Senin, 01 Agustus 2016
Jangan Hanya Salahkan Pemerintah dan Elite Politik
Sebagian orang tanpa sadar begitu mudahnya mengarahkan jari telunjuknya ke para elit politik atau pemerintah setiap ada kasus ketidakberesan sosial. Padahal, di alam demokrasi seperti ini, masyarakat--semuanya tanpa kecuali--juga turut bertanggung jawab jika terjadi ketidakberesan itu. Bukankah kita yang memilih mereka? Tetapi sayangnya, sebagian masyarakat lebih suka "berlagak oon" dan hobi "tunjuk hidung" kepada pemerintah dan elit politik itu ketimbang kepada dirinya sendiri.
Sejak Pak Harto "melengserkan diri" tahun 1998, masyarakat Indonesia sebetulnya mempunyai peluang sangat besar untuk turut berpartisipasi sebagai "pemain" guna memajukan bangsa dan negara. Dulu, zaman Pak Harto, masyarakat hanya sebagai "penonton" saja. Era Orde Baru memang ada Pemilu, tetapi hasilnya sudah diketahui sebelum Pemilu dilaksanakan.
Ketika "kran" demokrasi dibuka lebar-lebar dimana masyarakat diberi keleluasaan untuk memilih secara langsung (bukan diwakili lagi seperti dulu) para pemimpin dan elit politik yang jujur, bersih, kredibel, dan berkualitas, sebagian masyarakat, sayangnya, tidak memanfaatkan momentum emas ini dengan sebaik-baiknya. Sebagian bahkan mabuk pesta demokrasi dan euforia politik tanpa arah dan tujuan dan tanpa komitmen positif membangun masyarakat, bangsa dan negara.
Sebagian dari mereka "terperosok" ke dalam "politik identitas" berbasis agama, suku, etnis, kedaerahan, ideologi, kelompok, dlsb. Tak peduli, seburuk dan sebobrok apapun calon pemimpin dan elit politik itu, mereka akan pilih hanya karena "sesama iman," sesama agama, sesama ormas agama, sesama kongregasi, sesama sekte, sesama etnik, sesama suku, sesama daerah, sesama organisasi, sesama berjubah dan berjenggot, dan seterusnya.
Sebagian lagi tersungkur kedalam "politik uang". Kalau sudah ditutup duit, matanya tiba-tiba jadi rabun, lidahnya mendadak pilu, suaranya meredup, ingatannya hilang, kesadarannya lenyap. Persis seperti kerbau yang dicocok hidungnya: jadi "bodo ela-elo" alias bloon tidak ketulungan. Coba Anda perhatikan, hanya karena "uang recehan" saja, mereka rela diangkut truk berdesak-desakan untuk menghadiri kampanye calon ini dan itu sehingga sampai susah dibedakan mana "sapi" dan "Sapii".
Sebagian lagi terperangkap kedalam "politik kharisma". Hanya karena dia dari keturunan "darah biru" misalnya, baik itu kaum "nengrat agama", "nengrat kerajaan," "nengrat politik" dan seterusnya, masyarakat akan tetap memilihnya dan sanak-kerabatanya sebagai kepala daerah, birokrat pemerintahan, pemimpin politik, anggota dewan. Meskipun mereka ini sudah jelas-jelas seorang "kriminal kemanusiaan" dan koruptor kelas ikan paus. Tapi lagi-lagi, sebagian masyarakat seperti orang mabuk ekstasi karena kebanyakan mengonsumsi "pil koplo" sehingga tidak mampu membedakan mana berlian dan kotoran kambing. Miris saya melihat di sejumlah daerah dimana masyarakatnya tetap setia memilih para "badit politik" dan perampok uang rakyat hanya karena ia dari keturunan "darah biru" atau setengah biru.
Berpolitiklah secara rasional dengan menggunakan akal-pikiran waras, bukan dengan sentimen-sentimen priordial yang tiada gunanya dan merugikan kita semua...
Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar