Semua postinganku sebetulnya bertujuan untuk mendidik publik
masyarakat agar bersikap cerdas dan dewasa dalam menyikapi isu-isu
sosial-kemanusiaan-keagamaan. Menggugah masyarakat akan pentingnya makna
toleransi dan pluralisme dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat,
beragama, berbangsa, dan bernegara. Menyadarkan akan bahaya
"etnosentrisme" dan pentingnya "relativisme budaya" dalam menyikapi
kemajemukan umat manusia. Menghargai tradisi sendiri, budaya sendiri,
bahasa sendiri, bangsa sendiri, dan negara sendiri diatas tradisi,
budaya, bahasa, bangsa, dan negara lain tanpa harus merendahkan tradisi,
budaya, bahasa, bangsa, dan negara lain itu.
Lebaran berarti
"lebar" atau "selesai". Bisa juga berarti "lebur" yang berarti "hangus"
atau "lenyap". Tentu saja lenyap segala kesalahan dengan jalan saling
memaafkan satu sama lain. Konon tradisi ini pertama kali digagas oleh
Sunan Bonang yang bertujuan untuk "menyempurnakan" bulan suci Ramadan.
Jika dengan puasa, Tuhan mengampuni dosa-dosa kita dengan-Nya, maka
dengan saling meminta maaf kepada sesama, lenyaplah dosa-dosa dan
kesalahan kita dengan sesama umat manusia. Denagn demikian, dosa dengan
Tuhan lebur, dosa dengan sesama manusia juga lebur.
Lambang dari
pengampunan kesalahan dan permintaan maaf itu disimbolkan dengan
ketupat atau kupat dalam Bahasa Jawa yang berarti "ngaku lepat" atau
mengakui kesalahan atau kekhilafan. Tradisi makan kupat ini konon
pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijogo, satu-satunya anggota
Walisongo yang "njawani" dan gemar nguri-uri atau merawat tradisi dan
kebudayaan lokal.
Selain makan ketupat, Lebaran juga diiringi
dengan tradisi "sungkeman", sebuah tradisi Jawa yang konon dimulai dari
Pangeran Samber Nyowo atau KGPA Arya Mangkunegara I dari Keraton
Kartasura. Sungkem adalah sebuah tradisi permintaan maaf dan sekaligus
permintaan berkah dari orang tua atau orang yang dituakan.
Terakhir adalah halal bihalal. Nah ini sejarahnya agak rumit dan banyak
versi. Tetapi diantara sekian versi, saya menganut versi yang mengatakan
bahwa nama "halal bihalal" itu diperkenalkan oleh KH Abdul Wahab
Chasbullah (Mbah Wahab), salah satu pendiri NU. Konon dulu, Presiden
Sukarno minta nasehat Mbah Wahab untuk mengatasi perselisihan,
ketegangan, dan konflik para elit poltik di awal-awal kemerdekaan RI.
Mbah Wahab kemudian mengusulkan kepada Bung Karno untuk mengundang semua
elit politik dari berbagai etnis dan agama dalam sebuah acara
silaturahmi akbar di "istana" yang dinamakan "Halal Bihalal" tujuannya
supaya saling "menghalalkan" dan "memaafkan" kesalahan, tidak ribut
melulu dan saling "mengharamkan" dan "menyalahkan".
Demikian
sekilas "santapan rohani" dari Negeri Singa. Insya Allah, besuk mudik
kampung untuk ikut merayakan Lebaran, makan kupat, sungkeman, dan halal
bihalal.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Tidak ada komentar:
Posting Komentar