Breaking News

Islam

Politik

Jumat, 28 April 2017

AHOK TIDAK MENISTA AGAMA


Ahok tidak dituntut dengan pasal menistakan agama. Asumsi itu tidak terbukti dan Jaksa sendiri tidak berani mengajukan pasal penodaan agama dalam tuntutannya. Ahok hanya dituntut pasal penodaan pada kelompok keagamaan.
Tuntutan ini membuktikan, bahwa Ahok memang tidak pernah menodai agama. Tidak menodai Islam dan Al Quran. Dia hanya menyinggung orang yang menggunakan ayat Al Maidah 51 untuk kepentingan politiknya.
Tapi apakah orang akan bisa memaknai ini dengan baik? Saya tidak yakin, setelah semua kehebohan ini. Saya rasa mereka yang membenci akan lebih suka memaki Ahok sebagai penista agama. Walaupun dituntut sebagai penista agama saja belum pernah.

 
Jaksa menuntut Ahok dengan tuntutan penjara 1 tahun, dwngan masa percobaan 2 tahun. Itu maknanya Ahok akan dikenakan hukuman penjara 1 tahun, apabila dia melakukan tindak pidana dalam 2 tahun masa percobannya. Jika dalam 2 tahun tidak ada tindakan pidana yang dilakukan, Ahok tidak perlu masuk penjara. Jadi kemungkinan besar memang Ahok tidak akan dipenjara.
Tapi bukan soal Ahok dipenjara atau tidak yang penting disini. Keputusan hakimlah yang penting. Palu hakim itu akan menentukan masa depan politik seorang Ahok.
Jika Ahok diputuskan bersalah oleh majelis hakim, meski tidak dipenjara, maka para pembenci Ahok akan terus menstigma dia sebagai penista agama. Walaupun tuntutan JPU tidak mengatakan Ahok sebagai menista agama.

Stigma itu akan dipakai ketika dibutuhkan untuk memojokkan Ahok. Artinya keputusan Ahok bersalah atau tidak, bisa berfungsi sebagai lonceng kematian karir politik seorang Ahok. Setidaknya karirnya dalam politik elektoral.

Jika nanti Ahok berniat maju dalam sebuah kontestasi politik, baik untuk jabatan eksekutif maupun legislatif, kita yakin stigma ini akan dimunculkan lawan-lawan politiknya kembali. Keputusan hakim akan digunakan sebagai legitimasi bahwa Ahok menista agama. Walaupun faktanya bukan itu.
Kita mungkin akan melupakan urusan Pilkada Jakarta. Ahok mungkin bisa saja memilih karir lain di luar politik. Tampaknya tidak sulit baginya untuk menjalani hidup 'normal' : cari nafkah, leyeh-leyeh dengan keluarga, menikmati hidup seperti kebanyakan kita.
Dia tidak perlu lagi pusing memikirkan bagaimana ikut berperan untuk mensejahterakan rakyat. Tidak perlu lagi memikirkan bagaimana mengadministrasi keadilan sosial. Dia tidak perlu lagi menitikkan air mata melihat seorang renta terbaring di kamarnya dalam keadaan sakit.

Bahkan di masa akhir jabatannya, Ahok membuka diri kepada Gubernur terpilih untuk mengirimkan tim anggarannya membahas bersama penyusunan anggaran. "Biar Pak Anies lebih cepat menunaikan janji-janji kampanyenya," ujar Ahok.

Palu hakim akan menghentikan gairah itu dalam diri seorang Ahok. Dan bagi sebagian kita, setelah keputusan ini nanti, semuanya akan berjalan biasa saja.

Tapi, dengan tingkat kepuasan publik Jakarta mencapai 76% terhadap kinerjanya, hilangnya kesempatan Ahok untuk kembali menjalani karir politik elektoral, justru yang paling dirugikan adalah rakyat.
Kita akan kehilangan kesempatan menikmati seorang yang begitu bergairah dalam melayani kebutuhan publik. Orang yang meluangkan waktu, tenaga dan biaya untuk mau menyelesaika ratusan keluhan masyarakat setiap pagi.

Oktober nanti, Ahok seperti menjalani nubuat yang dinyanyikan John Lennon beberapa puluh tahun lalu. Dia kembali menjadi rakyat.

"Ahok someday you'll join us..."

Penulis: Eko Kuntadhi
Read more ...

Rabu, 26 April 2017

ORANG-ORANG SUPER KAYA


Baru-baru ini saya berjumpa dengan orang-orang terkaya di negeri ini..
Mereka mengundang saya sekedar untuk mendengar penjelasan bagaimana analisa saya terhadap situasi negeri ini ke depannya nanti.

Bukan kekayaan mereka yang membuat saya takjub - karena saya tidak pernah takjub dengan materi - tetapi justru kesederhanaan mereka. Pakaian mereka tidak lebih bagus dari apa yang saya pakai.
Dan - menariknya - mereka mampu menghargai saya yang sama sekali bukan apa-apa dalam masalah materi jika dibandingkan dengan mereka. Seperti buih di lautan...
Saya tidak diundang ke rumah, tetapi ke kantor mereka. Kebetulan memang saya diundang makan siang bersama di sana. Kantor mereka tidak lebih bagus dari kantor2 yang pernah saya kunjungi. Model kantor lama. Ini diluar perkiraan saya mengingat nama besar mereka ketika nangkring di majalah yang selalu kepo dengan kekayaan seseorang, Forbes.



Di satu lantai yang dekat dengan kantor Direksi, saya melihat ada kantin disana dengan riuhnya para karyawan mereka. Saya bertanya, "Kenapa kok kantin ada dekat ruang Direksi ? Biasanya kantin karyawan ada di lantai bawah atau basement..".
Salah seorang "pangeran" yang sangat rendah hati meski masih muda, dengan senyum berkata, "Disini kami memang terbiasa makan bersama tidak membedakan pangkat dan jabatan. Dan itu bukan kantin, itu memang tempat makan siang dengan gaya kantin..". Ugh, menarik sekali bagaimana mereka memposisikan diri sebagai pemilik dengan para karyawannya.

Makan siangpun tidak istimewa - jika diukur dari besarnya kekayaan mereka. Sayur asem dan pecel. Yang agak mewah sedikit ada gule ayam padang disana kesukaan saya. Tidak ada lobster seperti yang biasa dimakan anggota DPRD DKI sebelum Ahok menjabat.
Selama perbincangan mereka banyak mendengar. Kemampuan mereka untuk menjadi pendengar sungguh mengagumkan. Mereka menyerap ilmu dengan mudah karena menggunakan prinsip air, ilmu tidak akan mengalir ke tempat yang lebih tinggi. Sesudah selesai, mereka bahkan mengantarkan saya ke bawah ke tempat mobil di parkir...

Apa yang bisa dipelajari pada situasi ini ?

Pada level orang superkaya, mereka sudah tidak perlu lagi menunjukkan eksistensi materinya. Tidak ada yang perlu dipamerkan. Mereka sudah membumi dengan sendirinya.
Mereka menemukan tingkat tertinggi nilai materinya dan menemukan kekosongan di dalamnya. Mereka sudah tidak mengukur dirinya dan orang lain. Siapa yang berani mengukur mereka ?
Dalam tingginya puncak materi, mereka menemukan spiritualitas. Mirip seorang ulama yang dengan ketinggian ilmunya, menjadikannya membumi bukan sibuk demo dan memperkaya diri dengan teriakan-teriakan yang membuat ngeri.

Uang buat mereka sangat penting karena itu mereka terus memperbesar jaringannya kemana-mana. Tetapi disana bukan lagi berapa yang ingin mereka capai, karena "berapa" sudah bukan lagi nilai tertinggi. Mereka mengerjakan "apa" yang menarik dan terus mengembangkan insting.

Saya jadi teringat film tentang runtuhnya pasar modal di Amerika karena bubble. Dan disana ada adegan Warren Buffet - salah seorang terkaya di dunia - sedang mengajak jalan cucunya di Mc Donald sambil menerima telpon Presiden. Sungguh kontras pemandangan sebagai orang biasa dibandingkan berapa nilai materi yang dia punya.
Pelajaran berharga tentang nilai saya dapatkan lagi dalam perjalanan hidup yang semakin lama semakin menarik ini.

Dan sambil seruput kopi pagi ini, saya membaca berita bahwa Setnov baru saja membeli pesawat pribadi senilai hampir 700 miliar rupiah.

