Breaking News

Islam

Politik

Selasa, 06 September 2016

Babi, Ayam, dan Agama Semit (Bag 2)

Sambungan dari  Babi, Ayam, dan Agama Semit (Bag 1)

Kuliah virtual ini masih tentang "Pasal Perbabian". Pengharaman atau pengtabuan babi (bukan "baby" atau "babe" lo ya?) yang termaktub di dalam sejumlah Kitab Suci, khususnya dalam tradisi Yahudi maupun Islam ini, jarang sekali dibahas secara akademik-ilmiah. Alasan yang paling umum dan sering didengar adalah bahwa dasar pengharaman babi itu karena perintah Tuhan (baik "Tuhan"-nya Muslim maupun "Tuhan"-nya Yahudi). Titik. Jadi, tidak perlu diotak-atik dan tanya macam-macam. Memang sudah dari sononya begitu bahwa "babi itu pamali."


Seperti saya jelaskan sebelumnya, memang bukan hanya Al-Qur'an yang secara eksplisit mengtabukan babi. Jauh ribuan tahun sebelum Al-Qur'an hadir di Jazirah Arab, Kitab Taurat atau Torah atau Pentateuch-nya Yahudi sudah lebih dahulu mengharamkan si babi ini. Jadi sebetulnya, kaum Muslim ini meniru Yahudi.
Ada beberapa alasan atas pengharaman babi ini seperti disebut dalam sejumlah surat dalam Kitab Suci Yahudi (misalnya dalam Deuteronomy maupun Leviticus) yang sudah saya jelaskan dalam postingan sebelumnya, maupun yang termaktub dalam kitab-kitab klasik keislaman, khususnya tentang Hukum Islam (fiqh).

Yang jelas ada sejumlah teori tentang bahaya mengonsumsi daging babi bagi kesehatan tubuh yang kemudian dijadikan sebagai "legitimasi tambahan" mengenai status pengharaman mengosumsi daging babi. Salah satunya mengenai "teori cacing pita" (trichinosis), yakni bahwa binatang "mamalia omnivora" ini mengandung cacing pita yang sangat membahayakan bagi kesehatan manusia. Ada pula "teori kromosom" (chromosome), yakni bahwa mengonsumsi daging babi berpotensi bagi manusia akan meniru perilaku babi karena manusia dan babi memiliki kromosom yang, katanya, 11-12.

"Manusia modern" boleh saja berteori, tetapi ribuan tahun lalu ketika Bangsa Israel kuno atau disebut "Israel Alkitab" atau Israelite mengharamkan babi ini jelas tidak mengenal "teori cacing pita" maupun "teori kromosom" ataupun "teori DNA." Kedua teori ini baru lahir belakangan seiring dengan penemuan "teknologi medis" yang kemudian oleh sejumlah kelompok agama tertentu dijadikan sebagai "data tambahan" untuk memperkuat argumen pengharaman babi.

Jika memang seperti disebutkan dalam teks-teks keagamaan bahwa daging babi itu kotor dan tidak higienis bagi kesehatan manusia, lalu kenapa si babi diharamkan? Bukankah seharusnya yang diharamkan itu cara memasak daging babi, bukan babinya? Bukankah logikanya, kalau cara memasaknya oke, mengonsumsi daging babi pun juga oke? Maka, seperti pernah disinggung oleh antropolog Marvin Harris, jika memang pengharaman babi itu merupakan "ordinasi atau peraturan kesehatan yang diinspirasi nilai-nilai ketuhanan", maka ini kasus "malpraktek medis" tertua yang pernah dicatat dalam sejarah kemanusiaan.

Jika dikaji secara seksama, sebetulnya bukan hanya babi yang membahayakan, jika cara masaknya tidak benar. Semua "hewan domestik" (sapi, kambing, domba, dlsb) adalah berpotensi membahayakan kesehatan manusia jika cara memasaknya tidak benar. Daging sapi, misalnya, jika masaknya tidak beres, juga bisa memunculkan cacing (tapeworm) yang bisa memicu sejumlah penyakit. Sapi, kambing dan domba konon juga bisa menyebarkan "penyakit bakteri" yang dikenal dengan nama "brucellosis".

Jelasnya, tidak ada hewan yang betul-betul higienis dan bebas-penyakit. Lalu, kenapa si babi yang menjadi korban dan "dibabihitamkan"? Ada apa dengan situasi-kondisi di Timur Tengah waktu itu sehingga sampai-sampai penduduk Israel, Arab Muslim, dan sejumlah "suku nomad" di padang pasir mengharamkan babi?
Padahal pada zaman duhulu kala di Timur Tengah (Mesopotamia maupun Mesir), masyarakat pernah mengternak babi. Para arkeolog menemukan bukti-bukti tentang ini khususnya masyarakat yang tinggal di kawasan pantai Tigris dan Eufrat. Masyarakat daerah Ur, sebuah negara-kota di Sumeria di zaman Mesopotamia kuno juga mengonsumsi daging babi. Sampai kira-kira zaman Raja Hammurabi (sekitar 1900 BC) di Kerajaan Babilonia, masyarakat Timur Tengah masih mengternak babi dan memakan dagingnya.
Lalu, sejak kapan babi ditabukan? Adakah faktor-faktor ekonomi-ekologi yang menyebabkan babi kemudian pelan-pelan tersingkir dari sebagian masyarakat di Timur Tengah? Lalu, bagaimana ceritanya Islam bisa, ujug-ujug, mengharamkan babi? Bagaimana pula kisah sekelompok Muslim Berber di Pegunungan Atlas di Maroko yang mentradisikan mengternak dan memakan babi? Entar aja deh lanjutannya, capek nih tangan ane nulis terus dari tadi sampai gempor. Yang sabar ya bos?

Kent Vale, Singapore

Penulis: Sumanto Al Qurtuby

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Indonesia

Air Hidup

Advertise Here

Designed By VungTauZ.Com