Senin, 18 Juli 2016
Agama di Dunia Maya
Pernah saya berdiskusi dengan seorang ustaz di rumah saya. Saya sampaikan hal-hal yang menjadi pertanyaan saya tentang Islam. Setelah itu kami salat berjamaah, dan saya persilakan dia untuk menjadi imam. Usai salat dia bercerita. “Waktu diskusi tadi sebenarnya saya sedang berusaha keras menahan emosi. Hampir saja Pak Hasan saya terjang dan saya pukuli, kalau saya tidak berpikir panjang,” katanya.
“Kenapa begitu?” tanya saya.
“Apa yang Bapak pertanyakan, apa yang Bapak kritikkan itu adalah hal-hal yang selama ini saya baca di internet. Setiap kali saya baca, saya sangat marah, rasanya ingin saya tinju monitor komputer saya. Nah, kini hal-hal yang saya baca itu saya dengar langsung dari orangnya sendiri, hadir di depan muka saya,” jelasnya. Saya memang menanyakan, tepatnya mempertanyakan banyak hal dalam Islam secara kritis. Untungnya di akhir diskusi dia akhirnya paham bahwa saya tidak sedang menghina Islam, melainkan sedang berusaha memahami. Di akhir cerita, dia menyarankan saya untuk berdiskusi dengan ulama lain, yang dia anggap lebih mumpuni. “Doktor harus dihadapkan dengan doktor,” kata dia. Saya datangi ulama yang dia sarankan, tapi diskusi tidak berkembang baik. Ulama itu menjawab singkat,”Saya tidak pernah berpikir tentang hal itu.” Selesai.
Internet membuat dunia menjadi seakan tanpa batas. Media sosial membongkar batas-batas yang selama ini masih tersisa di dunia internet, menjadi benar-benar tanpa batas. Kita yang biasanya bergaul dengan orang dari kalangan yang sangat terbatas, kini dicampurkan dalam suatu bak besar bernama media sosial. Topik-topik sensitif yang biasanya enggan kita bahas di ruang nyata, menjadi hal yang tak lagi tabu dibahas di ruang maya. Interaksi yang memuat kejutan seperti yang terjadi antara saya dengan ustaz tadi, berlangsung hampir setiap menit di ruang maya.
Yang terjadi di dunia maya adalah manusia-manusia yang nyaris tanpa profil, saling berinteraksi. Manusia-manusia yang tak saling kenal satu sama lain, berbicara tanpa batas. Lebih pelik lagi, jalur komunikasi yang dipakai adalah bahasa tulis, yang sering kali gagal menyampaikan maksud secara utuh. Maka media sosial adalah dunia yang sangat rawan konflik.
Tidak hanya itu. Dunia sosial juga menghilangkan strata sosial dan segmen usia. Seorang cendekia dengan posisi terhormat di dunia nyata, bisa berinteraksi dengan anak SMP, atau buruh kasar di proyek konstruksi. Kiyai besar dengan ilmu mendalam, bisa berinteraksi dengan anak kemarin sore yang baru belajar agama lewat majelis halaqah. Perbedaan status sosial, level pengetahuan, dan sebagainya juga bisa menimbulkan konflik.
Pernah saya ungkapkan suatu fakta sejarah tentang rumah tangga nabi, yaitu konflik antara nabi dengan istri-istri beliau terkait kehadiran Maria Qibtiyah. Fakta itu sebenarnya tertulis di kitab-kitab tafsir, sesuatu yang biasa didiskusikan. Masalahnya, sangat banyak orang yang berislam tanpa belajar. Mereka hanya mendengar secuil doktrin, dan mempercayainya tanpa periksa. Kontan mereka marah dengan fakta yang saya ungkap tadi, dan menuduh saya memfitnah dan menghina nabi.
Semua itu menjadi tambah panas bisa bercampur dengan kepentingan politik. Politik kita masih sebatas politik emosi. Laksana penonton bola, publik kita melihat politik dengan bingkai nalar “yang penting pihak saya menang”, bukan atas kepentingan-kepentingan yang lebih mendasar seperti terpenuhinya hak-hak dia sebagai warga negara. Akibatnya, semangat untuk menang lebih mendominasi pola komunikasi.
Ketika pikiran kita sudah dipenuhi oleh keberpihakan berbasis emosi, maka tidak ada lagi objektivitas. Tadi saya membaca posting orang yang memuat kritik saya terhadap Aa Gym, soal anjing pelacak di bandara. Ia menuduh saya bersikap kurang ajar. Kata-kata saya dia anggap kurang ajar. Tapi persis di bawah posting itu, ia memuat posting yang memaki-maki Ahok. Padahal kritik saya terhadap Aa Gym hanya berupa sindiran satire, tanpa makian. Bahkan, menurut teman saya yang berteman dengan dia, orang ini sebenarnya biasa memaki orang lain.
Apakah saya selalu objektif? Saya tidak berani mengklaim begitu. Yang bisa saya klaim adalah saya berusaha untuk selalu objektif. Obejektivitas, sayangnya, sering ditetapkan secara subjektif. Itulah peliknya.
Jadi bagaimana? Saya menetapkan platform dalam bermedia sosial, agar tidak larut dalam konflik, meski konflik sering kali memang tidak bisa dihindari. Pertama, saya menjunjung tinggi kemerdekaan berpikir dan berekspresi. Dalam hal ini saya bahkan terpaksa berbenturan dengan admin Facebook sendiri, apa boleh buat. Kedua, saya bermedia dengan basis pengetahuan dan fakta. Sering saya merevisi atau menghapus sebuah posting yang kemudian saya sadari tidak kuat basis faktanya. Ketiga, saya tidak berminat mengubah pandangan orang-orang yang memang sudah diametral pertentangannya dengan saya. Yang bisa saya lakukan hanya membuka dialog untuk saling memahami. Bila pun itu tidak tercapai, minimal saya memberi kepercayaan diri kepada orang-orang yang sepaham dengan saya. Banyak orang yang punya pendirian tertentu tapi tidak tahu cara mempertahankan pendiriannya itu dengan argumen yang akurat. Saya menyediakan itu bagi mereka.
Facebook bagi saya hanyalah media untuk bertaaruf dengan jujur. Inilah saya. Sosok saya, atau apa yang saya pikirkan tidak selalu menyenangkan bagi orang lain. Dalam dunia nyata pun sebenarnya demikian. Hanya saja, saya tidak berinteraksi di dunia nyata sebanyak interaksi saya di dunia maya.
Penulis: Hasanudin Abdurakhman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar