Ada komentar yang menarik dari seorang teman.
 Komentarnya 
kira2 begini, "Pemulangan Samadikun Hartono Koruptor BLBI akan 
dimanfaatkan Jokowi untuk mulai menelusuri kasus mega korupsi BLBI yang 
melibatkan Megawati.."
 Terus terang saya tidak setuju. Itu sama 
sekali bukan sifat Jokowi, setidaknya dari pandangan saya. Dan saya 
pernah menulis itu di bulan Februari 2015 ketika ramai2nya KPK vs Polri.
  Lucunya, saya kehilangan tulisan itu dan ternyata saya menemukannya 
kembali sesudah googling di blog seseorang. 
 Sambil ngopi, kita buka kembali analisa lama. Seruputt dulu....
 LELAKI DI TENGAH BADAI
 Akhir 1999, keputusan mengejutkan datang dari Boris Yeltsin Presiden 
Rusia kala itu. Ia mengundurkan diri dari kursi Presiden dan menunjuk 
Vladimir Putin, Wakil Perdana Menteri, untuk bertindak sebagai Presiden 
sampai Pemilu di tahun 2000.
 Yeltsin meninggalkan hutang 
triliunan rupiah dari hasil hutang kepada IMF dan World Bank. Hutang ini
 dinikmati kaum Oligarki "kaya raya" yang sebenarnya adalah binaan 
Yeltsin juga, untuk membeli perusahaan negara atau privatisasi.Hancurnya
 ekonomi Rusia pada waktu itu, yang disebut Yeltsin sebagai kesalahan 
administrasi, membuat Rusia pada posisi "miskin". Bahkan dikabarkan, 
untuk menopang hidup pasukan Rusia terpaksa harus berjualan sayur mayur.
 Vladimir Putin bergerak merubah konsep ekonominya ke arah pasar bebas 
yang disesuaikan dengan situasi Rusia. Rusia seperti kembali ke masa Uni
 Sovyet saat dipimpin Lenin. 5 tahun kepemimpinannya, Putin berhasil 
membayar hutang-hutan negaranya dan bahkan karena tertarik dengan Putin,
 beberapa kreditor Internasional mau hutangnya tidak dibayar dulu.
  | 
| Samadikun Ketika Sampai di Jakarta | 
 Dalam kepemimpinannya, Putin berhasil membongkar skandal keuangan 
negara. Tapi satu yang tidak dilakukannya, yaitu mengungkit kesalahan 
Boris Yeltsin sampai ia meninggal. 
 Inilah yang mungkin mendasari
 keputusan Presiden Jokowi dalam kebijakannya.  Niat KPK untuk kembali 
membuka kasus BLBI yang terjadi saat pemerintahan Megawati, memunculkan 
riak yang besar.  Apalagi Abraham Samad pernah mengatakan bahwa ia tidak
 takut memanggil Megawati, meski mereka sekarang berkuasa.
 PDI-P 
secara bergelombang melindungi simbol partainya supaya tidak terjadi 
kehancuran fisik dan mental. Mulai dari cara halus sampai cara kasar 
diperlihatkan demi sebuah tujuan. Komjen BG disiapkan untuk menghalangi 
niat KPK dan menghajarnya..
 Yang terjadi dan sudah kita lihat 
adalah benturan yang diciptakan dan membuat rakyat ini terbelah. 
Presiden melakukan 2 langkah sekaligus, tidak melantik BG karena 
mengikuti kehendak rakyat dan memberhentikan 2 pimpinan KPK, untuk 
mencegah situasi membesar dan tidak terkendali. AS dan BW memang harus 
dihentikan langkahnya. Bukan karena Presiden tidak berterima-kasih 
kepada mereka, tetapi untuk melindungi keutuhan bangsa. Masyarakat yang 
tidak mengerti "situasi besar" yang terjadi, bergerak dengan naluri 
untuk melindungi KPK. Dan potensi benturan massal begitu kuatnya. Supaya
 situasi tidak memburuk, harus ada yang berkorban dan dikorbankan.
 Seperti Putin, Jokowi lebih memprioritaskan membangun negara ini supaya
 bisa membayar hutang-hutang negara dan menuju ke arah yang lebih 
sejahtera. Dan fokus program ini akan terganggu ketika "isu sensitif" 
menjadi bola salju yang membesar. Sebenarnya memang ketika rakyat sudah 
sejahtera, mereka cenderung tidak memperdulikan apa yang terjadi di masa
 lalu.
 Kebanggaan-kebanggan terhadap nasionalisme bangsa 
ditanamkan, sehingga diharapkan publik tidak terlalu sensitif bahwa 
pernah terjadi "kesalahan administrasi". Lapangan pekerjaan dibangun 
supaya perut kenyang, karena rasa lapar bisa membuat seseorang menjual 
dirinya. Jokowi mencoba meredam semua konflik yang mungkin terjadi. Ia 
tidak menyentuh BLBI, tidak menyentuh Century, bahkan tidak menyentuh 
peristiwa '98. Ia lebih fokus bekerja untuk masa depan karena masa lalu 
ketika dibahas tidak akan ada habisnya. Karena itu keputusannya 
cenderung bijaksana dan menengahi daripada mengambil posisi.
 
Seperti masa kanak-kanak, Jokowi kecil menyuruh AS kecil dan BW kecil 
untuk menjauh sebentar karena ibunya sedang tidak suka kepadanya, dan 
mencarikan tempat untuk BG kecil yang disayang ibunya, supaya sang ibu 
tetap tersenyum di hari senja-nya. Ia bukan anak yang selalu menuruti 
kata ibunya, bahkan cenderung kepala batu dan bersimpangan. Tapi yang 
pasti, ia bukan anak durhaka. Ia menunjukkan rasa sayang dan 
terima-kasihnya dengan caranya sendiri. Bengal, tapi tidak menanggalkan 
rasa hormat. 
 Bagai secangkir kopi, Jokowi memainkan takaran, 
menyeimbangkan pahit dan manis, dalam menyelesaikan masalahnya. Tidak 
terlalu pahit, tapi juga tidak terlalu manis. Pas! Dan menariknya, 
takaran yang ia buat disukai masyarakat Indonesia. Meski ada beberapa 
orang yang tidak suka, itu wajar. Toh, ia tidak bisa menyenangkan semua 
orang.
 Apa yang dilakukan Vladimir Putin dan Jokowi mengajarkan 
kepada kita, bahwa seorang lelaki teruji dari ketenangannya saat 
menghadapi badai.
Penulis: Denny Siregar