Sambungan dari Babi, Ayam, dan Agama Semit (Bag 1)
Kuliah virtual ini masih tentang "Pasal Perbabian". Pengharaman atau
pengtabuan babi (bukan "baby" atau "babe" lo ya?) yang termaktub di
dalam sejumlah Kitab Suci, khususnya dalam tradisi Yahudi maupun Islam
ini, jarang sekali dibahas secara akademik-ilmiah. Alasan yang paling
umum dan sering didengar adalah bahwa dasar pengharaman babi itu karena
perintah Tuhan (baik "Tuhan"-nya Muslim maupun "Tuhan"-nya Yahudi).
Titik. Jadi, tidak perlu diotak-atik dan tanya macam-macam. Memang sudah
dari sononya begitu bahwa "babi itu pamali."
Seperti saya
jelaskan sebelumnya, memang bukan hanya Al-Qur'an yang secara eksplisit
mengtabukan babi. Jauh ribuan tahun sebelum Al-Qur'an hadir di Jazirah
Arab, Kitab Taurat atau Torah atau Pentateuch-nya Yahudi sudah lebih
dahulu mengharamkan si babi ini. Jadi sebetulnya, kaum Muslim ini meniru
Yahudi.
Ada beberapa alasan atas pengharaman babi ini seperti
disebut dalam sejumlah surat dalam Kitab Suci Yahudi (misalnya dalam
Deuteronomy maupun Leviticus) yang sudah saya jelaskan dalam postingan
sebelumnya, maupun yang termaktub dalam kitab-kitab klasik keislaman,
khususnya tentang Hukum Islam (fiqh).
Yang jelas ada sejumlah
teori tentang bahaya mengonsumsi daging babi bagi kesehatan tubuh yang
kemudian dijadikan sebagai "legitimasi tambahan" mengenai status
pengharaman mengosumsi daging babi. Salah satunya mengenai "teori cacing
pita" (trichinosis), yakni bahwa binatang "mamalia omnivora" ini
mengandung cacing pita yang sangat membahayakan bagi kesehatan manusia.
Ada pula "teori kromosom" (chromosome), yakni bahwa mengonsumsi daging
babi berpotensi bagi manusia akan meniru perilaku babi karena manusia
dan babi memiliki kromosom yang, katanya, 11-12.
"Manusia
modern" boleh saja berteori, tetapi ribuan tahun lalu ketika Bangsa
Israel kuno atau disebut "Israel Alkitab" atau Israelite mengharamkan
babi ini jelas tidak mengenal "teori cacing pita" maupun "teori
kromosom" ataupun "teori DNA." Kedua teori ini baru lahir belakangan
seiring dengan penemuan "teknologi medis" yang kemudian oleh sejumlah
kelompok agama tertentu dijadikan sebagai "data tambahan" untuk
memperkuat argumen pengharaman babi.
Jika memang seperti
disebutkan dalam teks-teks keagamaan bahwa daging babi itu kotor dan
tidak higienis bagi kesehatan manusia, lalu kenapa si babi diharamkan?
Bukankah seharusnya yang diharamkan itu cara memasak daging babi, bukan
babinya? Bukankah logikanya, kalau cara memasaknya oke, mengonsumsi
daging babi pun juga oke? Maka, seperti pernah disinggung oleh
antropolog Marvin Harris, jika memang pengharaman babi itu merupakan
"ordinasi atau peraturan kesehatan yang diinspirasi nilai-nilai
ketuhanan", maka ini kasus "malpraktek medis" tertua yang pernah dicatat
dalam sejarah kemanusiaan.
Jika dikaji secara seksama,
sebetulnya bukan hanya babi yang membahayakan, jika cara masaknya tidak
benar. Semua "hewan domestik" (sapi, kambing, domba, dlsb) adalah
berpotensi membahayakan kesehatan manusia jika cara memasaknya tidak
benar. Daging sapi, misalnya, jika masaknya tidak beres, juga bisa
memunculkan cacing (tapeworm) yang bisa memicu sejumlah penyakit. Sapi,
kambing dan domba konon juga bisa menyebarkan "penyakit bakteri" yang
dikenal dengan nama "brucellosis".
Jelasnya, tidak ada hewan
yang betul-betul higienis dan bebas-penyakit. Lalu, kenapa si babi yang
menjadi korban dan "dibabihitamkan"? Ada apa dengan situasi-kondisi di
Timur Tengah waktu itu sehingga sampai-sampai penduduk Israel, Arab
Muslim, dan sejumlah "suku nomad" di padang pasir mengharamkan babi?
Padahal pada zaman duhulu kala di Timur Tengah (Mesopotamia maupun
Mesir), masyarakat pernah mengternak babi. Para arkeolog menemukan
bukti-bukti tentang ini khususnya masyarakat yang tinggal di kawasan
pantai Tigris dan Eufrat. Masyarakat daerah Ur, sebuah negara-kota di
Sumeria di zaman Mesopotamia kuno juga mengonsumsi daging babi. Sampai
kira-kira zaman Raja Hammurabi (sekitar 1900 BC) di Kerajaan Babilonia,
masyarakat Timur Tengah masih mengternak babi dan memakan dagingnya.
Lalu, sejak kapan babi ditabukan? Adakah faktor-faktor
ekonomi-ekologi yang menyebabkan babi kemudian pelan-pelan tersingkir
dari sebagian masyarakat di Timur Tengah? Lalu, bagaimana ceritanya
Islam bisa, ujug-ujug, mengharamkan babi? Bagaimana pula kisah
sekelompok Muslim Berber di Pegunungan Atlas di Maroko yang
mentradisikan mengternak dan memakan babi? Entar aja deh lanjutannya,
capek nih tangan ane nulis terus dari tadi sampai gempor. Yang sabar ya
bos?
Kent Vale, Singapore
Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Tidak ada komentar:
Posting Komentar