mereka bahkan justru turut menjaga dan merawatnya. Mereka juga ikut memelihara beragam pernak-pernik sarana ibadah di kelenteng yang konon dibangun pada 1960-an ini, bukan merusak atau membuang pernak-pernik itu ke laut. Meskipun itu gampang sekali mereka lakukan jika mau.

Selain itu, kelenteng ini juga berfungsi sebagai tempat berkumpul para “mancing mania”. Lokasinya yang di tengah laut memang membuat kelenteng ini sangat cocok dan strategis untuk memancing. Bukan hanya untuk memancing, mereka juga istirahat, tidur, makan-minum, dan menunaikan salat di kelenteng itu. Lo, kok bisa? Pak Edi, warga Muslim asli Bandung yang sudah bertahun-tahun menjadi “penjaga kelenteng” dan menetap di daerah Muara Kakap itu menuturkan: “Yang penting niat saya salat adalah untuk menyembah Allah SWT. Jadi dimanapun saya salat, termasuk di kelenteng ini, tidak masalah karena hati dan pikiranku hanya tertuju pada Allah SWT itu.” Saya hanya manggut-manggut saja mendengarkan penuturan Pak Edi yang waktu itu hanya mengenakan celana kolor pendek warna hitam saja tanpa sehelai kaos atau baju.

Pak Edi menuturkan, kelenteng itu dibangun di tengah laut supaya tidak diketahui oleh aparat pemerintah Orde Baru dulu yang memang pernah melarang atau “mengilegalkan” atau mencoret Konghucu dari daftar “agama resmi” negara. Meski lokasinya di tengah laut, banyak warga Cina dari berbagai daerah, termasuk Jakarta, yang beribadah di kelenteng ini. Menurut Pak Edi, di dalam kelenteng sudah dilengkapi dengan dapur dan peralatan memasak serta tempat tidur sehigga warga yang jauh dari luar kota bisa beristirahat dan tinggal nyaman beberapa hari di kelenteng.

Kelenteng, sebagaimana tempat ibadah umat agama lain (masjid, gereja, sinagog, kuil, wihara, atau apapun namanya) hanyalah sebuah “bangunan profan-sekuler”. Manusialah yang membuat bangunan-bangunan itu “suci-religius” dan bahkan “keramat”. Manusialah yang membuat, menjadikan, mengangap, dan mengklaim aneka bangunan itu sebagai “rumah Tuhan.”

Terlepas dari perdebatan mengenai “konsep rumah Tuhan” ini, yang jelas sikap toleran dan terbuka seperti yang dipraktekkan oleh Pak Edi beserta teman-teman dan warga sekitar di Muara Kakap perlu “dikloning” dimana-mana. Apalagi sekarang ini dimana banyak umat beragama sedang mengidap “penyakit hiperfanatisme” yang mudah tersinggung, gampang marah, dan hobi ngamukan meskipun kadang-kadang hanya dipicu persoalan yang sangat sepele yang tidak ada sangkut-pautnya dengan nilai-nilai fundamental sebuah agama (contohnya adalah “toa masjid”). Toa itu jelas “barang sekuler” dan bahkan “bid’ah” karena Nabi Muhammad jelas tidak pernah memakai “mahluk” yang bernama toa. Tanpa toa pun, Tuhan bisa mendengar suara selirih apapun bahkan bisikan hati hamba-hamba-Nya.

Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Read more ...

Kamis, 25 Agustus 2016

KEMBALINYA SEORANG SUHARDI


Istirahat dulu dari berita "bersih-bersih" ala Erdogan dan Ikhwanul Muslimin di Turki, sambil menunggu perkembangan selanjutnya.
Saya tertarik dengan pelantikan Komjen Pol Suhardi Alius sebagai Kepala BNPT.
Ingatan saya kembali di awal tahun ,2015, saat terjadi bentrokan keras antara KPK dan Polri yang dikenal sebagai Cicak vs Buaya ke 2. Saat itu mendekati pergantian Kapolri dari Jenderal Sutarman ke - rencananya - Komjen Budi Gunawan.

Pergantian terhambat, karena BG - yang merupakan titipan bu Mega - dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus rekening gendut polisi. Kita mengalami periode keributan luar biasa pada waktu itu, dan Jokowi diminta mengambil sikap cepat.

Mendadak Suhardi - entah mana namanya yg benar alius atau aloysius - yang ketika itu menjabat Kabareskrim dicopot dan dimutasi ke Lemhanas. Posisinya langsung di gantikan oleh Budi Waseso.
Rumour mengabarkan dicopotnya beliau karena kedekatannya dengan KPK dan PPATK. KPK mendapat banyak data dr Suhardi tentang siapa saja nama yang terkait rekening gendut. Bukan itu saja, Suhardi dikatakan sebagai penghianat oleh Buwas. Stigma ini waktu itu membekas di banyak internal kepolisian, yang bagaikan sarang tikus besar dengan hanya satu pintu informasi keluar.
Suhardi Alius dikenal bersih.


Ia dengan berani meminta diskotek Stadium - yang dikenal sebagai tempat hiburan dgn bekingan yg kuat di Jakarta - untuk di tutup. Ia juga yang tidak segan melaporkan kecelakaan di jalan tol dengan pelaku anak Hatta Rajasa. Ia juga dikenal suka blusukan menyambangi pos2 polisi tanpa pengawalan.
Saya tersenyum ketika beliau akhirnya di lantik, karena teringat betapa teori saya waktu itu dibantah habis2an bahwa Jokowi adalah orang yg tidak mudah diatur. Caranya menahan BG spy tdk dilantik sangat halus.

Perangnya dgn banyak kepentingan melawan kemauan kuat partai pendukungnya untuk menjadikan BG sbg Kapolri, seperti orkestra yang tanpa disadari menina-bobokan lawannya. Ia menahan tangannya dgn menyuruh mundur sementara orang2 bersih, supaya tidak terjadi banyak gejolak yg lebih luas. Pada saatnya, mereka akan dipanggil kembali untuk bertugas.

Pertanda kemenangan Jokowi terhadap tekanan partainya dan institusi Polri adalah dengan diangkatnya Tito sebagai Kapolri, dan Tito kembali mengangkat Suhardi ke permukaan. Sebuah permainan catur ala Jokowi yang memang baru bs dilihat satu waktu di depan.

Selamat atas pelantikannya Komjen Suhardi..
Sambil minum kopi sore ini, saya jadi berfikir, " Apa pakde masih punya tempat untuk Abraham Samad dan Bambang Wijayanto ?"

Seruputtt..

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Selasa, 23 Agustus 2016

RUTINITAS MENJAWAB


Di bawah ada tanya jawab seorang mahasiswa (M) dan saya (A) melalui message FB.
Pertanyaan pertama lebih dari dua tahun lalu, pertanyaan terbaru baru kemarin malam. Mungkin mahasiswa yang tak saya kenal ini kini sudah lulus. Namun selama itu dia bertanya hal-hal yang sama: sedimentasi volkanik.
Jawaban saya lugas -ciri bila saya sedang sibuk. Ada juga pertanyaan yang baru saya jawab empat bulan kemudian, itu pasti saya lupa menjawabnya. Tetapi selalu saya jawab, cepat atau lambat. 
-----
Saya hampir selalu menerima belasan pertanyaan teknis seperti ini setiap harinya dari seluruh mahasiswa di berbagai perguruan tinggi geologi di Indonesia yang kebanyakan tidak saya kenal secara pribadi. Itu bermanfaat dua arah: buat sang mahasiswa menerima jawaban, buat saya terlatih terus dengan berpikir. Saya kalau sebagai mahasiswa, akan senang sekali bila mendapatkan jawaban dari seorang geolog senior. Karena itulah saya selalu usahakan menjawab mereka sebab saya berpikir di sisi mereka.
Saya pun ada waktunya tidak menjawab bahkan menegur atau menasihati si mahasiswa. Pertanyaan seperti: Pak bisa ceritakan tentang tektonik Sumatra? Tidak akan pernah saya jawab, saya malahan akan menegurnya: cari literaturnya, baca sendiri dulu, dan tanyakan bila ada yang tidak paham -jangan terlalu mudah untuk bertanya. Kalau dia bertanya: Pak apakah benar Sesar Sumatra itu ada yang arahnya 300 NE dan 330 NE, bila iya kok bisa dan kenapa begitu Pak? Itu akan saya jawab. Bisa bedakan kan mana pertanyaan yang tak perlu saya jawab dan mana yang harus saya jawab...


Saya juga tak akan menjawab pertanyaan yang tak sopan atau tak santun, seperti: Coba jelaskan escape tectonics itu. Saya akan menegurnya malahan: Saya punya nama, sapalah saya dengan nama saya atau cukup Pak. Begini cara bertanya yang santun, Pak saya masih bingung dengan teori escape tectonics, Bapak bisa tolong jelaskan? Terima kasih. Beberapa orang pernah saya tegur gara-gara seperti itu. Kesopanan dan kesantunan itu juga harus diajarkan.
-----
Menjawab pertanyaan para mahasiswa adalah sebagian dari rutinitas harian saya. Saya menjawab mereka, membimbing beberapa dari mereka, dari mahasiswa S1-S3. Menjawab mereka juga adalah termasuk menegur dan menasihatinya.
Selama ilmu kita belum bermanfaat bagi orang lain, apakah benar kita ini bermanfaat?***
--15 April 2014--
M: selamat malam pak awang
boleh tanya peran dari gunung api terhadap tektonik global?
A: Selamat malam ...... Justru yang berperan adalah tektonik global atas gunungapi, bukan sebaliknya. Tektonik global mengontrol penyebaran gunungapi di seluruh dunia.
M: Terimakasih banyak pak awang. Saya junior bapak dari ..... pak
A: Ok, salam kenal.... ... Selamat belajar..
M: Terima kasih pak, saya banyak belajar dari artikel yang bapak publish. Dan jujur tugas saya kali ini sangat membingungkan hahaha
A: Tidak masalah, kebingungan dan kesulitan akan mendidik kita, nanti akan terasa setelah melaluinya.
M: siap pak.. terima kasih banyak..
--5 Februari 2015--
M: selamat malam pak, saya ingin bertanya dan saya rasa ini pertanyaan yang sangat penting bila saya ingin jadi geologist. yang saya ingin tanyakan adalah, mengapa tipe aliran liquified flow mempunyai aliran keatas, bagaimana penjelasan komperhensivenya pak? saya masih belum bisa menemukan jawaban yang saya inginkan. lalu untuk perbedaan antara debris flow dan flow apa ya pak? itu saja pak. terima kasih banyak atas waktunya
A: Selamat malam...., liquified flow mengalir ke atas di subsurface karena ia mencari tekanan rendah, dan tekanan rendah di subsurface adanya di tempat lebih dangkal, jadi aliran menuju tempat dangkal, ke atas. Debris flow adalah aliran fluida dengan bahan rombakan, sementara flow hanya aliran fluida. Salam.
M: oke siap pak awang, sekarang saya sudah mengerti. terima kasih..
M: selamat sore pak awang, ada beberapa hal lagi yang mengganjal dan ingin saya tanyakan 😊. untuk perbedaan vulkanoklastik, epiklastik dan piroklastik itu apa dari genetik dan hasil produknya. terima kasih pak Awang atas waktunya 😊
A: Selamat sore ...., mereka berbeda baik dalam genetikanya maupun produknya. Piroklastik adalah endapan primer gunungapi, misalnya abu volkanik diendapkan jadi tuf, lahar jadi breksi volkanik. Sementara epiklastik adalah endapan sekunder gunungapi, yaitu batuan gunungapi seperti tuf kemudian dierosi dan diendapkan ulang lalu bercampur dengan sedimen lainnya seperti batupasir atau batulempung, maka nantinya terdapat perselingan antara batuan volkanik dan sedimen, nah itulah epiklastik.
M: terima kasih banyak pak awang atas jawaban dan waktunya. jadi secara menyeluruh, piroklastik dengan volkaniklastik adalah kesamaan, benar pak?
A: Beda ..... Piroklastik biasanya hanya batuan volkanik misalnya abu/ tuf. Sementara volkaniklastik adalah campuran asal volkanik dan asal sedimen lain nonvolkanik (batupasir nonvolkanik, batulempung, batugamping).
M: terima kasih banyak pak awang sudah memberikan waktunya untuk mempertinggi ilmu saya:). Ada pertanyaan lagi pak hehe. hubungan antara arus dan arah keseragaman butir ada 4 macam menurut sam boggs, yaitu paralel current parallel to current flow, perpendicular to current flow, imbricated to curent flow dan randomly oriented. yang saaya ingin tanyakan adalah bagaimana yana membedakan parallel dengan perpendicular to current flow di lapangan pak? terima kasih
--28 Juni 2016--
M: Selamat malam Pak Awang, saya ingin bertanya mengenai batuan vulkanik, selama ini saya belom mendapatkan jawaban yang memuaskan. Apa perbedaan Batupasir tufan dan tuff secara makroskopik ataupun mikroskopik? terima kasih Pak Awang
A: Selamat malam ...., maaf baru saya respon pertanyaan ini. Di satu singkapan tak bisa secara langsung menentukan arah transportasi parallel atau perpendicular. Itu harus direkonstruksi dulu dari beberapa singkapan yg menunjukkan arah arus purba, baru tahu arah regional sedimentasi di situ. Setelah tahu arah regional baru bisa ditentukan mana singkapan yg arah transportasi sedimennya sejajar atau tegak lurus dari arah regional.
A: Batupasir tufan utamanya adalah batupasir, tuf variasi pencampurnya, jadi secara makroskopik dan mikroskopik ia mirip batupasir biasa hanya ada kandungan mineral2 tufnya (spt gelas) di samping banyak mineral lainnya. Sementara tuf hampir seluruhnya mineral gelasan, dan secara makroskopik mikroskopik keduanya cukup jauh berbeda.

Penulis: Awang Satyana
Read more ...

Minggu, 21 Agustus 2016

DUNIA TIDAK SEPERTI APA YANG TERLIHAT


Yang harus kita akui selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto adalah betapa efektifnya intelijennya bekerja.
Soeharto tidak perlu menerjunkan banyak tim intelijen ke masyarakat, ia menggunakan masyarakat itu sebagai intel-nya. Penerapan sistem penggalian informasi yang mengerucut sampai Rukun Warga dan Rukun Tetangga, adalah sistem yang sangat efektif, bagai kinerja sebuah mesin besar memasok informasi ke kantor pusat.

Meskipun RW dan RT tidak dimasukkan dalam administrasi pemerintahan, hanya sebagai partisipasi warga, tetapi tanpa sadar mereka juga menjadi pengawas terdekat kita. Mereka-lah yang melaporkan situasi ditempatnya sampai memasok informasi kebiasaan warganya.


Bahasa pembentukan RW dan RT sungguh manis, untuk mewadahi gotong royong, meningkatkan kelancaran hubungan masyarakat dan pemerintahan, sehingga kita pun berpartisipasi dengan kerelaan dan kesenangan hati melakukannya. Berkebalikan dengam fungsinya sebagai pengontrol tatanan bernegara.
Begitu juga dengan model yang dibangun dalam internet kita.
Google, Facebook dan lain2 adalah fasilitas yang dibangun untuk mengoleksi data kita, keseharian kita, dengan siapa kita dekat, apa yang kita suka, apa yang kita pikirkan dan banyak lagi. Dengan mengoleksi data tersebut mereka bisa memahami sebuah pola yang terkait dengan kebiasaan.
Julian Asange, founder Wikileaks, pernah mengatakan bahwa Google, Facebook dan Yahoo adalah alat dari US Inteligence. "Facebook adalah mesin mata2 yang terbaik yang pernah ditemukan, " Kata Assange. "Semua orang harus paham, bahwa ketika mereka menambah pertemanan, mereka melakukan kerjaan gratis bagi intelijen US.."

Memang ada berita bahwa Facebook dan Microsoft menolak permintaan pemerintah AS untuk membuka datanya. Logikanya, untuk apa pemerintahan AS meminta data ? Mereka cukup menguasai saham terbesar di perusahaan global itu, karena itu sudah termasuk menguasai data, lalu untuk apa minta2 ? Ya, mungkin sebagai pencitraan aja supaya orang merasa aman bahwa data mereka tidak di awasi intelijen.
Teknologi itu memang seperti pisau bermata dua. Kita harus memahami kinerjanya sehingga kita tahu pisau ini mau digunakan untuk apa. Tidak bisa menghambat perkembangannya, hanya harus paham bagaimana memanfaatkannya, dan jika bisa membalikkan supaya bisa menjadi senjata makan tuan.

Pengetahuan kita tentang teknologi mereka jauh daripada apa yang sudah dan sedang mereka kembangkan. Kita masih sibuk dengan bahasa teknis kelas TK seakan2 tahu semuanya, mereka malah sudah menjadikan kita sebagai tikus eksperimen untuk teknologi selanjutnya.

Saking tahunya mereka bahwa kita suka banget dengan sesuatu yang bersifat permainan, gratis, heboh, dan tidak ingin di anggap ketinggalan zaman atau gaptek, mereka menggabungkan kesukaan kita dengan model supaya kita yang bekerja untuk mereka, mencari data untuk mereka.
Kadang memang harus sedikit merendahkan diri supaya bisa menyerap informasi dari berbagai sudut pandang, bukannya sibuk mencari pembenaran terhadap sedikitnya ilmu yang kita kuasai. Dan untuk itu memang harus minum kopi, supaya akal terbuka dengan banyaknya sudut pandang yang kita dapat.
" Google is not what it seems..." Julian Assange.

Gambar : Director of Google Ideas, and "geopolitical visionary" Jared Cohen shares his vision with US Army recruits in a lecture theatre at West Point Military Academy on 26 Feb 2014

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Jumat, 19 Agustus 2016

Kampungku: Dulu dan Kini


Waktu lebaran kemarin, saya sempatkan untuk mudik ke kampung halaman di sebuah desa pelosok di pedalaman Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Sangking pelosoknya, mungkin desaku tidak ada di dalam peta. Di belakang fotoku yang tampak hutan, gunung, sawah, dan padang inilah kampungku berada.
Dari gunung dan hutan inilah, saya dulu sekolah jalan kaki ke kota yang nyaris tiada teman. Karena sekolah sendirian dan di "madrasah" lagi, saya dulu setiap jalan pulang sekolah sering diledek, diolok-olok, bahkan dikeroyok di jalan & pinggir kuburan oleh anak-anak SMP yang mengaku sebagai "anak kotaan" hanya karena rumahnya di pinggir jalan raya dan sekolahnya di SMP, bukan MTs. Setelah saya babak-belur, mereka pergi sambil tertawa cekikikan.


Sejak di Amerika, setidaknya minimal setiap tahun sekali, saya sempatkan untuk mengunjungi kampung dimana saya dilahirkan dan dibesarkan ini untuk sekedar bercengkerama dengan orang tua, keluarga dekat, tetangga, dan teman kecilku dulu. Karena ayah dan kakak tertuaku sudah wafat, maka kini tinggal ibu dan satu kakak. Meski sudah meninggalkan dunia ini, saya tetap menjenguk mereka di makam yang tidak jauh dari kampung. Dengan ziarah ke makam ini, maka silaturahmi jalan terus, meskipun mereka sudah di "dunia lain".

Bukan hanya menjenguk keluarga, setiap mudik kampung, saya juga sempatkan jalan-jalan ke pinggir hutan, sawah, dan "padang ilalang" tempat saya dulu menggembala kambing selama kurang lebih 6 tahun. Menariknya, ada sejumlah teman sesama penggembala dulu yang hingga kini masih tetap menjadi penggembala, tidak pensiun. Luar biasa sekali. Saya kira tidak mudah untuk menekuni sebuah profesi yang sama dalam rentang waktu yang sangat lama. Itu butuh kesabaran, keuletan, dan kegigihan yang saya sendiri tidak sanggup melakukannya.

Kampungku kini sudah cukup berubah. Jika dulu hanya 1-2 orang saja yang sekolah sampai "tinggi" di Perguruan Tinggi (salah satunya saya hehe), kini sudah banyak yang mendapat gelar sarjana. Jika dulu SD-ku cuma sampai kelas 4 saja, kini sudah sampai kelas 6. Jika dulu tidak ada listrik dan belajar pakai lampu sentir, kini sudah ada listrik. Jika dulu jalan tidak diaspal, kini sudah diaspal (meskipun sering rusak). Jika dulu jembatan cukup pakai bambu, kini pakai besi. Jika dulu sekolah jalan kaki, kini mana ada anak-anak yang mau jalan kaki. Jika dulu, mesin ketik saja tidak ada sehingga semua serba ditulis tangan, kini anak-anak ingusan di kampung sudah bawa laptop. Gile bener cing. Jika dulu, anak-anak sekolah tanpa uang jajan, kini mereka tidak mau sekolah kalau tidak diberi uang saku.

Tapi uniknya, meskipun ada perubahan fasilitas di kampung yang semakin memudahkan untuk belajar tetapi saya melihat tidak berdampak signifikan terhadap "anak-anak modern". Meski "dikerumuni" oleh berbagai fasilitas, mereka seperti kurang energi, kurang bersemangat atau kurang bergairah untuk menggali dunia pengetahuan yang maha luas.

Pola-pikir anak-anak di kampung sangat "pragmatis": sekolah ala kadarnya, yang penting selesai dan dapat pekerjaan apa saja yang bisa mendatangkan uang sehingga bisa bersenang-senang. Berbagai kemudahan dan fasilitas yang melimpah ternyata tidak dengan sendirinya mendorong anak-anak di kampungku untuk lebih pintar, lebih maju, dan lebih semangat dalam "menuntut ilmu."

Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Read more ...

Senin, 15 Agustus 2016

CERITA LAMA TENTANG MAAF-MAAFAN


Ini lebaran. Waktunya bermaafan. Juga mendesak orang untuk minta maaf. Desakan itu untuk membuktikan bahwa mereka salah, lalu harus mengakui kesahalan.
Makanya ada yang menuntut pemerintah minta maaf atas kemacetan di tol Brexit, yang menyebabkan beberapa orang meninggal kelelahan. Mendagri dan Wapres atas nama pemerintah sudah menyampaikan permohonan maaf kepada publik.
Desakan permohonan maaf itu, semoga didorong oleh penghargaan pada setiap nyawa manusia. Ada sekitar 10 orang yang wafat dalam kemacetan. Ada bayi yang kebanyakan menghirup CO2 akibat AC kendaraan terus menyala.


Ada orang tua yang sedang sakit lalu meninggal saat turun dari bus. Ada juga yang meninggal di rumah makan.

Eh, mentang-mentang lebaran pemerintah juga didesak untuk meminta maaf atas beredarnya vaksin palsu. Vaksin abal-abal yang sudah 13 tahun beredar itu kini terbongkar.
Saya senang dengan model berfikir seperti ini. Setiap kekacauan publik, apalagi yang menyebabkan nyawa melayang, pemerintah memang harus rendah hati. Permohonan maaf itu tanda, bahwa di Indonesia,setiap lembar nyawa rakyat sangat dihargai.

Meski rezim berganti, sejatinya pemerintahan Indonesia adalah kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Vaksin palsu itu beredar jauh sebelum era Jokowi, karena terbongkarnya sekarang maka yang harus minta maaf adalah pemerintahan sekarang.

Jadi ada 10 orang meninggal karena kemacetan, pemerintah harus minta maaf pada publik. Ada bayi yang disuntik vaksin palsu, pemerintah juga harus minta maaf ke rakyat.
Tahun 1965 ada sejuta rakyat mati. Dieksekusi tanpa pengadilan. Di tebas lehernya atau di tembak, lalu mayatnya dibuang begitu saja. Dosanya : karena mereka dianggap PKI. Sungai bermerah darah.
Tidak ada yang menyangkal bahwa proses pembunuhan masal itu melibatkan organ pemerintah. Kita bisa berdebat, bahwa saat itu PKI juga yang memprovokasi konflik horisontal. Jadi pembantaian orang-orang PKI itu adalah ujung dari provokasinya sendiri.

Saya tidak tertarik dengan perdebatan itu. Tapi saya tertarik pada desakan agar pemerintah menghargai setiap nyawa warganya. Jika untuk kematian 10 orang karena menghirup racun atau sakit keras di dalam bus, pemerintah harus minta maaf. Bagaimana jika yang melayang adalah sejuta nyawa?
Sayangnya. Orang yang ngotot pemerintah kudu minta maaf karena macet Btexit atau karena vaksin palsu, saya yakin mereka akan menolak jika ada desakan pemerintah kudu minta maaf pada korban PKI 1965 lalu. Minta maaf atas melayangnya sejuta nyawa tanpa pengadilan.

Minta maaf atas nasib ratusan ribu anak yang tiba-tiba jadi yatim atau piatu. Kepada ratusan ribu perempuan yang tiba-tiba jadi janda. Minta maaf pada rasa nyeri sebuah generasi.

Kita tahu, bagi mereka bukan nyawa orang yang benar-benar penting...

Penulis: Eko Kuntadhi
Read more ...

Sabtu, 13 Agustus 2016

KETIKA POKEMON MENJADI MESIN PERANG


"Memangnya seberapa bahaya sih game Pokemon Go, sehingga banyak di larang di berbagai negara ?"
Temanku yang memang ahli IT tersenyum. Kami ngopi bersama sore itu.
"Sebelum ke Pokemon Go, kita harus pahami dulu cara kerja perusahaan2 besar seperti Google, Facebook dan lain2. Kita menganggapnya sebagai sebuah fasilitas, tetapi sebenarnya aplikasi itu adalah sebuah program mata2.."


Surprise juga mendengar jawabannya. Ternyata tidak sesederhana yang kupikirkan.
"Seperti Google. Kita menganggap Google itu hanya mesin pencari. Tetapi sesungguhnya dia menjebak kita dalam sebuah kotak. Kotak dimana kita tidak bisa keluar dari sana. Kita berkomunikasi melalui email, kita berbelanja bahkan sekedar mencari peta dengan google..."

Dia menyeruput kopinya dan melanjutkan, " Kita seperti berada di dunia luas ketika melakukan segala aktifitas melalui Google, padahal sesungguhnya kita berada di kotak kecil dari luasnya alam maya ini.
Seperti di sebuah galaksi, kita menganggap galaksi kita paling besar padahal sesungguhnya kita hanya berada pada satu galaksi diantara miliaran galaksi yg ada..."
Aku mencoba memahami perkataannya...

"Ketika kita melakukan segala aktifitas di dunia Google, maka mesin intelijen mereka bekerja menyerap seluruh aktifitas kita. Dia tahu kemana kita pergi, dia tahu apa yang kita suka, tahu apa yang kita cari. Dia akhirnya tahu seluruh kebiasaan kita, kebiasaan masyarakat di suatu negara.
Dengan data2 itu mereka memahami dimana kelemahan kita, apa yang kita benci, bagaimana membenturkan kita, dan banyak data yang mereka jadikan pegangan ketika mereka harus melakukan infiltrasi ke negara kita...

Aku menarik nafas. Temanku tersenyum, " Dan ingat, aplikasi seperti Google dan Facebook itu tidak akan bisa menjadi aplikasi mendunia tanpa dana yang sangat besar. Nah percayalah pemilik dana terbesar dalam sahamnya adalah badan2 intelijen milik pemerintah yang disembunyikan dalam nama perusahaan.
Karena itu, negara besar seperti China menutup dirinya dari aplikasi intelijen seperti itu. Mereka membangun sendiri modelnya dengan nama Baidu. Mereka me-manage sendiri penduduknya yg jumlahnya miliaran itu.."
" Apa Pokemon Go seperti itu juga ?"

"Tentulah... Dengan mengaktifkan GPS dan kamera, mesin intelijen mereka bekerja menyerap data kita dalam bentuk gambar. Jadi mereka berharap permainan itu dimainkan di dalam gedung pemerintahan yang punya posisi posisi strategis dan rahasia. Tujuan game itu adalah mengumpulkan data, selanjutnya mereka olah di pusat mereka untuk kepentingan kelanjutan mereka... "
Temanku ketawa sambil menyeruput kopinya. "Buat mereka yang disana itu, tidak ada hal yang sia2. Semua di perhitungkan dengan sangat cermat, sangat detail. Kita aja yang tidak paham dan menganggapnya hiburan semata..

Cantik ya model perangnya ? Ingat, siapa yang menguasai informasi dialah yang akan menguasai dunia..."
Bukan cantik lagi, tapi mengagumkan. Bahkan kopiku kehilangan pesonanya sehingga ia menjadi dingin tanpa tersentuh.

"Kejahatan yang terorganisir, akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.." Imam Ali as.

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Kamis, 11 Agustus 2016

YAHUDI DAN ZIONIS


Di Surabaya ada satu tempat di pusat kota, tepatnya jalan Kayon, pernah berdiri sebuah Sinagog, tempat beribadah umat Yahudi.
Ketika masih kuliah saya pernah melihatnya. Sepi.

Alkisah, ketika itu ada protes mahasiswa krn pendudukan Israel di Palestina, sampai bakar2 bendera. Akhirnya karena digeruduk mahasiswa, sinagog itu disegel oleh pemkot Surabaya.
Sinagog yang akhirnya diruntuhkan entah oleh siapa, dulu adalah bekas bangunan Belanda dan dialih-fungsikan sebagai rumah ibadah agama Yahudi. Sebagai catatan sejarah, hak Yahudi dulu pernah disamakan dgn agama lain oleh keputusan Menteri Agraria thn 1961. Dan seorang Yahudi Surabaya, Charles Mussry saat 10 November bahu membahu membantu arek Suroboyo untuk mengusir Belanda.
Apa yang bisa kita pelajari di sini ?

Bahwa kita terbiasa meng-generalisasi tanpa pengetahuan yang memadai. Bahwa semua Yahudi itu zionis. Padahal Yahudi itu ada 2 komunitas, yaitu Yahudi sebagai agama ( Judaism ) dan Yahudi yang berpolitik kembali ke bukit zion ( Zionism ). Tapi karena banyak yang bego - saya dulu juga begitu - akhirnya semua di samakan, bahwa Yahudi itu pasti zionis.


Kelompok yang aktif menentang penggunaan agama Yahudi sebagai alat untuk kepentingan zionis bernama Naturei Karta. Mereka adalah kesatuan rabbi2 Yahudi dengan jaringan internasional menolak penyamaan persepsi bahwa Judaism adalah Zionism. Bahkan di Palestina sendiri mereka berjuang bersama agama lain menentang pendudukan Israel terhadap Palestina.

Jadi, mulailah adil sejak dalam pemikiran bahwa ulah suatu oknum bukanlah kesalahan suatu kaum. Kita juga menolak bahwa Islam disamakan dengan terorisme kan ? Begitu juga mereka.
Saya yakin agama Yahudi masih ada di Indonesia, hanya mereka beribadah secara sembumyi2 akibat stigma yang terlanjur dilekatkan kepada mereka. Kesalahan cara pandang kita yang sempit dan dangkal, menjadikan mereka korban dari ketidak-adilan persepsi sekian lama.

Saya bisa dituding sebagai Yahudi yang menyusup sesudah posting ini, meski gelar saya sudah cukup panjang mulai dari Syiah, jemaat HKBP,JIL, JIN dan JUN dan entah apalagi. Gelar tertinggi yang disematkan masih iblis berwujud manusia, sebuah prestasi yang membuat iblis langsung rendah diri ketika berpapasan dengan saya.

Karena itulah saya sarankan untuk minum kopi jika sempat. Kafeinnya membuka cakrawala berfikir bahwa dunia itu luas tidak sebatas syahwat bahwa sunnah itu beristri empat. Dengkul lemas otak bisa mampat..
Seruput dulu ah...

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Selasa, 09 Agustus 2016

Hijab Yahudi


Hijab itu bukan hanya "sangat Islami" tetapi juga "sangat Yahudi". Bukan hanya Al-Qur'an yang berisi anjuran berhijab, Kitab Talmud Yahudi yang sudah ada berabad-abad sebelum Al-Qur'an juga memuat pesan tentang hijab. Karena itu bukanlah sebuah keanehan jika ada sejumlah umat Yahudi yang bersikukuh untuk berhijab.
Foto di bawah ini hanyalah sekelumit contoh kecil dimana sekelompok perempuan Yahudi Sekte Lev Tahor di Kanada (di Ontario dan Quebec) lengkap dengan "busana Muslimah", eh salah maap, "busana Yahudi" maksud ane. Coba perhatikan dengan seksama, mirip kan para saudari-saudari Yahudi ini dengan "ukhti-ukhti" Muslimah? Lev Tahor yang dalam Bahasa Hebrew berarti "hati yang suci" merupakan salah satu sekte ultra ortodoks Yahudi pimpinan Rabbi Shlomo Helbrans yang gencar menentang Zionisme dan aneksasi Israel atas Palestina.


Dalam kehidupan sehari-hari, pengikut sekte Lev Tahor ini juga sangat sederhana dan "apa adanya" dalam menjalani hidup serta jauh dari hiruk-pikuk kemewahan duniawi, sebuah praktek keagamaan yang mengingatkan saya pada komunitas Kristen Amish dan Old Order Mennonites di Amerika.
Beberapa kelompok Yahudi ortodoks memandang berhijab merupakan "panggilan ilahi" yang harus ditaati oleh semua umat Yahudi. Bruria Keren, seorang tokoh dan pemimpin agama Yahudi ortodoks di Israel bahkan mengklaim asal-usul "tradisi hijab" berasal dari Yahudi dan karena itu bagi siapa saja yang mengenakan hijab berarti telah meniru-niru Yahudi. Ia menyerukan semua umat perempuan Yahudi untuk berhijab bukan hanya demi memenuhi "panggilan ilahi" tetapi juga sebagai lambang kesederhanaan serta proteksi dari kemungkinan kejahatan atas kaum perempuan.

Di Israel juga terdapat sekelompok Yahudi yang bernama Sekte Burqa Heredi yang bahkan lebih ketat dalam berhijab. Jika kaum perempuan Yahudi Lev Tahor masih membuka wajah mereka, maka kaum perempuan Yahudi Heredi Burqa menutup rapat wajah mereka dengan "frumka" persis seperti perempuan Saudi yang mengenakan burqa atau niqab. Karena mengenakan busana yang ekstrim ini, maka sejumlah media menyebut mereka "Yahudi Taliban".
Sejumlah tokoh Yahudi dari sekte Heredi ini seperti Rabbi Yitzchok Tuvia Weiss menyatakan bahwa penggunaan tata busana ini dalam rangka untuk menegakkan "syariat Yahudi" sekaligus kembali ke ajaran orisinal Talmud tentang wasiat berhijab sebagai simbol kesahajaan bagi perempuan. Menarik untuk diperhatikan, sebagaimana Sekte Lev Tahor, sekte Heredi Burqa ini juga menentang keras gerakan Zionisme dan upaya kekerasan Israel atas Palestina.

Jika diperhatikan dengan seksama, ada perbedaan mendasar antara "hijab Yahudi" dengan tren "hijab Muslimah". Jika gerakan "hijab Yahudi" itu sangat sederhana dan jauh dari kesan kemewahan, maka kaum "hijabers" Muslimah di kota-kota besar khususnya terkesan sangat modis dan mewah. Jika perintah hijab itu (baik dalam Yahudi maupun Islam) ide dasarnya adalah untuk kesahajaan, bukankah sebuah "penyimpangan ajaran" namanya jika berhijab hanya untuk pamer model mode, desain, dan busana teranyar? Alih-alih ingin mengikuti ajaran Islam, malah justru terjerembab ke dalam praktek-praktek yang jauh dari norma-norma keislaman dan "pesan moral" Al-Qur'an itu sendiri.

Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Read more ...

Minggu, 07 Agustus 2016

SEBUAH PERJUANGAN


Foto no. 1 adalah foto saya tadi pagi di ruangan kantor. Saya mengenakan baju batik berwarna hijau muda, baju dari lima tahun yang lalu. Berat badan saya 82,3 kg ditimbang tadi pagi.
Foto no. 2 adalah foto saya berbaju batik warna cokelat, sepuluh bulan yang lalu, Oktober 2015 di sebuah hotel di Bandung. Berat badan saya saat itu maksimum dalam hidup saya, 102 kg (!).


-----
Baju batik yang saya kenakan hari ini, hijau muda itu, sebenarnya sudah saya masukkan ke kotak tiga tahun yang lalu karena sudah tidak muat di badan. Lalu saya sejak itu memakai baju batik yang oversize (XXL atau ukuran di atas >18).
Saya juga karena itu lebih suka memakai baju batik besar ke kantor agar tak harus memasukkan ujungnya ke dalam celana panjang, maklum perut saya besar, sesak rasanya kalau baju masih harus dimasukkan ke dalam celana.
Ikat pinggang saya tambahi tiga lubangnya di paling depan, nyaris ke ujungnya karena lubang asal paling depan yang ada sudah tidak cukup untuk meliliti pinggang saya.
Anak-anak saya lalu sering memperingati saya setiap mereka bertemu saya, katanya, "Pa, dietlah...nanti Papa mudah kena diabet, serangan jantung, atau stroke kalau gemuk begitu, apalagi Papa tak muda lagi (50 tahun saat itu)." Tetapi saya belum juga serius melakukan diet.


-----
Tetapi Desember tahun lalu (2015) semuanya mulai berubah. Resolusi nomor 1 tahun baru 2016 saat itu adalah diet (!). Tetapi namanya resolusi mungkin akan tinggal tetap sebagai resolusi tanpa realisasi bila tidak ada niat kuat sekali di hati.
Niat pun lalu sangat menguat dipicu beberapa masalah pribadi. Saya mulai menjalankan diet dengan gaya saya. Saya makan nasi hanya sekali (siang saja, dengan porsi dikurangi, lauk sederhana saja dan banyak sayur). Sarapan cukup oatmeal kadang-kadang dengan segelas susu, makan malam hanya buah atau sedikit cemilan tanpa minyak. Kopi cukup secangkir sehari.
Tiap pagi saya menimbang badan dengan timbangan digital yang resolusinya bisa diandalkan. Ukuran timbangan saya pada pagi hari akan menentukan gaya saya makan hari itu untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Saya bisa saja tak makan sama sekali hari itu bila timbangan saya naik banyak.
Saya pun berolahraga: angkat besi, bela diri (jiu jitsu, kung fu), lari dan berenang - semuanya olahraga mandiri untuk bertahan hidup -memang begitulah olahraga saya dari muda. Saya lalu rutin push up 80 kali sehari.
Tiga bulan melakukan itu dengan disiplin, berat badan saya turun 12 kg dari 98 kg pada pertengahan Desember tahun lalu (sebelum mulai diet) menjadi 86 kg pada akhir Maret 2016. Rata-rata 3-4kg hilang per bulan adalah capaian yang baik.
Perut buncit saya makin menciut dan akhirnya hilang, berganti perut yang rata. Lalu agar perut saya yang semula buncit menjadi rata, pasti bisa kendor bila dibiarkan, maka saya pun berjuang untuk mengatasinya. Setiap pagi dan sore saya total melakukan sit up 200 kali, bicycle crunch 300 kali (terlentang, kedua kaki diangkat sambil mengayuh, dan melakukan sit up dengan sikut didekatkan ke lutut), dan leg raise 100 kali (kaki diangkat sambil posisi badan bergantung di tiang menggunakan kedua lengan). Dan latihan ini telah memunculkan kembali otot-otot perut saya yang belasan tahun lenyap terkubur lemak.
-----
April-Mei yang lalu saya tak mengalami turun timbangan lagi. Saya sudah mulai sibuk lagi dengan pekerjaan, begadang lagi, terpaksa minum kopi lagi, ngemil lagi. Godaannya besar. Saya mulai melanggar janji tak boleh makan apa pun dan minum manis setelah pukul 20.00. Olahraga juga saya hentikan karena kesibukan (ini kesalahan, olahraga itu tak paralel dengan kesibukan tetapi niat!). Maka wajar timbangan saya tak turun lagi, bahkan mau naik lagi ke 87 kg. Hm...bahaya mengintai.
Pertengahan Juni saya sakit sampai seminggu karena kelelahan. Lalu saya menimbang badan, turun ke 84,5 kg. Saya kaget bercampur gembira, hm momen yang baik. Dua bulan tidak turun, sekali sakit seminggu turun.
Maka saya gunakan momen itu untuk saya memulai diet lagi lebih disiplin. Dan sebulan terakhir saya turun 2 kg lagi hingga kini sekitar 82,5 kg. Jadi total turun berat badan sejak diet pada pertengahan Desember 2015 ke pertengahan Juli 2016 ini 15,5 kg (dari 98 ke 82,5 kg) dalam waktu 7 bulan. Saya tahu berat badan saya sudah hampir mencapai minimal nampaknya untuk porsi badan saya, sehingga makin sulit dan perlu waktu lama untuk turun lagi. Usaha menjaganya lebih sulit daripada mencapainya.
Efek kehilangan berat badan 15 kg itu berarti banyak. Ukuran baju dan celana saya turun, bahkan ukuran sepatu pun harus saya turunkan karena semua yang saya pakai sekarang terasa longgar. Ikat pinggang yang paling drastis turunnya, sampai enam lubang mundur. Kalau saya dulu suka membuat lubang baru di depan nyaris mendekati ujung ikat pinggang agar ikat pinggang masih bisa meliliti pinggang saya yang besar, sekarang malahan saya harus membuat lubang baru lagi di sebelah belakang lubang paling belakang...
-----
Meskipun saya kini kehilangan bobot 15 kg, jangan coba-coba menantang saya. Kedua lengan saya masih besar, saya pengangkat besi dan pejiu-jitsu (judo dan gulat tradisional Jepang). Saya masih bisa melemparkan dan membanting cukup mudah lawan dengan berat 100 kg - karena maksimum beban angkat besi saya hampir 150 kg. Setelah lawan terjatuh, saya akan memburunya dan menguncinya tanpa ampun. Pengalaman berkelahi saya saat muda menunjukkan bahwa lawan-lawan saya takluk oleh bantingan dan kuncian saya. Padahal itu saya belum mainkan jurus-jurus kung fu dan permainan senjata. Ingat saja, olahraga saya bukan untuk bermain, tetapi untuk bertahan hidup...he..he..
Kawan-kawan saya, baik yang seumur, lebih muda, atau lebih senior dari saya, yang gemuk, yang ingin melakukan diet bisa menjadikan pengalaman saya diet sebagai motivasi. Semuanya mungkin dilakukan, selama ada tekad dan disiplin. Umur saya menjelang 52 tahun, saya harus lebih waspada menjaga kesehatan.
Diet dan olahraga adalah juga sebuah perjuangan menuju sehat!***

Penulis: Awang Satyana
Read more ...

Jumat, 05 Agustus 2016

Mengkloning Gerakan Perempuan Berkebaya


Gelombang arabisasi yang dibungkus Islamisasi di Indonesia sejak beberapa tahun silam telah berdampak pada banyak hal antara lain pandangan mengenai "tata busana". Baru beberapa tahun ini saja, umat Islam pada geger bin ribut soal tata cara berpakaian yang "Islami" atau yang "syar'i".
Padahal, dulu tidak ada yang meributkan. Biasa-biasa saja. Para ulama hebat di Indonesia dulu tidak pernah meributkan soal "busana Islami" apalagi "hijab syar'i". Kenapa begitu? Karena memang mereka menganggap semua itu tidak penting dan tidak substansial. Yang penting dan substansial, menurut mereka, adalah menutup aurat. Baru belakangan ini saja, setelah munculnya para ustad unyu-unyu itu, masalah "tata busana Islami/syar'i" ini menjadi marak diperbincangkan.

Sebagian kaum Muslim pun, baik laki maupun perempuan, ramai-ramai ikut-ikutan mengenakan "hijab syar'i" dan "pakaian Nabi". Tidak sebatas itu saja. Mereka bahkan mengolok-olok semua jenis busana tradisional atau pakaian adat Nusantara warisan leluhur yang mereka anggap "tidak Islami", "tidak syar'i", "tidak surgawi" dan seterusnya.
Didorong oleh rasa keprihatinan mendalam khususnya atas maraknya gerakan "hijabisasi masyarakat" inilah, sekelompok perempuan di Jogja "mendeklarasikan" sebuah aksi atau gerakan "Perempuan Berkebaya" yang kini bukan hanya di Jogja saja tetapi juga di beberapa daerah di Indonesia, khususnya Jawa. Mereka bukan hanya berwacana tetapi juga berkebaya kemana-mana di tempat-tempat publik sehingga menarik perhatian banyak pihak.


Memang agak aneh sebetulnya jika ada orang merasa aneh dengan warisan tradisi dan budayanya sendiri. Tapi itulah sebagian fakta sosial di masyarakat kita. Karena hijab dan jubah sudah menjadi semacam "industri agama" yang berskala transnasional dan ditopang oleh berbagai kelompok lapisan masyarakat yang berkepentingan: politisi, dai, birokrat, pengusaha pakaian, dlsb, maka berbagai jenis pakaian adat-tradisional yang berskala lokal menjadi terancam eksistensinya. Ibaratnya, pakaian adat-tradisional itu seperti "home industry" yang sedang menghadapi gempuran hijab dan jubah sebagai "multinational corporation".
Dalam konteks inilah, gerakan "Perempuan Berkebaya Jogja" hadir yang bukan hanya sebagai "kritik wacana" atau "kritik sosial" atau "perlawanan budaya" semata atas "hegemoni hijab" atau dominasi "pakaian Arab", melainkan sebagai bagian dari upaya untuk "mengingatkan publik" agar mau merawat atau melestarikan warisan tradisi dan kebudayaannya sendiri. Sebuah usaha yang tentu saja patut diapresiasi. Jika tidak diingatkan dan diantisipasi sejak dini, maka generasi yang akan datang akan menganggap "antik" dengan pakaian adatnya sendiri.

Apa yang telah dilakukan oleh kelompok "Perempuan Berkebaya Jogja" ini tentu saja perlu "dikloning" oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Perlu ada gerakan-gerakan serupa sesuai dengan pakaian adat-tradisional masing-masing daerah: baju bodo di Bugis, baju cele di Maluku, nggembe di Sulawesi Tengah, sarung sutra mandar di Sulawesi Barat, pesa'an di Madura, ulos di Sumatra Utara dan seterusnya. Di Arab Saudi sendiri, pakaian-pakaian adat-tradisional khas masing-masing suku yang beraneka ragam mulai punah digerus oleh "pakaian Barat" maupun "pakaian Saudi". Jangan sampai hal itu terjadi di negara Indonesia yang kita cintai...

Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Read more ...

Rabu, 03 Agustus 2016

TURKI SEDANG MEMBERANGUS PERADABAN

"Saya tidak terlalu khawatir dengan permintaan ekstradisi, sama seperti saya tidak khawatir dengan kematian," kata Fetullah Gulen, ulama kharismatik yang dituduh Erdogan mendalangi kudeta militer di Turki.
Saat kudeta terjadi, Gulen mengecamnya. Makanya ketika Erdogan menuduh Gulen mendalangi kudeta, komentarnya singkat saja. "Saya tidak akan melakukan apa pun yang akan menodai martabat saya."
Gulen memang orang besar. Ulama, intelektual, penulis dan aktifis pendidikan juga konsen dengan isu-isu tolaransi. Pandangan keagamaanya membawa nafas Jalaluddin Rumi yang penuh kasih. Untuk menyebarkan ajaran Islam yang toleran dan menghargai sains dia menggagas berdirinya berbagai lembaga pendidikan. Salah satunya lembaga Pasiad yang jaringannya sampai ke Indonesia.


Putri saya bersekolah di dua tempat di bawah naungan Pasiad : Sekolah Pribadi di Depok dan Sekolah Kharisma Bangsa di Pondok Cabe, Tenggerang Selatan. Sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan Pasiad tersebar di berbagai kota di Indonesia, dengan berbagai program beasiswa.
Bukan hanya di Indonesia, jaringan sekolah Pasiad ini ada di Korea, Australia, Malaysia, Selandia Baru, berbagai negara Eropa, Amerika, juga Afrika. Kebanyakan siswanya muslim. Tapi tidak menutup diri dari siswa beragama lain. Sebab ideologi yang dikembangkan Gulen adalah Islam yang menjunjung dialog peradabani.

Gulen juga menggagas semacam ruang pembelajaran luar sekolah. Dia mendidirkan asrama (rumah bersama) yang isinya anak-anak dari sekokah negeri. Anak-anak itu bersekolah seperti biasa, tapi mereka disiapkan rumah khusus. Mereka tinggal bersama untuk mendapatkan pendidikan tambahan seperti sains, matematika, bahasa inggris dan menghafal Quran.
Anak teman saya Muhammad Furqon Jamzuri, mengikuti program ini di Pasar Minggu. Dia selalu bercerita tentang anaknya yang bersikap lebih positif, mulai menghafal Quran dan prestasi lebih bagus di sekolahnya. Saya rasa sedikit banyak jasa Gulen sampai ke anak itu di Pasarminggu. Sebuah jarak yang terbentang ratusan ribu kilometer dari AS, tempat tinggalnya sekarang.
Kenapa Gulen mengembangkan jaringan pendidikan ke seluruh dunia, bukan hanya di Turki? Jika cuma kekuasaan Turki yang diinginkannya kenapa repot-repot memberi beasiswa buat seorang siswa di Pasarminggu? Mungkin karena Gulen lebih tertarik untuk mengembangkan peradaban, ketimbang cuma duduk di kursi kekuasaan. Saya tidak tahu.
Bagi Gulen mengembangkan masyarakat harus melalui pendidikan. Dia kumpulkan konglomerat Turki untuk mengembangkan pendidikan melalui dananya. Mendirikan sekolah, menyebar beasiswa,mensosialisasikan ideologi Islam penuh kasih sayang, mengembangkan toleransi, sambil tetap berpegang teguh pada nilai keislaman. Gulen mengembangkan Islam yang bermartabat. Yang bisa berdiri sejajar dengan komunitas lain di dunia.

Jika pendidikan menjadi konsen Gulen dalam menyebarkan gagasannya, wajar saja jika pengaruhnya sedemikian dalam di Turki. Jutaan jiwa pernah tersentuh ajarannya. Tertular semangatnya. Disana dikenal dengan sebutan Hizmet atau Gulen Movement. Semangat menyebarkan kebaikan, penghargaan pada ilmu, berwawasan internasional, tapi tetap memegang nilai keagamaan secara ketat.
Makanya di pemerintahan dan birokrasi banyak orang Turki yang merasa seide dengan Gulen. Mereka inilah yang kini dibersihkan Erdogan dari Turki.

Kabarnya Erdogan telah menahan 7000 orang dan mengancam memberlakukan hukuman mati. Bukan hanya itu dia telah memecat 20 ribu guru, ribuan pegawai kementerian pendidikan. Juga memberh3ntikan 1.557 dekan di berbagai universitas Turki.
Sementara 2.700 hakim dan jaksa juga dicopot dari jabatannya. Pemberhentian juga terjadi pada Gubernur, ribuan polisi, ribuan karyawan kementerian dalam negeri, kementrian keuangan, kantor Perdana Menteri, kementrian agama dan dinas intelejen.

Bersih-bersih mengerikan ini adalah bagian dari usaha Erdogan untuk membendung pengaruh Fetullah Gulen di Turki. Sebuah tindakan yang menurut saya berlebihan dan sia-sia.
"Daftar surat perintah penangkapan sudah ada tidak lama setelah kudeta gagal mengisyaratkan hal itu telah disiapkan sebelumnya dan digunakan pada momen tepat," kata Johannes Kahn, komisioner Uni Eropa.
Erdogan memang seperti paranoid. Dia kuatir kekuasaannya terganggu. Sementara Gulen adalah seorang pendidik dan menyebar ideologi. Sehebat-hebatnya politik meredam sebuah ideologi yang rasional dan manusawi, saya rasa tidak akan efektif. Sejarah mencatat betapa pendeknya usia kekuasaan dan betapa abadinya hasil sebuah memikiran.
Erdoga boleh saja memecat dan menyingkirkan siapapun yang terpengaruh dengan ide-ide Gulen. Tapi itu seperti meminum aspirin untuk mererakan demam akibat typus. Tidak banyak gunanya. Cuma sementara saja hasilnya.

Politik yang ketakutan dengan bersemainya ide-ide, akan terlihat seperti monster dalam film Monster Inc, dia takut dengan cekikikan anak kecil. Tapi ide-ide, meskipun dilindas sedemikian rupa tidak akan mati. Seperti anak kecil yang tidak kehilangan keceriaannya meski hidup dalam camp pengungsi.
Ingat waktu Soeharto menggencet Gus Dur dan ingin membersihkan NU dari pengaruh Gus Dur, nyatanya ide-ide yang dibawa Gus Dur justru makin berkembang sekarang. Seorang diktator bisa membunuh seorang manusia, tapi dia pasti gagal menguburkan sebuah ide yang terlanjur berbiak.
Saya tidak setuju dengan kudeta politik. Jalan paling beradab untuk pergantian kekuasaan hanyalah via Pemilu. Tapi memberangus semua orang yang tidak seide, saya rasa sama tidak beradabnya dengan kudeta poilitik.

Penulis: Eko Kuntadhi
Read more ...

Senin, 01 Agustus 2016

Jangan Hanya Salahkan Pemerintah dan Elite Politik


Sebagian orang tanpa sadar begitu mudahnya mengarahkan jari telunjuknya ke para elit politik atau pemerintah setiap ada kasus ketidakberesan sosial. Padahal, di alam demokrasi seperti ini, masyarakat--semuanya tanpa kecuali--juga turut bertanggung jawab jika terjadi ketidakberesan itu. Bukankah kita yang memilih mereka? Tetapi sayangnya, sebagian masyarakat lebih suka "berlagak oon" dan hobi "tunjuk hidung" kepada pemerintah dan elit politik itu ketimbang kepada dirinya sendiri.
Sejak Pak Harto "melengserkan diri" tahun 1998, masyarakat Indonesia sebetulnya mempunyai peluang sangat besar untuk turut berpartisipasi sebagai "pemain" guna memajukan bangsa dan negara. Dulu, zaman Pak Harto, masyarakat hanya sebagai "penonton" saja. Era Orde Baru memang ada Pemilu, tetapi hasilnya sudah diketahui sebelum Pemilu dilaksanakan.


Ketika "kran" demokrasi dibuka lebar-lebar dimana masyarakat diberi keleluasaan untuk memilih secara langsung (bukan diwakili lagi seperti dulu) para pemimpin dan elit politik yang jujur, bersih, kredibel, dan berkualitas, sebagian masyarakat, sayangnya, tidak memanfaatkan momentum emas ini dengan sebaik-baiknya. Sebagian bahkan mabuk pesta demokrasi dan euforia politik tanpa arah dan tujuan dan tanpa komitmen positif membangun masyarakat, bangsa dan negara.
Sebagian dari mereka "terperosok" ke dalam "politik identitas" berbasis agama, suku, etnis, kedaerahan, ideologi, kelompok, dlsb. Tak peduli, seburuk dan sebobrok apapun calon pemimpin dan elit politik itu, mereka akan pilih hanya karena "sesama iman," sesama agama, sesama ormas agama, sesama kongregasi, sesama sekte, sesama etnik, sesama suku, sesama daerah, sesama organisasi, sesama berjubah dan berjenggot, dan seterusnya.

Sebagian lagi tersungkur kedalam "politik uang". Kalau sudah ditutup duit, matanya tiba-tiba jadi rabun, lidahnya mendadak pilu, suaranya meredup, ingatannya hilang, kesadarannya lenyap. Persis seperti kerbau yang dicocok hidungnya: jadi "bodo ela-elo" alias bloon tidak ketulungan. Coba Anda perhatikan, hanya karena "uang recehan" saja, mereka rela diangkut truk berdesak-desakan untuk menghadiri kampanye calon ini dan itu sehingga sampai susah dibedakan mana "sapi" dan "Sapii".

Sebagian lagi terperangkap kedalam "politik kharisma". Hanya karena dia dari keturunan "darah biru" misalnya, baik itu kaum "nengrat agama", "nengrat kerajaan," "nengrat politik" dan seterusnya, masyarakat akan tetap memilihnya dan sanak-kerabatanya sebagai kepala daerah, birokrat pemerintahan, pemimpin politik, anggota dewan. Meskipun mereka ini sudah jelas-jelas seorang "kriminal kemanusiaan" dan koruptor kelas ikan paus. Tapi lagi-lagi, sebagian masyarakat seperti orang mabuk ekstasi karena kebanyakan mengonsumsi "pil koplo" sehingga tidak mampu membedakan mana berlian dan kotoran kambing. Miris saya melihat di sejumlah daerah dimana masyarakatnya tetap setia memilih para "badit politik" dan perampok uang rakyat hanya karena ia dari keturunan "darah biru" atau setengah biru.

Berpolitiklah secara rasional dengan menggunakan akal-pikiran waras, bukan dengan sentimen-sentimen priordial yang tiada gunanya dan merugikan kita semua...

Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Read more ...

Indonesia

Air Hidup

Advertise Here

Designed By VungTauZ.Com