Breaking News

Islam

Politik

Senin, 21 November 2016

Kalau Takut Pilih Ahok, Ya Pilih Djarot Aja

Postingan ini khusus untuk umat Islam warga "Jakardah" yang ngefans dengan Koh Ahok tapi bingung menyikapi simpang-siur pendapat para ulama dan tokoh Muslim mengenai boleh-tidaknya memilih pemimpin non-Muslim.


Ulama dan fuqaha (ahli fiqih atau Hukum Islam) berbeda pendapat mengenai masalah keumatan itu sudah biasa terjadi sejak zaman bahula. Jadi tidak usah bingung. Kalau terjadi perbedaan pendapat tentang suatu masalah, maka Anda tinggal pilih saja mana pendapat yang menurut Anda "lebih mantab", "paling wokeh" dan paling membawa "manpaat" bagi kepentingan masyarakat banyak. 

Jadi umat Islam tidak usah bingungan. Yang penting madep mantep ikuti hati-nurani dan akal-sehatmu. Santai aja. Gitu aja kok bingung. Tapi kalau masih bingung dan ragu juga, maka saya sarankan jangan pilih Pak Ahok tapi pilih Pak Djarot saja. Beliau kan Muslim, jadi gak masalah milih dia. Dengan pilihan ini, maka Anda akan terhindar dari segala "jebakan teologis" dan perasaan berdosa.

Sekali lagi, ini hanya "berlaku" untuk kaum Muslim pendukung Ahok-Djarot saja lo. Kalau Anda mantepnya dengan Pak Anis juga silakan saja. Beliau orangnya juga baik, lemah-gemulai, tutur-katanya sopan, kata-katanya terstruktur rapi, persis seperti akademisi atau "wong kampusan" lah. Beliau ini khas seperti "dosen idaman" he he. Mau milih Mas Agus juga silakan. Dia juga orangnya (sepertinya) baik, sopan, gagah-perkasa, masih muda lagi. Kira-kira khas "perwira idaman" lah. Kalau Koh Ahok kan ya Anda tahu sendirilah, "khas gubernur idaman" gitu he he.

Anda boleh menjagokan siapa saja. Bebas mengidolakan siapa saja. Merdeka menjadi "cheerleader" kandidat siapa saja. Boleh memilih siapa saja. Yang penting rukun, jangan saling menghina, menjegal, dan mengolok-olok. Gak enak kan kalau didengar "tetangga sebelah" kalau kerjaanya berisik melulu kayak sopir bajaj. Menurut Cak Lontong: "Anda boleh setengah mati memuji istri/suami/pacarmu sendiri tapi jangan menjelek-jelekkan istri/suami/pacar orang lain."

Jabal Dhahran, Arabia

Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Read more ...

Sabtu, 19 November 2016

KITA SEMUA BERSAUDARA


Saya dulu sering membahas pola yang sama bagaimana Indonesia ini bisa menjadi the new Suriah...
Pertama, bangkitkan superioritas salah satu agama di wilayah itu. Agama dibandingkan secara statistik, dengan angka, bukan dari nilai2 luhurnya.


Dengan konsep mayoritas dan minoritas, maka diharapkan ada efek yang berkelanjutan.
Mayoritas - diwakili oleh Islam - diangkat kebanggaannya sehingga mereka merasa berhak atas wilayah. Sedangkan minoritas - diwakili Kristen -dimunculkan kecemburuannya, sehingga mereka akan bangkit melawan.

Kristen yang mayoritas di satu wilayah akan membalas dendam kepada Islam yang minoritas di satu wilayah.
Bisa jadi ada aksi susulan di satu wilayah dimana Kristen yang mayoritas, akan disusupi orang2 bayaran yang menekan si Islam yang minoritas.

Dan ketika itu terjadi, maka Islam yang merasa mayoritas secara keseluruhan akan membalas dendam karena kembali "kebanggaannya" sebagai mayoritas terhina.
Terus begitu, sehingga perlahan2 kebencian pun akan tumbuh, di tambah provokasi2 melalui media2 seperti ini. Dan perang Ambon juga Poso di masa lalu, akan kembali digulirkan.

Pecahlah negara kita dengan perang saudara...
Tentu kita tidak mau seperti itu, kan ?

Karena itu saudara2ku yang Kristen, bersabarlah dan rapatkan barisan sehingga tidak ada provokator yang menyusup di internal kalian. Biarkan aparat yang akan menyelidiki media provokator seperti ini yang mengatas-namakan Islam tapi sesungguhnya bukan.

Dan percayalah, mayoritas muslim di negara tercinta kita ini tetaplah Nahdlatul Ulama. Mereka diam bukan berarti tidak waspada, tetapi terus mengamati situasinya..
Indonesia kita jaga dengan terus berpegang tangan dan meyakini bahwa kita adalah saudara dan saling melindungi..

Kalian sakit, kami juga merasakannya.
Semoga secangkir kopi bisa menjaga kewarasan kita bersama.. Seruput, brothers ?

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Kamis, 17 November 2016

JANGAN, JANGAN DITERUSKAN. HIKS...


Ini gila. Saya mendapat undangan untuk menandatangani petisi agar dilakukan audit keuangan terhadap MUI. Alasannya karena MUI, selain menggunakan dana dari APBN, juga menarik uang dari masyarakat untuk pengurusan sertifikat halal.


Sebetulnya sih, biasa saja. Semua lembaga yang menarik duit dari masyarakat sejatinya harus bisa mempertanggungjawabkan. Diperlukan keterbukaan laporan keuangan agar tidak terjadi salah paham. Ada yang menghitung, potensi uang dari sertifikat halal mencapai Rp 240 triliun.
Tapi, masa sih, kita gak percaya sama MUI? Meskipun tanpa audit, jika sudah distempel halal, terus kamu mau apa? Mau bilang itu belum tentu halal, makanya harus dibuktikan dengan audit? Itu namanya suudzon. Kamu tahu, suudzon, apalagi sama lembaga sekelas MUI, sungguh bukan tindakan terpuji.
Jangankan suudzon. Nusron yang matanya memang belo saja, dianggap memeloti ulama, kok. Padahal kalau tidak salah, Nusron dibesarkan ketika lagu "Mata Indah Bola Pingpong' dari Iwan Fals sedang hit-hitnya. Struktur bola matanya memang begitu.

Jadi sudahlah, petisi itu gak perlu diteruskan. Lagipula apakah kita kuat jika ada ustad yang merekam tangisannya lagi?
Apa kamu mau di timeline FB kamu berlalu lalang lagi video lelaki yang wajahnya disendu-senduin lalu dia menangis gegerungan? Apakah kamu tidak melihat kepiluannya? Rasa pilu yang bagaikan disayat pisau Swiss Army, lalu lukanya ditetesi cuka Cap Petani, lantas disundut Dji Sam Soe. Juss...
Lihat saja saat dia menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Suara isaknya tertahan, seperti tidak kuat mengekang perasaannya sendiri. Perasaan orang yang tersakiti.

Coba perhatikan matanya yang mulai mendung, seperti langit Jakarta di awal Oktober. Dia benar-benar sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, mas intan yang kukenang. Bumi, gunung, sawah, lautan. Simpanan kekayaan....

Sedih mblo. Terlalu sedih untuk kita resapi. Manusia mana yang sanggup melihat video yang sangat menyayat hati itu? Jika kita tidak menangis menonton video itu, jangan-jangan kita tergolong mahluk yang tidak punya hati atau tidak punya empati. Atau kita adalah mahluk yang tidak punya perasaan. Atau mungkin tidak punya duit?

Jadi, jangan. Jangan ditiru, ya. Jangan. Adik-adikku, saya mohon jangan diteruskan petisi itu. Hiks...


Penulis: Eko Kuntadhi
Read more ...

Selasa, 15 November 2016

Waspadai Skenario Adu Domba di Jakarta!


PILKADA DKI telah berkembang ke arah yang cukup mengkhawatirkan. Bukan saja soal Cagub petahana, Basuka Tjahaya Purnama (Ahok) yang pernyataannya di Kepulauan Seribu yang memicu kontroversi, tapi juga respon sebagian kelompok yang sengaja memanfaatkan isu ini untuk tujuan-tujuan lain di luar Pilkada DKI.

Sebenarnya situasi pasca kontroversi pernyataan Ahok mengenai Surat al-Maidah sudah mulai mereda setelah Ahok minta maaf secara terbuka atas ucapannya yang dianggap menyinggung umat Islam. Tokoh-tokoh agama ternama juga menanggapi positif permintaan maaf itu. Semua itu menjadikan situasi yang semua penuh ketegangan mulai mereda.


Tapi belakangan situasi kembali memanas, terutama setelah MUI mengeluarkan pernyataan sikap yang pada intinya menyatakan Ahok telah melakukan penistaan agama. Situasi tambah semakin memanas karena sebuah stasiun TV swasta menggelar acara dialog secara live kurang lebih 4 jam, dengan tema “Setelah Ahok Minta Maaf”. Berkembang juga berita, besok pagi, Jumat 14 Oktober 2016 akan ada aksi besar yang dimulai dari Masjid Istiqlal, dengan tema “Tangkap Ahok Penista Agama”. Situasi ini menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran, sehingga Gereja Katedral yang letaknya di sebelah masjid Istiqlal merasa perlu membuat himbauan khusus kepada Jemaatnya agar besok hari itu tidak mendekat ke kawasan Katedral jika tidak ada keperluan mendesak.

Saya menduga ada kelompok-kelompok yang mengambil untung dari situasi untuk merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Hal ini dilakukan dengan mengadu domba antara umat Islam dan non-Islam, bahkan antar sesame umat Islam yang mempunyai halauan yang berbeda. Mereka akan menunggangi organisasi-organisasi keagamaan, untuk memuluskan agenda adu dombanya.

Siapakah kelompok itu? Sebenarnya tidak terlalu sulit dikenali. Mereka bukan saja benci pada Ahok, tapi juga benci tatanan Negara ini, benci pada Pancasila, benci pada NKRI dan seterusnya yang dianggap sebagai sistem Negara thagut. Anasir-anasir kelompok radikal akan berkumpul dengan memanfaatkan persoalan Ahok menjadi pintu masuknya. Namun, yang dituju bukan soal Ahok, tapi lebih besar dari itu.
Karena itu, waspada dengan skenario adu domba yang sudah mulai terasa. Bukan soal Ahok dan Pilkada DKI, tapi ini soal keutuhan bangsa.

Rumadi Ahmad
Ketua Lakpesdam PBNU

[Catatan: himbauan di atas dari temanku, Mas Rumadi Ahmad, yang juga Ketua Lakpesdam PBNU, Jakarta. Silakan disebarluaskan jika berkenan demi keutuhan bangsa dan negara].
Read more ...

Minggu, 13 November 2016

NU, AKU JATUH HATI PADAMU


Saya selalu senang dengan sikap NU...
NU itu seperti organisasi Hezbullah di Lebanon. Hezbullah meski sebagai organisasi besar dan kuat di Lebanon, tidak mau mencampuri urusan dalam negeri Lebanon.
Lebanon itu negara demokratis parlementer. Sesudah perang saudara 15 tahun, mereka membangun sistem khusus di negaranya yang bernama konfesionalisme untuk menghindari kembali terjadinya perang sektarian.
Disana, Presidennya haruslah mereka yang dari Kristen Maronit, PM-nya dari muslim sunni, Wakil PM-nya dari kristen ortodoks dan ketua parlemennya dr muslim syiah. Ini kesepakatan diantara mereka sendiri.
Hezbullah sendiri adalah organisasi syiah. Mereka tugasnya melindungi Lebanon dari serangan negara luar, Israel khususnya.


NU persis seperti itu..
Mereka tidak mencampuri urusan politik dalam negeri dan membiarkan sistem berjalan dgn demokratis. Mereka hanya bersiap, seandainya mereka dibutuhkan oleh pemerintah untuk turun tangan. Karena itu Banser dan Anshor meningkatkan perekrutan dimana2.

Cara mereka menengahi masalah terhadap situasi yang terjadi pun sangat menarik..
Seperti ketika mereka mengetahui bahwa ada oknum2 yang berkepentingan menunggangi kasus Ahok dengan isu SARA. Pengurus NU langsung melakukan koordinasi dengan Menkopolhukam Wiranto.
Sesudah pertemuan, keluarlah statement Kyai Said Agil bahwa Ahok seharusnya di proses secara hukum. NU memposisikan diri berada di pihak yang tidak bertentangan dengan mereka yang menamakan diri "umat muslim" yang demo itu, karena itu berpotensi menimbulkan bentrokan.

Meski begitu NU tahu, bahwa tidak ada indikasi penistaan agama disana, tapi mereka harus mengeluarkan statemen sebagai pencegah teradunya NU dengan saudara2 sebangsanya sendiri..
Cara perang yang elegan. Dekatlah dengan temanmu, tapi lebih dekatlah kepada musuhmu...
Ini persis dengan situasi Pilpres, ketika Kyai Said Agil secara terbuka menyatakan diri berada di barisan Prabowo tepat saat Demokrat mencabut batas pemisah antara 2 kekuatan besar dengan alasan "netral". NU langsung membelah diri dan berada di dua sisi untuk mengamankan benturan.
NU teruslah menjadi perekat bangsa. Nasionalisme kalian sudah teruji sejak masa negara ini belum merdeka..

Senang melihat kyai2 kalian yang memang layak mendapat predikat ulama. Sarungan, rokok, kopi, kopiah dan sikap kalian yang memandang semua masalah dengan humor cerdas adalah ciri khas bangsa ini sesungguhnya.

Bravo NU.. Saya angkat secangkir kopi malam ini untuk kalian.

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Jumat, 11 November 2016

Engkau Bagian Dariku, dan Aku Pun Bagian Darimu


Salah satu akhlak Rasulullah SAW adalah membuat siapapun merasa nyaman berbicara dan bergaul dengan beliau. Orang Arab Badui yang jauh-jauh datang menemui beliau gemetaran saat berhadapan dengan Nabi. Untuk menenangkannya Nabi mengatakan, seperti direkam dalam Kitab Sunan Ibn Majah (hadis nomor 3303): "aku bukan raja. Aku putra seorang perempuan yang juga senang makan daging dendeng (yang dikeringkan di bawah sinar matahari)." Lihatlah bukan saja Nabi mengatakan bahwa beliau tidak perlu dihormati sebagaimana raja, tapi beliau juga mencari titik kesamaan antara tradisi Badui dengan apa yang dilakukannya. Dengan cara demikian, Badui itu merasa nyaman.


Pesona Sang Nabi memang luar biasa. Salah satu akhlak yang beliau contohkan adalah membuat semua orang merasa akrab. Ini menyebabkan kita kesulitan menentukan siapa sebenarnya sahabat beliau yang paling dekat. Terhadap Sayyidina Abu Bakar ra beliau bersabda: 'seandainya aku diperkenankan mengambil kekasih, tentu aku pilih Abu Bakar" (hadis nomor 447). Di lain kesempatan Kitab Sahih Bukhari (hadis nomor 3430) menceritakan tatkala Rasul memutuskan pergi dalam perang Tabuk dan meminta Ali bin Abi Thalib ra tinggal di Madinah menjaga anak-anak dan perempuan yang tidak berperang, Sayyidina Ali tetap ingin pergi berperang, lantas Rasul menenangkannya: "Tidak inginkah kamu hai Ali memperoleh posisi di sisiku seperti posisi Harun di sisi Musa?" Rasul merujuk pada peristiwa Nabi Musa pergi menerima perintah Allah dan memercayakan urusan umat kepada Nabi Harun.

Tentang Sayyidina Umar bin Khattab ra, amat banyak riwayat yang menyebutkan keutamaanya. Kitab Sahih Bukhari (hadis nomor 80) menceritakan mimpi Rasul: "Ketika tidur, aku bermimpi meminum (segelas) susu hingga aku dapat melihat aliran air dari kukuku, kemudian aku berikan (sisanya kepada) 'Umar".

Orang-orang bertanya; "Apa maknanya (susu tersebut)? Rasulullah menjawab: "Ilmu"
Pernah terjadi rebutan hak asuh anak Sayyidina Hamzah yang gugur di perang Uhud. Ali mengambilnya dengan alasan, "dia anak perempuan pamanku". Ja'far mengatakan, "Istriku itu bibinya anak perempuan ini." Zaid tidak mau kalah dan mengatakan, "Dia anak perempuan saudaraku". Kitab Sahih Bukhari (hadis nomor 3920) menceritakan bagaimana Rasul kemudian menengahi dengan membuat semua pihak merasa nyaman:
"Bibi adalah pegganti ibu" maka Rasul memberikannya kepada Bibi anak itu. Lantas Rasul berkata kepada Ali, "Engkau bagian dariku, dan aku bagian darimu." Rasul berkata kepada Ja'far: "Akhlakku menyerupai akhlakmu". Dan kepada Zaid, Rasul berkata: "Engkau saudara dan maula kami". Semua menjadi senang dengan keputusan Nabi.

Mari yuk kita terus jaga akhlak kita agar kelak Nabi Muhammad berbisik mesra kepada kita: "Engkau bagian dari umatku, akhlakmu menyerupai akhlakku dan engkaulah saudaraku". Duh Gusti....
Shallu 'alan Nabi....

#jumatmubarak #metjumatan

Tabik,
Nadirsyah Hosen
Read more ...

Sabtu, 05 November 2016

Kejujuran Menampilkan Pendapat yang Berbeda


Salah satu problem terbesar umat saat ini adalah anti dengan perbedaan. Perbedaan dianggap perpecahan. Itu karena kita menyikapinya sebagai pertentangan yang berlanjut pada pertarungan antar kelompok sampai perebutan kursi politik. Maka atas nama Islam banyak yang terjebak pada fanatisme kelompok. Retorikanya saja berjuang atas nama Islam, padahal yang mereka bela adalah pemahaman kelompoknya sendiri.
Belakangan banyak yang gerah dengan sejumlah tulisan saya karena dianggap selalu membahas pendapat yang tidak mainstream. Seolah menyebutkan pendapat di luar mayoritas itu menjadi anacaman. Seolah menyebutkan ada pendapat lain dari yang selama ini dipahami orang kebanyakan akan meresahkan. Seolah pendapat jumhur ulama, mayoritas ormas Islam atau pandangan mainstream itu pasti benar. Seolah pendapat yang memicu kontroversi itu pasti keliru.


Bagi mereka yang meniatkannya untuk belajar, maka mendengar atau membaca adanya pendapat yang berbeda dengan yang selama ini diketahuinya akan penasaran dan segera membaca kembali berbagai kitab rujukan. Bagi yang tidak mau lagi belajar, maka dengan mudah semua pendapat yang baru dia dengar dan berbeda dari apa yang dia pahami selama ini, dicap sebagai omongannya JIL, Syi'ah, atau bahkan ditanya: "anda muslim bukan? Atau "anda dibayar berapa?"

Kondisi ini jelas berbeda dengan masa keemasan Islam dahulu dimana semua pendapat didiskusikan dengan baik dan mendalam. Pelabelan hanya akan membuat diskusi terhenti. Datangkan saja argumen atau rujukan lain karena bagi para ulama klasik: "pendapat saya benar tapi bisa jadi mengandung kemungkinan salah, semenatara pendapat anda itu saya anggap keliru, tapi bisa jadi mengandung kebenaran yang belum saya pahami".

Ini saya hadirkan contoh dari kitab klasik Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd. Dari gambar yang saya sajikan terlihat bagaimana Ibn Rusyd ketika membahas persoalan syarat sah jamaah dalam shalat Jum'at itu berapa orang, beliau menyantumkan semua pendapat, termasuk yang tedengar aneh sekalipun. Ada yang bilang satu makmum saja cukup, ada yang bilang dua makmum, ada yang bilang 3, lantas disebutkan juga pendapat yang bilang 30 dan pendapat yang umum dipahami kita, yaitu minimal 40.

Apa manfaatnya mengetahui perbedaan di atas? Untuk kondisi tertentu dimana Muslim menjadi minoritas, mereka tetap bisa menjalankan shalat Jum'at meski jumlah jamaah tidak mencapai 40 karena para ulama klasik tetap mencantumkan pendapat yang berbeda itu. Sekarang bayangkan betapa sulitnya kita kalau para ulama dulu 'menyembunyikan' pendapat yang berbeda itu dari ruang publik.

Kejujuran ilmiah ini penting untuk kita teruskan. Sebutkan kalau ada pendapat yang lain dalam masalah itu. Agar umat ini secerdas umat jaman dulu, setoleran ulama di masa kejayaan Islam, dan terus mau belajar seperti dicontohkan para ulama klasik.

Kalau kita terbiasa dengan keragaman pendapat maka kita tidak akan kaget, ngeyel, atau dengan mudahnya melabeli orang lain. Persis dengan wajarnya kita melihat pilihan menu makanan yang berbeda di warung padang, warteg atau fast food. Semua punya hak memilih. Selera boleh berbeda, pilihan boleh tak sama, namun kita tetap umat yang satu. Mudah untuk diucapkan, namun sulit untuk dijalankan, bukan?

Tabik,
Nadirsyah Hosen
Yang sudah 11 tahun jadi Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand, dan sayangnya masih terus diminta untuk periode dua tahun ke depan. Khuz bi yadi ya Rasul....
Read more ...

Kamis, 03 November 2016

MEMBELA AHOK


Seorang teman pernah menegur saya untuk tidak selalu membela Ahok..

Saya senyum sendiri baca pesannya, dan saya jawab, "Jadi kalau ada sesuatu yang aneh dan gak masuk akal dari serangan yang diarahkan ke Ahok, saya harus diam saja, begitu ya ? "

Sebenarnya "membela" bukan kata yang tepat, karena untuk apa saya membela Ahok wong saya bukan apa2nya. Saya hanya menempatkan sisi saya, bagaimana jika saya sedang berada di sisi Ahok menghadapi serangan2 itu. Anggaplah melatih nalar berfikir yang sehat.

Dan memang kenyataannya serangan kepada Ahok ini menghina nalar berfikir, malah bisa dibilang tanpa nalar.

Seperti ada yang memaksa KPK supaya Ahok harus jadi tersangka di kasus sumber waras. Lha wong KPK aja susah nyari bukti bahwa Ahok korupsi. Sampai KPK harus mencari 'niat jahat" Ahok, tapi ya gak dapat2. Trus apanya yang harus dijadikan tersangka ? Bukankah memaksa sebuah lembaga untuk men-tersangkakan orang yang tidak punya bukti bersalah, itu bukti serangan yang tidak bernalar ?
Ada lagi pernyataan Adhie Massardi supaya KPU dan Banwaslu memeriksa kerjasama Ahok dan Google hanya karena nama ""foke" kalau digoogling berganti nama "ahok". Bukankah mengaminkan itu malah menjadikan saya tidak bernalar ?

Ketika saya menolak untuk tidak bernalar, lalu saya distempel selalu "membela" Ahok. Oh come on, saya ini orang berakal, bukan orang buta.
Banyak lagi kasus serangan kepada Ahok yang ketika saya teliti sama sekali jauh dari akal sehat.
Sebagai contoh, Ahok dilaporkan ke polisi karena dianggap menghina surat Al maidah 51 yang berbunyi, "Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpinmu". Ahok berkata, jangan pilih saya jika meyakini surat Al Maidah 51.

Lalu salahnya Ahok dimana kok sampai harus di polisikan karena dianggap rasis dan mencatut kitab suci ? Ahok kan benar, kalau gak mau milih dia karena berdasarkan surat itu, ya gak usah pilih dia. Dimana sisi rasisnya ? Dia malah mengajak kepada orang yang mengaku sebagai "orang beriman" untuk tidak memilihnya.

Lagian orang yang memilih Ahok, itu karena dia memilih "administratur wilayah", bukannya pemimpin umat. Ahok tidak mengatur cara beragama seseorang, dia hanya mengatur administrasi di wilayahnya supaya tertib dan teratur.

Ketika saya menjelaskan itu, apakah berarti saya membela ? Demi Tante sonya, semoga Johan segera mendapat hidayah !
Sebenarnya ketika kita berbicara politik, bukan berarti kita sok tahu terhadap situasi politik, tetapi melatih nalar berfikir melalui tema politik. Supaya nalar kita sehat, jangan cuti terlalu lama.
Lalu kenapa abang tidak membela Anies ?

"Untuk apa ? Toh, Anies tidak ada yang menyerangnya. Dia sempurna. Seorang muslim ditengah negara yang mayoritas muslim. Santun, terdidik baik, mantan menteri, bijaksana karena sering mengeluarkan nasihat2 dan wajahnya ganteng. Lalu, apanya yang harus dibela ketika seseorang begitu sempurna ?"
Oke deh, bela mas Agus aja sekali2..

"Maaf, saya gak bisa melawan garis tangan mas agus yang katanya sudah men-takdirkannya menjadi pemimpin. Dengan garis tangan takdir Tuhan itu, mas agus gak perlu ngapa2in, gak perlu kampanye, gak perlu program, cukup duduk sama penjual bakwan, di foto wartawan, cekrek.. abrakadabra, sudah menjadi pemimpin.. Melawan takdir garis tangan sama dengan melawan Tuhan. Ingat itu !"

Rasanya perlu secangkir kopi lagi siang ini, biar nalarku bekerja kembali... Tuhan, betapa susahnya ternyata menjadi manusia..

Penulis: Denny Siregar
Read more ...

Selasa, 01 November 2016

NGOBROL DENGAN DONALD TRUMP


"Bro, Ahok itu kristen. Cina lagi. Sementara kita ini mayoritas muslim pribumi. Masa kita beri kesempatan yang minoritas untuk memimpin mayoritas. Indonesia itu negara demokrasi. Dan sejatrinya demokrasi adalah suara mayoritas, bro. Bukan suara minoritas." Teman saya tiba-tiba ngomong politik. Saya sedang malas membahas soal Ahok. Kali ini saya lebih tertarik bicara soal Pilpres di AS.
"Bosen ah, ngomongin Ahok terus. Mending ngomong soal Pilpres di AS. Ente dukung siapa, Hillary Clinton apa Donald Trump?"


"Mending Hilarry dong. Donald Trump memusuhi umat islam. Mentang-mentang di sana umat Islam minoritas..."

"Iya sih..."

"Trump itu juga rasis. Dia seperti mengagungkan supremasi kulit putih. Lihat saja, kaum imigran dan kulit berwarna menjadi musuhnya," teman saya agak berapi-api membahasnya.

"Jadi, ente sebel jika di AS, umat Islam yang minoritas dipojokan oleh Donald Trump?"
"Sebagai muslim, tersinggunglah..."

"Tapi Donald Trump pendukungnya banyak, mas bro."

"Itu kan di AS, masih banyak orang yang rasis dan anti-Islam. Mentang-mentang mereka mayoritas, mereka seenaknya mau menindas umat muslim yang minoritas..."

"Bener juga."

"Semestinya dalam negara yang adil dan demokratis kaum mayoritas gak boleh menindas yang minoritas. Harusnya malah jadi pelindung."
"Kalau nanti ada seorang muslim maju jadi Presiden di AS, bakal diganjel gak ya, oleh rakyat AS yang mayoritas non-muslim?"

"Kalau AS benar-benar mau menjunjung demokrasi, harusnya semua warganya, apapaun agamanya ya, diberi kesempatan dong. AS kan bukan negara agama seperti Vatikan atau Tibet. Kita juga wajib bersyukur jika nanti ada muslim yang maju sebagai Capres AS. Itu benar-benar kemajuan bagi kekuatan dunia Islam."
"Kalau publik AS menentang Capres muslim, gimana bro?"

"Jika masyarakat AS menentang karena agama Capresnya, berarti mereka masih hidup dalam peradaban kuno. Jangan ngomong demokrasi dan kemajuanlah, jika masih diskriminatif dengan umat muslim."
"Maksudnya, diskriminatif terhadap minoritas?"

"Iya. Muslim di AS kan, minoritas..."

"Kembali ke soal Ahok, mas bro. Ente setuju dia jadi Gubernur?"

"Ya, gaklah..."

"Kenapa?"

"Kan tadi udah ane kasih tahu, dia itu Kristen dan Cina. Masa mau jadi pemimpin di negara yang mayoritas muslim, sih..."

"Bro, ngomong-ngomong disini ada toilet gak ya?," kataku. Entah kenapa tibat-tiba perut saya mules...

Penulis: Eko Kuntadhi
Read more ...

Indonesia

Air Hidup

Advertise Here

Designed By VungTauZ.Com