Makanlah sebelum lapar, berhentilah sebelum kenyang. Begitu nasihat kanjeng Nabi. Ukuran makan, bagi Nabi adalah perut. Sebuah tempat dalam tubuh manusia yang punya ukuran. Punya kapasitas.
Makan dengan ukuran perut ada waktunya untuk kenyang. Ada saatnya untuk berhenti. Daya tampungnya terbatas.
Tapi toh, soal makan bukan hanya mengisi perut. Makan juga untuk
memanjakan lidah. Bagi perut makanan apapun bukan masalah. Bagi lidah,
ini berkenaan dengan selera. Dengan rasa. Ada makanan yang dipilih. Nah,
perkara lidah ini yang tidak ada ukurannya. Tidak ada batasnya. Lidah
tidak kenal kenyang.
Maka orang bisa serakah. Bisa jadi koruptor meski sudah memiliki kekayaan segudang. Bisa berlaku curang. Bisa bermewah-mewah atau menimbun-nimbun aset. Sebab, mungkin saja dia mengikuti ukuran lidah. Batasnya hanya makam.
Makan dengan ukuran perut kapasitasnya cuma sepiring dua piring. Makan dengan ukuran lidah tidak ada batas akhirnya. Seluruh APBD masuk ke kantongnya juga belum tentu kenyang. Seluruh hutan dan kekayaan laut masuk ke mulutnya tidak akan cukup.
Alat transportasi itu ukuran perut, tapi mobil-mobil mewah maunya lidah. Tempat berteduh dan berlindung yang layak adalah ukuran perut, tapi rumah bertingkat yang gemerlap adalah selera lidah.
Benarlah kata Gandhi. "Dunia ini cukup untuk memberi makan semua manusia. Tapi sangat kurang untuk memenuhi keserakahan segelintir orang."
Ada nasihat berkenaan dengan puasa. Berapa banyak orang berpuasa yang didapatkan hanya lapar dan haus. Mungkin nasihat itu karena kita sering hanya berpuasa untuk perut. Kita tidak mempuasakan lidah. Tidak mempuasakan ekspektasi dan angan-angan. Tidak mempuasakan keserakahan.
Maka gema nasihat Nabi tadi jadi pas, berhentilah makan sebelum kenyang. Atau kembalilah ke ukuran perut yang punya batas dan kapasitas.
Dan puasa, pada akhirnya mengajak kita untuk hidup mengikuti perut.
Penulis: Eko Kuntadhi
Maka orang bisa serakah. Bisa jadi koruptor meski sudah memiliki kekayaan segudang. Bisa berlaku curang. Bisa bermewah-mewah atau menimbun-nimbun aset. Sebab, mungkin saja dia mengikuti ukuran lidah. Batasnya hanya makam.
Makan dengan ukuran perut kapasitasnya cuma sepiring dua piring. Makan dengan ukuran lidah tidak ada batas akhirnya. Seluruh APBD masuk ke kantongnya juga belum tentu kenyang. Seluruh hutan dan kekayaan laut masuk ke mulutnya tidak akan cukup.
Alat transportasi itu ukuran perut, tapi mobil-mobil mewah maunya lidah. Tempat berteduh dan berlindung yang layak adalah ukuran perut, tapi rumah bertingkat yang gemerlap adalah selera lidah.
Benarlah kata Gandhi. "Dunia ini cukup untuk memberi makan semua manusia. Tapi sangat kurang untuk memenuhi keserakahan segelintir orang."
Ada nasihat berkenaan dengan puasa. Berapa banyak orang berpuasa yang didapatkan hanya lapar dan haus. Mungkin nasihat itu karena kita sering hanya berpuasa untuk perut. Kita tidak mempuasakan lidah. Tidak mempuasakan ekspektasi dan angan-angan. Tidak mempuasakan keserakahan.
Maka gema nasihat Nabi tadi jadi pas, berhentilah makan sebelum kenyang. Atau kembalilah ke ukuran perut yang punya batas dan kapasitas.
Dan puasa, pada akhirnya mengajak kita untuk hidup mengikuti perut.
Penulis: Eko Kuntadhi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar