Aku baru datang ketika mereka berlima sudah berkumpul di sebuah
kafe. Sore tadi, seorang kawan menelepon. "Bro, datang, ya. Ke tempat
biasa. Kita rayakan kekalahan, Ahok," ujarnya. Aku cuma bisa menjawab,
"Ok, gue usahain, ya..."
"Jangan cuma ok-ok, bro. Lama-lama jadi Ok-Oc lagi... hahahahaha."
Kawan-kawan ini adalah para die hard Ahok. Mereka bertarung
habis-habisan untuk memenangkan Ahok-Djarot. Lelaki yang duduk di
depanku, sedang merokok, adalah seorang pengusaha rumah makan. Di
sebalahnya duduk seorang perempuan, mantan wartawan majalah wanita. Tiga
orang lainnya, seorang perempuan dan dua orang lelaki adalah karyawan.
Saya tidak tahu mereka bekerja di perusahaan apa.
"Gue sampai di
boikot di keluarga. Gue dikafir-kafirin, dibilang keluar dari Islam,"
kisah seorang mengenang perjuangannya. "Tapi gue gak peduli. Emang yang
nentuin masuk surga mereka? Yang nentuin masuk surga kan, panitia
seleksi... hahahahahha."
"Gue sih, gak masalah dikafir-akfirin. Udah biasa," celetuk temanku, mantan wartawan.
"Iya, lu udah biasa. Lu kan, kristen," timpal teman perempuan lainnya. Wartawati tadi tertawa renyah.
"Jangan-jangan, nanti malah elu yang masuk surga duluan," celutukku, ke
arah wartawati tadi. Lalu kami tertawa, melepaskan senja yang
pelan-pelan tergelincir.
"Waktu perhitungan Quick Count
menandakan Ahok kalah, gue langsung matiin TV. Gue ajak anak-bini gue
jalan ke mall. Gue nonton..."
"Sama. Gue juga lemes waktu
tanda-tanda bakal kalah. Makan jadi gak enak. Ngopi kok, rasanya pahit.
Gak tahunya, belum pake gula... hahahahahha"
"Gue sih, waktu tahu
Ahok kalah, langsung buka FB. Mau baca tulisan lu," kata seorang teman
perempuan ke arah saya. "Eh, busyet. udah kalah, tulisan lu masih
ngeledek aja. Dasar, lu."
Saya cuma nyengir. Obrolan diteruskan.
Lalu seorang memperlihatkan foto-foto Ahok dan Djarot sedang di tengah
kerumunan massa dari tabletnya. Ada foto Ahok sedang dipeluk
nenek-nenek. Ada yang sedang menggendong Balita. Ada juga ketika dia
duduk bersila di kamar seorang lelaki renta yang sedang sakit.
Seorang lagi, memutarkan sidang pertama Ahok. "Saya dituduh menista
agama Islam. Itu sama saja saya dituduh menista agama saudara angkat
saya sendiri. Sama saja saya dituduh menista agama ibu angkat saya
sendiri. Saya menghormati ibu angkat saya, mecintai keluarga angkat
saya...," ujar Ahok, yang duduk di kursi pesakitan. Suaranya bergetar.
"Udah, ah, jangan video itu diputerin lagi," ujar kawan perempuan. Dia
mengambil tisu dari meja. Menyeka matanya. Teman pengusaha restoran juga
membuang muka. Lalu berjalan ke arah westafel.
Saya cuma
memandang ke luar. Langit Jakarta yang memerah. Awan berarak-arakan
seperti karnaval 17 Agustus. Matahari sore luruh perlahan. "Senja memang
selalu menakjubkan," bathinku.
Tetiba terlintas sebait puisi Sapardi Djoko Damono di kepalaku. "Dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya..."
Penulis: Eko Kuntadhi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar