Ahok tidak dituntut dengan pasal menistakan agama. Asumsi itu tidak terbukti dan Jaksa sendiri tidak berani mengajukan pasal penodaan agama dalam tuntutannya. Ahok hanya dituntut pasal penodaan pada kelompok keagamaan.
Tuntutan ini membuktikan, bahwa Ahok memang tidak pernah menodai agama. Tidak menodai Islam dan Al Quran. Dia hanya menyinggung orang yang menggunakan ayat Al Maidah 51 untuk kepentingan politiknya.
Tapi apakah orang akan bisa memaknai ini dengan baik? Saya tidak yakin, setelah semua kehebohan ini. Saya rasa mereka yang membenci akan lebih suka memaki Ahok sebagai penista agama. Walaupun dituntut sebagai penista agama saja belum pernah.
Jaksa menuntut Ahok dengan tuntutan penjara 1 tahun, dwngan masa percobaan 2 tahun. Itu maknanya Ahok akan dikenakan hukuman penjara 1 tahun, apabila dia melakukan tindak pidana dalam 2 tahun masa percobannya. Jika dalam 2 tahun tidak ada tindakan pidana yang dilakukan, Ahok tidak perlu masuk penjara. Jadi kemungkinan besar memang Ahok tidak akan dipenjara.
Tapi bukan soal Ahok dipenjara atau tidak yang penting disini. Keputusan hakimlah yang penting. Palu hakim itu akan menentukan masa depan politik seorang Ahok.
Jika Ahok diputuskan bersalah oleh majelis hakim, meski tidak dipenjara, maka para pembenci Ahok akan terus menstigma dia sebagai penista agama. Walaupun tuntutan JPU tidak mengatakan Ahok sebagai menista agama.
Stigma itu akan dipakai ketika dibutuhkan untuk memojokkan Ahok. Artinya keputusan Ahok bersalah atau tidak, bisa berfungsi sebagai lonceng kematian karir politik seorang Ahok. Setidaknya karirnya dalam politik elektoral.
Jika nanti Ahok berniat maju dalam sebuah kontestasi politik, baik untuk jabatan eksekutif maupun legislatif, kita yakin stigma ini akan dimunculkan lawan-lawan politiknya kembali. Keputusan hakim akan digunakan sebagai legitimasi bahwa Ahok menista agama. Walaupun faktanya bukan itu.
Kita mungkin akan melupakan urusan Pilkada Jakarta. Ahok mungkin bisa saja memilih karir lain di luar politik. Tampaknya tidak sulit baginya untuk menjalani hidup 'normal' : cari nafkah, leyeh-leyeh dengan keluarga, menikmati hidup seperti kebanyakan kita.
Dia tidak perlu lagi pusing memikirkan bagaimana ikut berperan untuk mensejahterakan rakyat. Tidak perlu lagi memikirkan bagaimana mengadministrasi keadilan sosial. Dia tidak perlu lagi menitikkan air mata melihat seorang renta terbaring di kamarnya dalam keadaan sakit.
Bahkan di masa akhir jabatannya, Ahok membuka diri kepada Gubernur terpilih untuk mengirimkan tim anggarannya membahas bersama penyusunan anggaran. "Biar Pak Anies lebih cepat menunaikan janji-janji kampanyenya," ujar Ahok.
Palu hakim akan menghentikan gairah itu dalam diri seorang Ahok. Dan bagi sebagian kita, setelah keputusan ini nanti, semuanya akan berjalan biasa saja.
Tapi, dengan tingkat kepuasan publik Jakarta mencapai 76% terhadap kinerjanya, hilangnya kesempatan Ahok untuk kembali menjalani karir politik elektoral, justru yang paling dirugikan adalah rakyat.
Kita akan kehilangan kesempatan menikmati seorang yang begitu bergairah dalam melayani kebutuhan publik. Orang yang meluangkan waktu, tenaga dan biaya untuk mau menyelesaika ratusan keluhan masyarakat setiap pagi.
Oktober nanti, Ahok seperti menjalani nubuat yang dinyanyikan John Lennon beberapa puluh tahun lalu. Dia kembali menjadi rakyat.
"Ahok someday you'll join us..."
Penulis: Eko Kuntadhi