Memang beda antara orang superkaya dan kayasuper. Kalo kayasuper itu kaya tapi kwalitas super..
Seruputtt..

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Senin, 24 April 2017

ISLAM VS PKI


Saya dulu sering bercanda tentang isu kebangkitan PKI di Indonesia..
Bahkan ketika Kivlan Zein bicara tentang adanya 15 juta anggota PKI di Indonesia, saya membuat surat terbuka untuknya. Dan seperti biasa saya dicaci maki fans beliau yang saya tanggapi dengan senyum lebar karena saya berfikir, "kok bodoh benar ya percaya gituan.."
Tetapi ketika saya melihat perbincangan banyak grup di bumi datar, saya kaget juga. Isu PKI itu ternyata sangat efektif dan dibangun kembali pelan-pelan. Begitu banyak yang mempercayainya seperti mereka mempercayai agamanya.

Melihat kasus Teten Masduki yang dituding PKI oleh Alfian Tanjung yang dianggap ustad oleh jamaahnya, saya mulai menangkap benang merahnya. Apalagi ditambah politisasi masjid spt yang terjadi di Jakarta baru-baru ini.
Islam Indonesia di daerah-daerah adalah Islam kultural. Meskipun diikat dalam bentuk struktrural atau organisasi, tapi pada dasarnya umat Islam yang aktif dalam pengajian maupun majelis2 cenderung taklid pada ulama dan ustadnya.

Dan belajar dari kasus keberhasilan menguasai umat melalui masjid dan ulamanya disana, saya melihat bahwa isu PKI kembali dihembuskan dan diperkuat doktrinnya.
Pertanyaannya, kemana isu ini akan dihantamkan ?

Pola yang sama bisa kita lihat di Suriah.



Isu bahwa Bashar Assad Presiden Suriah adalah syiah yang membantai rakyatnya sendiri dimulai dari masjid2 dan tempat berkumpulnya umat. Semakin lama isu ini semakin gencar dengan bumbu yang makin kental dan masuk ke tentara. Tentara terpengaruh dan terpecah dua. Sebagian dari mereka desersi - bahkan sahabat Assad sendiri yg mempunyai jabatan tinggi - dan bergabung dalam kelompok perlawanan.
Isu PKI ini - yang sedang diperkuat sana sini - akan melanjutkan isu penistaan agama. Hanya kali ini sasarannya adalah Jokowi. Meskipun sempat reda, isu ini kembali di perkuat lagi karena dipercaya akan mengulang kesuksesan yang sama ketika menghadapi penista agama.

Para lawan Jokowi akan menbalut dirinya dengan kata "Islam". Belajar dari sejarah bahwa dulu umat Islam yang diprakarsai NU berada di barisan paling depan melawan PKI, maka mereka memanfaatkan situasi itu.
Salah satu partai yang akan terkena dampak dari isu ini adalah PDIP. Jabar akan menjadi ujian yang keras buat PDIP dan siapapun yang dicalonkannya.

Sayangnya, PDIP selalu terlambat mengantisipasi sesuatu yang sebenarnya mudah dideteksi. Mungkin ini akibat partai terlalu gemuk dan sedang berada di pucuk kekuasaan sehingga lamban bergerak dan memutuskan.
Isu Islam vs PKI ini kemungkinan akan membesar. Bermula di Jawa Barat sebagai "basis perjuangan Islam" dan meluas ke pusat saat Pilpres 2019. Model intimidasi, masjid di politisasi akan kita temui kembali saat Indonesia menyelenggarakan pemilu nantinya.

Kenapa model ini akan kembali diadopsi ? Karena di Jakarta mereka sukses dan menang..
Ada tiga kelompok yang memanfaatkan isu Islam vs PKI ini.
Pertama, para mafia yang selama ini kehilangan dapur gara2 Jokowi yang membuat mereka gemuk gak keruan.

Kedua, politikus ambisius yang rakus dan tamak akan jabatan.
Dan terakhir, ini yang paling ngeri. Kelompok ini akan menunggangi dana dari mafia dan ambisiusnya politikus untuk meluncurkan agenda sebenarnya yaitu khilafah.
Para pengusung khilafah ini tidak penting siapa yang akan jadi pemimpin. Buat mereka ketika negara bentrok akibat perebutan kekuasaan saja, itu sudah sukses besar dan memuluskan agenda mereka sebenarnya.
Kelompok yang mengatas-namakan agendanya sebagai "perjuangan Islam" ini akan kembali meneriakkan konsep perang Badar dan model Islami lainnya. Mereka sudah memetakan musuh yang mereka bangun sendiri ,yaitu PKI dan akan dihantamkan kepada Jokowi supaya kredibilitasnya hancur saat pemilu nanti.
Sebelum Pemilu 2019, kita akan melihat konsolidasi mereka di masjid2 dengan ormas2 yang dibiayai dari APBD. Dan dari hasil konsolidasi ini akan diarahkan untuk demo-demo lanjutan yang diarahkan ke Jokowi.
Analisa ini memang ngeri. Tapi belajar dari Suriah, situasi ini bisa saja terjadi. Dan kita melihat apa yang sudah mereka lakukan saat pilkada DKI sebagai contoh apa yang akan mereka lakukan nanti.
Coba sekali2 bicara sama sekelompok orang bodoh dalam jumlah besar, apa pendapat mereka tentang bangkitnya PKI di Indonesia ? Lihat ngerinya pandangan radikal mereka akibat doktrin karena ketidak-tahuan. Mereka yakin sekali bahwa mereka akan berjihad untuk membebaskan negeri ini.
Sejak kemenangan garis keras di DKI, kopi saya pahit sekali. Ini akan menjadi pilpres terkeras yang akan kita lalui..

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Sabtu, 22 April 2017

PERAYAAN KEKALAHAN AHOK

Aku baru datang ketika mereka berlima sudah berkumpul di sebuah kafe. Sore tadi, seorang kawan menelepon. "Bro, datang, ya. Ke tempat biasa. Kita rayakan kekalahan, Ahok," ujarnya. Aku cuma bisa menjawab, "Ok, gue usahain, ya..."


"Jangan cuma ok-ok, bro. Lama-lama jadi Ok-Oc lagi... hahahahaha."
Kawan-kawan ini adalah para die hard Ahok. Mereka bertarung habis-habisan untuk memenangkan Ahok-Djarot. Lelaki yang duduk di depanku, sedang merokok, adalah seorang pengusaha rumah makan. Di sebalahnya duduk seorang perempuan, mantan wartawan majalah wanita. Tiga orang lainnya, seorang perempuan dan dua orang lelaki adalah karyawan. Saya tidak tahu mereka bekerja di perusahaan apa.
"Gue sampai di boikot di keluarga. Gue dikafir-kafirin, dibilang keluar dari Islam," kisah seorang mengenang perjuangannya. "Tapi gue gak peduli. Emang yang nentuin masuk surga mereka? Yang nentuin masuk surga kan, panitia seleksi... hahahahahha."

"Gue sih, gak masalah dikafir-akfirin. Udah biasa," celetuk temanku, mantan wartawan.
"Iya, lu udah biasa. Lu kan, kristen," timpal teman perempuan lainnya. Wartawati tadi tertawa renyah.
"Jangan-jangan, nanti malah elu yang masuk surga duluan," celutukku, ke arah wartawati tadi. Lalu kami tertawa, melepaskan senja yang pelan-pelan tergelincir.
"Waktu perhitungan Quick Count menandakan Ahok kalah, gue langsung matiin TV. Gue ajak anak-bini gue jalan ke mall. Gue nonton..."

"Sama. Gue juga lemes waktu tanda-tanda bakal kalah. Makan jadi gak enak. Ngopi kok, rasanya pahit. Gak tahunya, belum pake gula... hahahahahha"

"Gue sih, waktu tahu Ahok kalah, langsung buka FB. Mau baca tulisan lu," kata seorang teman perempuan ke arah saya. "Eh, busyet. udah kalah, tulisan lu masih ngeledek aja. Dasar, lu."
Saya cuma nyengir. Obrolan diteruskan. Lalu seorang memperlihatkan foto-foto Ahok dan Djarot sedang di tengah kerumunan massa dari tabletnya. Ada foto Ahok sedang dipeluk nenek-nenek. Ada yang sedang menggendong Balita. Ada juga ketika dia duduk bersila di kamar seorang lelaki renta yang sedang sakit.
Seorang lagi, memutarkan sidang pertama Ahok. "Saya dituduh menista agama Islam. Itu sama saja saya dituduh menista agama saudara angkat saya sendiri. Sama saja saya dituduh menista agama ibu angkat saya sendiri. Saya menghormati ibu angkat saya, mecintai keluarga angkat saya...," ujar Ahok, yang duduk di kursi pesakitan. Suaranya bergetar.

"Udah, ah, jangan video itu diputerin lagi," ujar kawan perempuan. Dia mengambil tisu dari meja. Menyeka matanya. Teman pengusaha restoran juga membuang muka. Lalu berjalan ke arah westafel.
Saya cuma memandang ke luar. Langit Jakarta yang memerah. Awan berarak-arakan seperti karnaval 17 Agustus. Matahari sore luruh perlahan. "Senja memang selalu menakjubkan," bathinku.
Tetiba terlintas sebait puisi Sapardi Djoko Damono di kepalaku. "Dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya..."

Penulis: Eko Kuntadhi
Read more ...

Rabu, 19 April 2017

SECANGKIR ILMU PAHAM


Tingkat terbawah dalam ilmu itu adalah *"paham".*
Ini wilayah kejernihan logika berfikir dan kerendahan hati. Ilmu tidak membutakannya, malah menjadikannya kaya.
Tingkat ke dua terbawah adalah *"kurang paham".*
Orang kurang paham akan terus belajar sampai dia paham.., dia akan terus bertanya untuk mendapatkan simpul2 pemahaman yang benar...!

Naik setingkat lagi adalah mereka yang *salah paham.* Salah paham itu biasanya karena emosi dikedepankan, sehingga dia tidak sempat berfikir jernih. Dan ketika mereka akhirnya paham, mereka biasanya meminta maaf atas kesalah-pahamnya. Jika tidak, dia akan naik ke tingkat tertinggi dari ilmu.
Nah, tingkat tertinggi dari ilmu itu adalah *gagal paham.* Gagal paham ini biasanya lebih karena *kesombongan.*

Karena merasa berilmu, dia sudah tidak mau lagi menerima ilmu dari orang lain.
Tidak mau lagi menerima masukan dari siapapun (baik itu nasehat dll ), atau pilih-pilih hanya mau menerima ilmu (nasehat) dari yang dia suka saja..., bukan ilmu yg disampaikan, tapi siapa yang menyampaikan..?
Tertutup hatinya.
Tertutup akal pikirannya.
Tertutup pendengarannya.
Tertutup logikanya.
*_Ia selalu merasa cukup dengan pendapatnya sendiri._*
*Parahnya lagi...,*
Dia tidak menyadari bahwa pemahamannya yang gagal itu, menjadi bahan tertawaan orang yang paham.
Dia tetap dengan dirinya,
dan dia bangga dengan
*ke-gagal paham-annya...*
"Kok paham ada di tingkat terbawah dan gagal paham di tingkat yang paling tinggi ? Apa tidak terbalik ?"
"Orang semakin paham akan semakin membumi, menunduk, merendah.
Dia menjadi bijaksana, karena akhirnya dia tahu, bahwa sebenarnya banyak sekali ilmu yang belum dia ketahui, dia merasa se-akan2 dia tidak tahu apa-apa...
Dia terus mau menerima ilmu, darimana-pun ilmu itu datangnya.
Dia tidak melihat siapa yang bicara, tetapi dia melihat.., apa yang disampaikan..!

Dia paham..,
*ilmu itu seperti air, dan air hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah.*
Semakin dia merendahkan hatinya, semakin tercurah ilmu kepadanya.
Sedangkan gagal paham itu ilmu tingkat tinggi.
*dia seperti balon gas* yang berada di atas awan.
Dia terbang tinggi dengan kesombongannya..,
Memandang rendah ke-ilmuan lain yang tak sepaham dengannya,
*Dan merasa akulah kebenaran...!*
Masalahnya.., dia tidak mempunyai pijakan yang kuat, sehingga mudah ditiup angin, tanpa mampu menolak.
Sering berubah arah, tanpa kejelasan yang pasti.
Akhirnya dia terbawa ke-mana2 sampai terlupa jalan pulang.., dia tersesat dengan pemahamannya dan lambat laun akan dibinasakan oleh kesombongannya...
Dia akan mengakui ke-gagal paham-annya.., dengan penyesalan yang amat sangat dalam.

"Jadi yang perlu diingat..,
akal akan berfungsi dengan benar, ketika hatimu merendah....
Ketika hatimu meninggi.., maka ilmu juga-lah yang akan membutakan si pemilik akal.."
Ternyata di situlah kuncinya.
*"Ilmu itu open ending"*
Makin digali makin terasa dangkal.
Jadi kalau ada orang yang merasa sudah tahu segalanya, berarti dia tidak tahu apa2...!"

SEMOGA BERMANFAAT ... Selamat beraktifitas...

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Senin, 17 April 2017

MEREKA MENISTA MASJID


Takmir dan penggurus mesjid Al-Atiq di Tebet, Jakarta Selatan mengusir Djarot Saiful Hidayat saat sholat Jumat tadi siang. Padahal Djarot datang untuk sholat Jumat, bukan buat kampanye. Dia datang sebagai jemaah, bukan sebagai Cawagub.
Peristiwa-peristiwa seperti ini yang membuat saya makin ngotot membela mereka yang ditindas. Atas nama agama, mereka mempermalukan Pak Djarot. Dia adalah seorang muslim yang berhak sholat Jumat di masjid mana saja. Rumah Allah terbuka untuk semua muslim.


Tapi kampret-kampret di masjid itu mengotori rumah Allah dengan provokasi. Mereka mencaci. Mereka memaki. Menggunakan speaker masjid, untuk menista muslim lainnya. Menggunakan fasilitas umat, untuk menista seorang umat lainnya.
Pak Djarot dan seluruh muslim punya hak sholat Jumat di masjid mana saja. Dia berhak bersujud di musholla manapun. Sebab masjid sesungguhnya adalah tempat bersujud. Tempat manusia menempelkan keningnya ke lantai, menundukkan egonya berhadapan dengan Yang Maha Besar.
Masjid didirikan untuk menandakan kerendahan hati manusia di hadapan sang Khalik. Bukan sarana untuk petantang-petenteng, merasa sok kuasa. Masjid bukan sarana untuk melampiaskan ego. Apalagi cuma karena alasan beda pilihan politik.

Kita menyaksikan kekurangajaran itu. Kita menyaksikan masjid-masjid kita dikotori oleh kejahilan. Kita juga mendengar mimbar-mimbar Jumat berubah jadi ajang kampanye. Semakin lama, semakin memuakkan.
Dulu orang masuk masjid untuk mencari kedamaian. Kini masjid justru dipenuhi provokasi. Di manakah mihrab-mihrab suci itu, tempat manusia dari manapun asalnya bermesra-mesra dengan Tuhannya.
Di depan mata kita, kesucian masjid sedang dilumuri kebebalan. Di depan mata kita, agama cuma diposisikan sebagai slogan politik yang makin hari semakin norak.
Kini masjid KH Hasyim Asyari di Daan Mogot juga difitnah. Mereka menyebarkan isu masjid itu ada lambang salib. Ini benar-benar memuakkan. Para kampret itu selalu mengumbar cerita-cerita busuk untuk merusak persatuan.

Kita tahu, semua ini sengaja dilakukan agar orang-orang yang masih menjaga akal sehatnya menjadi muak. Lalu apatis. Kemudian mereka berkuasa. Dan dengan kekuasaan di tangan, mereka bisa berbuat lebih memuakkan lagi.

Tidak. Demi akal sehat, kita akan terus menghadapi para perusak ini. Sebab jika prinsip yang waras mengalah, bangsa ini akan dimangsa orang-orang 'gila' seperti mereka.
Semoga Pilkada ini cepat berlalu. Agar masjid-masjid kita bisa kembali pada fungsinya sebagai tempat bersujud. Tempat seluruh muslim menyatakan kerendahan dirinya berhadapan dengan Tuhan semesta alam. Apapun pilihan politiknya.

Penulis: Eko Kuntadhi
Read more ...

Sabtu, 15 April 2017

Perda Syariat Itu Sekuler


Banyak pihak salah paham tentang "Perda Syariat" yang dianggapnya sebagai "perda Islami", dan kalau sudah dianggap "Islami" atau "relijius" terus asumsinya sudah "sangat Tuhani" (maksudnya: sesuai dengan kehendak Tuhan dan karena itu direstui oleh-Nya).
Sebetulnya, saya tidak setuju dengan istilah "Perda Syariat" karena "Perda Syariat" itu sejatinya tidak ada, dan tidak akan pernah ada. Kalau Perda (Peraturan Daerah) yang didasarkan pada tafsir atau interpretasi atas sejumlah diktum "Hukum Syariat Islam", itu baru ada. Pembuatan pasal-pasal dalam sebuah Perda bisa didasarkan atau bersumber pada hukum apa saja: Hukum Syariat, Hukum Adat, Hukum Kolonial Belanda, Hukum Injil, dlsb.
Kemudian, semua Undang-Undang atau peraturan hukum (termasuk yang diklaim sebagai "Perda Syariat" tadi) jelas sangat "sekuler" karena produk dari kebudayaan manusia. Semua hasil cipta, karsa, dan rasa manusia itu disebut "kebudayaan", dan karena sebuah "kebudayaan" maka itu bersifat sekuler. Yang namanya "Perda" adalah hasil kreasi, ide, tafsir, pemikiran, dan "otak-atik" manusia. Memang Tuhan yang bikin "Perda Syariat"? Tidak kan? Kaaannnn.



Lalu, jika ada yang mengklaim bahwa "Perda Syariat" itu "Islami" karena berdasarkan pada ayat-ayat Al-Qur'an misalnya, itu juga keliru karena apa yang mereka klaim bahwa "Perda Syariat" itu bersumber dari Al-Qur'an pada hakikatnya atau dalam realitasnya adalah bersumber pada jenis-jenis penafsiran Al-Qur'an dan wacana Hukum Islam tertentu.
Karena bersumber pada tafsir dan wacana hukum Islam tertentu inilah maka kenapa masing-masing negara/daerah yang mayoritas berpenduduk Muslim menggunakan peraturan hukum yang berbeda-beda. Semua mengklaim "sangat Islami", "sangat Qur'ani", "sangat Syar'i".
Negara yang menganut Mazhab Hukum Islam Hanbali seperti Saudi atau Qatar, berbeda dengan negara yang menganut Mazhab Maliki (seperti Maroko), mazhab Hanafi (seperti Turki), atau mazhab Syafii seperti Mesir dalam mengimplementasikan peraturan hukum. Negara yang mayoritas Sunni akan menerapkan sistem hukum yang berbeda dengan negara yang mayoritas Syiah (seperti Iran), Ibadiyah (seperti Oman), atau negara-negara yang hampir sama kekuatan Sunni-Syiah seperti Irak atau Lebanon.

Pula, jika yang disebut "Perda Syariat" itu adalah Perda yang pasal-pasalnya bersumber dari (tafsir) ayat-ayat Al-Qur'an atau Sunnah Nabi, maka semua pasal dan ketentuan hukum yang baik pada dasarnya adalah sangat Syar'i. Maka, demokrasi itu sangat syar'i karena Al-Qur'an menggarisbawahi tentang pentingnya bermusyawarah, berpendapat, dlsb. Bahkan "komunisme" juga sangat syar'i karena Al-Qur'an juga menandaskan tentang pentingnya egalitarianisme ekonomi yang menjadi fondasi Komunisme.
Jadi, sejumlah kelompok Islam di Indonesia yang mengkampanyekan tentang "Perda Syariat" itu pada dasarnya adalah mengkampanyekan kelompoknya sendiri, bukan mengkampanyekan Tuhan. Mengkampanyekan kelompok atau ormas Islamnya sendiri, bukan mengkampanyekan Islam. Mereka mengkampanyekan imajinasi dan tafsir mereka atas Hukum Tuhan. Mereka memperjuangkan Hukum Islam yang sesuai dengan selera, pemahaman dan praktek kelompoknya. Itu saja.

Dengan demikian, kampanye Perda Syariat yang Islami, Syar'i dan segala macam itu pada hakikatnya hanyalah retorika, jargon, alat kampanye, dan medium untuk meraih atau mempertahanan kekuasaan saja. Tidak lebih, tidak kurang. Hanya orang yang lugu-njegu saja yang percaya dan terbuai dengan propaganda dan kampanye tentang Perda Syariat.

Al-Qur'an adalah "korpus terbuka" yang kaya-makna dan multi-tafsir. Sejumlah kaum Muslim dan kelompok Islam yang berwawasan cupet-sempitlah sebetulnya yang membuat Al-Qur'an itu menjadi tampak eksklusif, sempit, dan miskin-makna. Udah ya Mat, saya mau nyusu dulu: nyut, nyut, nyut...

Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Read more ...

Sabtu, 01 April 2017

BUBARKAN JAKARTA

Bagi Ahok, KJP hanya untuk anak yang mau sekolah. Sebab pemerintah berkepentingan untuk mensukseskan program belajar 12 tahun. Jika anak yang mau sekolah dan yang tidak mau sekolah mendapat insentif yang sama, ini namanya program tidak mendidik.



Toh sekolah gratis. Ongkos gratis. Alat-alat sekolah dibeli dari dana pemerintah. Bahkan dapat subsidi barang konsumsi. Dengan mereka sekolah sekaligus sudah mampu membantu kekuarganya.

Dengan KJP Ahok ingin mencerdaskan anak-anak Jakarta.

Sementara Anies lain lagi. Dia akan memberikan KJP buat semua anak. Baik yang sekolah maupun tidak. Sebab mungkin saja, dia merasa Pemda tidak harus mendukung program wajib belajar.

Saya rasa program ini lahir dari kekecewaanya dipecat dari menteri pendidikan. Jadi kesannya dia gak lagi penting mikirin pendisikan. Mau sekolah kek, mau gak kek. Sama saja.

Atau dasar fikirannya simpel. Dalam Pilkada orang yang sekolah maupun tidak, suaranya dihitung sama.

Dengan KJP Anies ingin meraup suara pemilih sebanyak mungkin.

Ahok ingin membangun banyak rumah susun. Sebab kebutuhan perumahan warga Jakarta besar sekali, tapi ketersediaan lahan tidak ada. Jikapun ada harganya sangat mahal. Tidak mungkin terjangkau pegawai rendahan.

"Jadi bagi mereka yang penghasilannya setara UMR, bisa tinggal di rumah susun. Biayanya cuma setara Rp 100 sd Rp 150 ribu sebulan. Istilahnya apartemen harga kos. Dengan begitu mereka bisa menabung untuk membeli rumah tapak di pingiran Jakarta."

Berbeda dengan Anies. Dia berfikir pemerintah bisa membantu masyarakat membeli rumah. Bukan dengan membangun rumah, tapi dengan DP disubsidi. Dari mana rumahnya? Dari masyarakat yang mau menjual rumah.

Sebelumnya dia mengatakan harga properti naiknya 20% setahun. Artinya jika pemerintah mau mensubsidi DP, angkanya juga akan naik 20% setiap tahunnya.

Di Jakarta banyak kok rumah yang harganya Rp 350 juta. Lihat saja di online. Kalau harganya segitu butuh DP Rp 52 juta. Nah, DP ini yang disubsisidi. Begitu kira-kira logika yang diajukan Anies.

Realitanya mencari rumah di Jakarta seharga Rp 350 juta, jauh lebih sulit dibanding mencari kutu di rambutnya Raisa.

Berapa kebutuhan perumahan warga Jakarta? Data menunjukan sekitar 1,3 juta. Sebagian besar dirasakan masyarakat penghasilan kecil. Artinya jika program ini mau diwujudkan Anies, pemerintah harus siapkan dana Rp 67 triliun.

Berapa besaran APBD Jakarta? Rp 70 triliun. Artinya jika Anies mau menjalankan program ini hampir seluruh uang Pemda habis cuma untuk subsidi rumah doang.

Dia harus memecat seluruh karyawan Pemda. Membubarkan Kecamatan, Kelurahan, Puskesmas dan seluruh Dinas. Juga menbubarkan DPRD. Membiarkan sampah, kali kotor, menghapus KJP, dan menghentikan pembangunan.

Sebab pemerintah gak punya duit lagi untuk membayar gaji dan aktifitas lainnya.

Dengan kata lain, jika Anies jadi Gubernur, Jakarta otomatis bubar.

Program ini seperti ingin mengubah bumi bulat menjadi datar.

Penulis:  Eko Kuntadhi
Read more ...

Indonesia

Air Hidup

Advertise Here

Designed By VungTauZ.Com