Kamis, 28 Juli 2016
SAMPEL
Dalam beberapa tahun terakhir ini menemani para geosaintis dari berbagai oil company juga dari kantor saya sendiri - SKK Migas melakukan fieldtrip dari Sumatra sampai Papua, saya suka mengamati soal pengambilan sampel batuan. Ternyata yang paling banyak membawa pulang sampel batuan adalah saya - gurunya.
Para peserta kebanyakan tidak membawa pulang sampel, atau kalau pun mengambil ya hanya beberapa saja itu pun berukuran kecil saja, nampaknya buat kenangan. Kalau saya tidak, saya mengambil setiap sampel batuan secara sistematik -yang mewakili setiap formasi yang dijumpai. Dan ukuran sampel itu umumnya sebesar kepalan tangan saya.
Para peserta tidak mengambil sampel bisa dengan dua alasan: (1) menyediakannya untuk geolog generasi yang akan datang, (2) repot membawanya sebab ini hanya fieldtrip bukan survei geologi jadi tak ada angkutan khusus untuk membawa sampel. Alasan (1) bagus, saya juga mengambil sampel setelah melihat bahwa begitu berlimpah singkapannya berkilometer-kilometer - mengambil sampel segenggam saja tak apa-apalah. Mungkin alasan (2) yang menyebabkan mereka tak mengambil sampel. Lagipula mereka berpikir: ah buat apa juga sampel itu toh saya tak akan mengggunakannya.
Terus buat apa saya mengambil sampel batuan? Tentu saja untuk saya pelajari dan kemungkinan analisis lab sebab saya sedang menyusun buku Geologi Indonesia. Saya harus punya sampel batuan dari berbagai wilayah di Indonesia kalau bisa. Kan saya bisa saja pergi ke Badan Geologi untuk melihat koleksi batuan hasil pemetaan geologi bersistem yang sudah puluhan tahun mereka lakukan? Iya bisa saja, tetapi kalau saya sedang di lapangan dan ada batuan di depan mata yang saya perlukan dan bisa saya ambil tanpa mengganggu konservasinya masa saya tak mengambilnya.
-----
Minggu lalu pun saat saya menemani kawan-kawan saya dari SKK Migas fieldtrip ke Aceh dan Sumatra Utara, sebisa mungkin saya mengumpulkan sampel-sampel batuan secara sistematik yang mewakili setiap formasi di Cekungan Sumatra Utara, kebetulan saya belum punya sampel-sampel batuan Cekungan Sumatra Utara. Saya pun membawa sampel minyak dari penambangan tradisional di dekat sumur eksplorasi pertama di Indonesia yang menemukan minyak secara komersial - Telaga Tunggal-1 (1885).
Saat pulang, menjadi pikiran tersendiri bagaimana bila sampel-sampel itu tidak boleh dibawa naik pesawat atau tak boleh dibawa keluar dari Sumatra Utara. Ah dicoba saja dulu: kalau tidak dicoba pasti gagalnya, kalau dicoba ada kemungkinan berhasil. Batu-batu yang hampir 10 kg beratnya itu pun saya masukkan di tas bagasi, ditumpuk di antara pakaian-pakaian kotor, yang nampak mudah hancur saya taruh di atas.
Sampel minyak saya pindahkan ke botol bekas minuman kopi dan madu yang sengaja saya beli di Medan. Kedua botol ini kuat, botol madu bahkan dari beling. Saya lalu memasukkannya juga ke tas bagasi menyusunnya sedemikian rupa agar botol tak pecah atau tumpah isinya. Kalau ditanya petugas itu botol apa saya akan menjawab itu botol madu dan botol kopi (memang iya kan) hanya kopinya sudah diminum, madunya dipindahkan ke botol lain, diganti minyak bumi. Warna minyak bumi kebetulan mirip kopi, mirip madu...
Saat bagasi masuk pemetiksaan di bandara, petugas menghentikan tas saya dan menanyakan:
Petugas: "Apa itu di dalam bagasi?"
Saya: "Batu-batu kali, saya baru pulang melakukan penelitian geologi, saya seorang geolog." -saya sambil bersiap menunjukkan ID card SKK Migas saya bila diperlukan
Petugas: "Oh..." (entah dia mengerti penjelasan saya atau tidak, he2...) - mungkin dia heran batu kali kok dipungut...
Untung petugasnya tidak cerewet atau rasa ingin tahu dan curiganya tinggi. Batu-batu dan minyak pun (yang tak ditanyakannya) lolos...saya senang.
Beberapa kawan seperjalanan saya yang membawa beberapa batu di tas kabin mesti meninggalkan batunya, - harusnya mereka menyimpannya di tas bagasi. Tetapi ada juga batu-batu di tas kabin yang diloloskan yaitu yang berwarna gelap, sementara yang berwarna terang (batupasir kuarsitik) mesti ditinggalkan. Saya tahu alasannya: mungkin yang berwarna terang nampaknya bagus buat digosok...he2...
Pebbly mudstone Bohorok berumur 300 juta tahun yang mengembara dari Gondwana dilepaskannya sebab warnanya gelap saja dan nampak tak menarik, sementara batupasir glaukonitik dan kuarsitik Middle Baong berumur 15 juta tahun ditahannya... Ah terbalik Pak..he2..
Hm..begitulah membawa sampel batuan atau minyak juga ada suka dukanya. Suka saat sampel-sampel itu bisa dibawa pulang dan akhirnya bisa masuk ke koleksi saya, duka bila batu-batu itu harus ditnggalkan.
Sampel batubara Fm Tanjung dan Fm Warukin misalnya pernah harus saya tinggalkan di bandara Banjarmasin saat fieldtrip ke Pegunungan Meratus bersama ConocoPhillips, saat itu penambangan batubara di Kalimantan Selatan sedang marak. Apa hubungan antara penambangan batubara yang marak dengan tak boleh membawa sampel batubara segenggam saja saya pun gagal paham...
Lalu saya juga beberapa bulan lalu harus rela meninggalkan sampel-sampel batu belerang dari Kawah Ijen di bandara Surabaya hasil mengambil sampel belerang yang membeku saat melakukan fieldtrip ke sana bersama kawan-kawan Geotrek Indonesia. Menurut petugas belerang termasuk bahan berbahaya dan terlarang dibawa di pesawat penumpang. Saya mencoba mendebat sampai agak lama termasuk bertemu dengan kepala para petugas bandara, saat ditunjukkan bukunya dan aturan tertulis bahwa belerang dilarang dibawa di dalam pesawat penumpang, saya pun menyerah dengan duka... Ya sudah.
-----
Sebagai seorang geolog, saya dan batu berkawan, saya sediakan satu kamar di rumah untuknya, tempat rak-rak batu berada...Tanpa batu, bukan geolog...***
Penulis: Awang Satyana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar