Setiap menghadiri upacara kematian, saya sering mendengar doa. "Semoga Allah menempatkan almarhum sesuai dengan amal ibadahnya."
Saat mendengar doa itu, saya selalu menggigil. Tidak usah memakai hitungan Allah. Saya sendiri bisa menghitung amal ibadah saya, dan ah, amat sedikit. Amat secuil.
Saya memakai sedikit kebaikan, untuk menutupi aib yang segudang. Saya
memakai sejumput keindahan untuk mengelabui keburukan yang tersembunyi.
Allah pasti adil. Dia mengenal manusia sampai ke lubuk hatinya. Bagaimana mungkin saya tenang dalam kematian jika doa itu disampaikan kepada saya?
Jika amal ibadah dan keburukan jadi syarat dimana posisi manusia kelak di tempatkan. Saya tahu pasti, dimana posisi saya.
Bahkan kebaikan yang saya lakukan, belum tentu jadi kebaikan. Ibadah yang saya kerjakan, belum tentu bernilai ibadah.
Saya beribadah sangat sedikit. Tapi perasaan lebih shaleh dari orang lain sering muncul.
Jika menolong orang, saya merasa sudah lebih hebat dari yang ditolong.
Jika berbuat secuil kebaikan, saya merasa sudah melampaui keburukan.
Baru belajar sedikit, merasa punya hak menuding-nuding orang lain.
Padahal perasaan-perasaan yang tumbuh itu menarik semua nilai kebaikan ke titik nol. Menjadi tidak berarti.
Sementara begitu banyak keburukan yang tersembunyi maupun yang terang-terangan saya lakukan.
Saya percaya Allah Maha Adil. Mengitung setiap kebaikan dan keburukan manusia. Tapi, saya berharap keadilanNya tidak dihadirkan kepada saya. Sebab saya cuma bisa membawa kantong kresek kosong untuk bekal menghadapnya.
Saya hanya bisa memelas belas kasih. Saya hanya berharap kasih sayang Allah mendahului keadilanNya.
Jika terlampau banyak keburukan, saya menanti syafaat Nabi dan para imam memercik sedikit saja. Membalas cinta saya, yang kadang juga tidak sunggu-sungguh.
Sebab di hadapan Allah, saya cuma mahluk yang minta dikasihani. Di hadapan Nabi dan para imam, saya cuma memohon tidak diusir dari barisannya. Meskipun cuma jadi anak bawang...
Penulis: Eko Kuntadhi
Allah pasti adil. Dia mengenal manusia sampai ke lubuk hatinya. Bagaimana mungkin saya tenang dalam kematian jika doa itu disampaikan kepada saya?
Jika amal ibadah dan keburukan jadi syarat dimana posisi manusia kelak di tempatkan. Saya tahu pasti, dimana posisi saya.
Bahkan kebaikan yang saya lakukan, belum tentu jadi kebaikan. Ibadah yang saya kerjakan, belum tentu bernilai ibadah.
Saya beribadah sangat sedikit. Tapi perasaan lebih shaleh dari orang lain sering muncul.
Jika menolong orang, saya merasa sudah lebih hebat dari yang ditolong.
Jika berbuat secuil kebaikan, saya merasa sudah melampaui keburukan.
Baru belajar sedikit, merasa punya hak menuding-nuding orang lain.
Padahal perasaan-perasaan yang tumbuh itu menarik semua nilai kebaikan ke titik nol. Menjadi tidak berarti.
Sementara begitu banyak keburukan yang tersembunyi maupun yang terang-terangan saya lakukan.
Saya percaya Allah Maha Adil. Mengitung setiap kebaikan dan keburukan manusia. Tapi, saya berharap keadilanNya tidak dihadirkan kepada saya. Sebab saya cuma bisa membawa kantong kresek kosong untuk bekal menghadapnya.
Saya hanya bisa memelas belas kasih. Saya hanya berharap kasih sayang Allah mendahului keadilanNya.
Jika terlampau banyak keburukan, saya menanti syafaat Nabi dan para imam memercik sedikit saja. Membalas cinta saya, yang kadang juga tidak sunggu-sungguh.
Sebab di hadapan Allah, saya cuma mahluk yang minta dikasihani. Di hadapan Nabi dan para imam, saya cuma memohon tidak diusir dari barisannya. Meskipun cuma jadi anak bawang...
Penulis: Eko Kuntadhi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar