Breaking News

Islam

Politik

Jumat, 01 Januari 2016

IBU TEMANKU

Perempuan itu duduk di hadapan saya. Sore itu, kami menikmati kopi di sebuah kedai pusat perbelanjaan di tengah kota Jakarta. Pakaiannya necis. Pergelangan tangannya dihiasai gelang indah dan beberapa jarinya melingkar cincin permata. Bau parfum yang lembut tercium. Teman saya ini memang wanita sukses. Karirnya di perusahaan asing melonjak. Dia menikah dengan pengusaha mebel, dikarunia dua orang anak yang lucu. Kebetulan saya cukup kenal dengan keluarganya.

Obrolan kami melayang ke mana-mana. Mulai dari berita-berita di koran, hal-hal bisnis, sampai ke masalah kecil semisal bagaimana anak-anak kami tumbuh. Saya sempat berkisah mengenai masa kecil saya, Juga cerita soal mama saya. Bagaimana rasa masakannya, kesabaran yang luar biasa, juga kekaguman dan rasa hormat saya kepada perempuan tercantik di dunia itu. Saya besar di perkampungan padat Jakarta dengan segala kompleksitasnya. Tapi, saya memiliki mama yang luar biasa. Bersama dengusan nafas dan semangatnya saya berkembang.

”Mamaku sekarang menjadi volunteer untuk memandikan jejazah," kisahku kepadanya. Sambil bercerita, saya membayangkan mama yang dulu dengan kasih sayang memandikan anaknya. Selesai mandi, sebelum saya berpakaian, biasanya mama mendudukan saya di atas meja kemudian mengoleskan koreng yang banyak bertaburan di kaki saya.
Seingat saya karena pemahaman kesehatan yang minim, mama sering mencampur isi kapsul (entah berisi obat apa) dengan minyak tawon untuk dioleskan di koreng-koreng saya. Memang ada antibiotik luar Sulfanilamide, (sekarang sudah tidak beredar) yang cara kerjanya dioleskan. Tetapi kemudian orang mengganggap semua isi kapsul memiliki daya menyembuh seperti itu. Akhirnya, kapsul berisi obat apapun dicampurkan dengan minyak tawon untuk dioleskan ke bekas luka. Untung saja koreng-koreng saya penuh pemakluman. Koreng itu sembuh meski tidak mungkin karena olesan isi kapsul antah berantah itu.
Mendengar kisah saya yang naif itu teman saya tersenyum. ”Yang menyembuhkan koreng kamu bukan isi kapsul. Obat sebenarnya adalah kasih sayang mamamu,” ujarnya pendek. Saya mengangguk setuju. ”Begitulah seorang ibu bekerja untuk anaknya,” sambungnya lagi. ”Aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku pada ibuku.”

Ibu


Lalu dia berkisah.
Ketika kecil aku seringkali malu bila teman-teman ke rumah. Jika mereka terpaksa harus ke mampir biasanya aku menahan ibuku untuk tidak menemui mereka. Ibuku seolah juga paham perasaan anaknya. Dia tidak pernah menampakkan diri di depan teman-temanku. Apalagi setelah ayahku meninggal, ibu seperti menarik diri dalam dunianya yang sunyi. Untung saja bapakku mewarisi tanah yang cukup luas. Tanah itu diusahakan pamanku dan kami hidup dari sana.

Ketika kakakku pacaran, dia bingung ketika teman prianya bermaksud sowa ke rumah. Aku tahu, kakak juga punya perasaan yang sama dengan aku. Ibuku seolah memahami permasalahan anaknya dan meminta tanteku untuk menemani kakakku berkenalan dengan teman prianya. Aku tahu, diam-diam dari ruang makan, ibuku mengintip. Dia tersenyum kecil melihat putrinya yang kini beranjak dewasa.
Hal yang sama ketika aku berpacaran, ibuku selalu mengindar bertemu dengan pacarku. Dia akan duduk di dalam kamarnya saja. Entah kenapa aku merasa sikap itu lebih baik ketimbang aku harus menjelaskan kepada pacarku tentang kondisi ibuku. Aku tahu itu bukanlah perbuatan yang baik. Tetapi, kalaupun aku paksa keluar, ibuku akan tetap bertahan di kamarnya. Dengan bahasa isyarat, dia seperti ingin mengatakan, jangan sampai kondisinya menjadi penghalang kebahagian aku.

Kami tahu kami menyayangi ibu. Dan ibu juga tahu sikap kami itu. Ketika di rumah kami adalah anak yang berusaha membuat ibu bahagia. Tetapi saat harus berinteraksi dengan orang lain ibu seperti memahami kegalauan anaknya. Dia memilih menghindar ketimbang harus membuat anak-anaknya tidak nyaman.
Kami sepertinya tumbuh sendiri. Ketika aku gundah, tidak ada yang dapat aku adukan kepada ibuku. Tidak ada nasihat yang keluar dari mulutnya. Aku hanya bisa tidur dipangkuannya, menikmati belaian tangannya. ”Ibuku bisu-tuli sejak kecil. Dia menghindar dari teman-teman kami mungkin agar kami tidak harus menanggung perasaan malu,” saya lihat mata teman saya berkabut.

Ketika ibu meninggal, waktu itu aku masih kuliah. Aku pulang mendapati jenazah ibuku. Aku menangis, tetapi tidak tahu untuk apa. Aku menangis untuk seorang ibu, orang yang selama ini duduk di kamarnya sendiri, ketika anak-anaknya sedang merajut kebahagiaan. Tapi sepertinya aku juga merasa lepas. Waktu itu aku lebih bisa menceritakan ibuku yang telah tiada ketimbang harus mengisahkan ibuku yang bisu-tuli. ”Mungkin aku berdosa. Tapi aku menyayangi ibuku. Aku juga tahu dia sangat menyanyangi kami. Dan karena kasih sayangnya itu, dia bersedia menghindar dari kehidupan sosial kami.”
Ketika kamu cerita, bahwa mama kamu sekarang jadi volunteer memandikan jejazah, aku ingat ibuku. Saat dia meninggal kami diminta untuk ikut mengguyurkan air pemandian ke jenazah ibuku. Sebelum aku mengguyur air ke wajahnya yang kini pias, aku sempat berbisik ke telinganya, ”Maafkan aku, bu. Maafkan.. Dan, setelah itu aku jatuh pingsan."

Selesai bercerita, saya merasakan nafasnya naik-turun. Wajahnya kelabu diterpa cahaya lampu...

Penulis: Eko Kuntadhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Indonesia

Air Hidup

Advertise Here

Designed By VungTauZ.Com