Ngomong soal Ahok, ah.
Partai rupanya belum ikhlas jika mereka jadi anak bawang dalam Pilkada. Tidak bisa dipungkiri dalam Pilkada Jakarta isunya hanya berputar di sekitar Ahok.
Gubernur DKI ini memang sedang mendobrak semuanya. Pertama dia mengobrak-abrik kongkakikong anggaran DPRD dan pejabat Pemda. Reaksi keras muncul. Tapi perlawanan itu lunglai. Mereka kocar-kacir sekarang.
Kedua Ahok mengobrak-abrik model politik aliran. Orang-orang yang masih sibuk dengan isu agama dan kedaerahan gerah. Tapi toh, mereka cuma teriak sayup-sayup. Melawan Ahok dengan isu agama dan rasial, sama saja menempel sepatu yang haknya copot dengan nasi. Bloon.
Ketiga, Ahok mengobrak-abrik budaya politik. Selama ini kandidat mendatangi rakyat memohon untuk dipercaya omongannya. Tim kampanye seperti sales kecap yang jualan jagoannya. Jika rakyat belum tergiur, disiapkan sembako atau angpau buat menarik perhatian.
Ahok ingin mengubah paradigma bahwa urusan Pilkada melulu urusan kandidat dan politisi. Dia justru mengembalikan itu menjadi urusan rakyat. Teman Ahok sebagai tim, mencoba menggulirkan ide kerja bersama. Siapa saja bisa menjadi relawan. Artinya publik ditempatkan sebagai subjek. Bukan sekadar objek politk.
Ahok |
Keempat, Ahok mengobrak-abrik dominasi partai politik. Meski bukan yang pertama maju via jalur independen tapi fenomena Ahok ini dianggap berbahaya. Rakyat yang pada dasarnya kehilangan kepercayaan pada parpol, seperti mendapat jurus perlawanan baru.
Maka isu deparpolisasi justru mencuat saat ini. Dan parpol sadar, melawan fenomena Ahok tidak bisa secara langsung. Orang ini harus dirangkul sambil dihalangi jalannya.
Caranya pada UU Pilkada yang baru, syarat lulus calon independen diperberat. Soal pembuktian dukungan salah satunya. Kini harus dilakukan dengan sensus. Didatangi satu-satu. Jika pas didatangi petugas, orang bersangkutan tidak ada di tempat, tim pasangan calon wajib menghadirkannya di KPU selang tiga hari.
Katakanlah ada 1 juta dukungan buat Ahok. Kebanyakan adalah warga yang sibuk kerja. Ketika petugas KPU datang ke rumahnya mereka sedang ke kantor. Misal 65% tidak bisa ditemui. Lalu untuk memastikan betul dia mendukung Ahok, tim Cagub kudu menghadirkan mereka ke KPU.
Bayangkan. Menghadirkan 650ribu orang secara serentak. Ini sama saja dengan memasang tembok untuk mencegah calon independen. Sebelumnya cukup verifikasi administrasi dengan pembuktian model sampling. Kini, wajib didatangi satu-satu.
Jika Ahok terus maju via jalur perseorangan, aturan ini bisa menjadi batu sandungan serius. Metode pembuktian dengan sensus banyak celah untuk dimainkan. Petugas di lapangan bisa didekati untuk membuat laporan fiktif. Akibatnya data yang masuk juga ngaco.
Ahok dijegal dengan aturan yang dibuat lartai-partai di Senayan. Tapi di lapangan Ahok justru dirangkul. PDIP misalnya, kini membuka kembali ruang buat Ahok untuk didukung partai. Akan dipasangkan dengan Djarot, wakilnya selama ini. Statemen Surya Paloh juga mengindikasikan kesana. "Nasdem akan tetap mendukung Ahok, jika dia maju lewat jakur partai," ujarnya.
Bagaimana dengan Teman Ahok? Mungkin nantinya akan dijadikan relawan kampanye. Bagaimana dengan Heru? Tampaknya beliau harus berbesar hati melihat fenomena konyol ini.
Dalam.politik semua memang bisa terjadi. Ini mungkin cara partai menyelamatkan diri dari dobrakan Ahok. Dan saya pikir, jika begini kondisinya, Ahok akhirnya akan akomodatif juga.
Partai seperti seorang petinju. Mereka merangkul, dan rangkulan itu sekaligus membatasi tangan Ahok untuk melepasksn jab.
Penulis: Eko Kuntadhi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar