Ini lebaran. Waktunya bermaafan. Juga mendesak orang untuk minta maaf. Desakan itu untuk membuktikan bahwa mereka salah, lalu harus mengakui kesahalan.
Makanya ada yang menuntut pemerintah minta maaf atas kemacetan di tol Brexit, yang menyebabkan beberapa orang meninggal kelelahan. Mendagri dan Wapres atas nama pemerintah sudah menyampaikan permohonan maaf kepada publik.
Desakan permohonan maaf itu, semoga didorong oleh penghargaan pada
setiap nyawa manusia. Ada sekitar 10 orang yang wafat dalam kemacetan.
Ada bayi yang kebanyakan menghirup CO2 akibat AC kendaraan terus
menyala.
Ada orang tua yang sedang sakit lalu meninggal saat turun dari bus. Ada juga yang meninggal di rumah makan.
Eh, mentang-mentang lebaran pemerintah juga didesak untuk meminta maaf atas beredarnya vaksin palsu. Vaksin abal-abal yang sudah 13 tahun beredar itu kini terbongkar.
Saya senang dengan model berfikir seperti ini. Setiap kekacauan publik, apalagi yang menyebabkan nyawa melayang, pemerintah memang harus rendah hati. Permohonan maaf itu tanda, bahwa di Indonesia,setiap lembar nyawa rakyat sangat dihargai.
Meski rezim berganti, sejatinya pemerintahan Indonesia adalah kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Vaksin palsu itu beredar jauh sebelum era Jokowi, karena terbongkarnya sekarang maka yang harus minta maaf adalah pemerintahan sekarang.
Jadi ada 10 orang meninggal karena kemacetan, pemerintah harus minta maaf pada publik. Ada bayi yang disuntik vaksin palsu, pemerintah juga harus minta maaf ke rakyat.
Tahun 1965 ada sejuta rakyat mati. Dieksekusi tanpa pengadilan. Di tebas lehernya atau di tembak, lalu mayatnya dibuang begitu saja. Dosanya : karena mereka dianggap PKI. Sungai bermerah darah.
Tidak ada yang menyangkal bahwa proses pembunuhan masal itu melibatkan organ pemerintah. Kita bisa berdebat, bahwa saat itu PKI juga yang memprovokasi konflik horisontal. Jadi pembantaian orang-orang PKI itu adalah ujung dari provokasinya sendiri.
Saya tidak tertarik dengan perdebatan itu. Tapi saya tertarik pada desakan agar pemerintah menghargai setiap nyawa warganya. Jika untuk kematian 10 orang karena menghirup racun atau sakit keras di dalam bus, pemerintah harus minta maaf. Bagaimana jika yang melayang adalah sejuta nyawa?
Sayangnya. Orang yang ngotot pemerintah kudu minta maaf karena macet Btexit atau karena vaksin palsu, saya yakin mereka akan menolak jika ada desakan pemerintah kudu minta maaf pada korban PKI 1965 lalu. Minta maaf atas melayangnya sejuta nyawa tanpa pengadilan.
Minta maaf atas nasib ratusan ribu anak yang tiba-tiba jadi yatim atau piatu. Kepada ratusan ribu perempuan yang tiba-tiba jadi janda. Minta maaf pada rasa nyeri sebuah generasi.
Kita tahu, bagi mereka bukan nyawa orang yang benar-benar penting...
Penulis: Eko Kuntadhi
Ada orang tua yang sedang sakit lalu meninggal saat turun dari bus. Ada juga yang meninggal di rumah makan.
Eh, mentang-mentang lebaran pemerintah juga didesak untuk meminta maaf atas beredarnya vaksin palsu. Vaksin abal-abal yang sudah 13 tahun beredar itu kini terbongkar.
Saya senang dengan model berfikir seperti ini. Setiap kekacauan publik, apalagi yang menyebabkan nyawa melayang, pemerintah memang harus rendah hati. Permohonan maaf itu tanda, bahwa di Indonesia,setiap lembar nyawa rakyat sangat dihargai.
Meski rezim berganti, sejatinya pemerintahan Indonesia adalah kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Vaksin palsu itu beredar jauh sebelum era Jokowi, karena terbongkarnya sekarang maka yang harus minta maaf adalah pemerintahan sekarang.
Jadi ada 10 orang meninggal karena kemacetan, pemerintah harus minta maaf pada publik. Ada bayi yang disuntik vaksin palsu, pemerintah juga harus minta maaf ke rakyat.
Tahun 1965 ada sejuta rakyat mati. Dieksekusi tanpa pengadilan. Di tebas lehernya atau di tembak, lalu mayatnya dibuang begitu saja. Dosanya : karena mereka dianggap PKI. Sungai bermerah darah.
Tidak ada yang menyangkal bahwa proses pembunuhan masal itu melibatkan organ pemerintah. Kita bisa berdebat, bahwa saat itu PKI juga yang memprovokasi konflik horisontal. Jadi pembantaian orang-orang PKI itu adalah ujung dari provokasinya sendiri.
Saya tidak tertarik dengan perdebatan itu. Tapi saya tertarik pada desakan agar pemerintah menghargai setiap nyawa warganya. Jika untuk kematian 10 orang karena menghirup racun atau sakit keras di dalam bus, pemerintah harus minta maaf. Bagaimana jika yang melayang adalah sejuta nyawa?
Sayangnya. Orang yang ngotot pemerintah kudu minta maaf karena macet Btexit atau karena vaksin palsu, saya yakin mereka akan menolak jika ada desakan pemerintah kudu minta maaf pada korban PKI 1965 lalu. Minta maaf atas melayangnya sejuta nyawa tanpa pengadilan.
Minta maaf atas nasib ratusan ribu anak yang tiba-tiba jadi yatim atau piatu. Kepada ratusan ribu perempuan yang tiba-tiba jadi janda. Minta maaf pada rasa nyeri sebuah generasi.
Kita tahu, bagi mereka bukan nyawa orang yang benar-benar penting...
Penulis: Eko Kuntadhi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar