"Kasihan dia sekarang.."
"Kenapa ?"
"Ibunya stroke sejak 7
tahun lalu. Dia anak satu2nya. Istrinya minta cerai karena tidak mau
mengurus mertuanya. Anaknya satu, masih kecil. Dia terpaksa keluar dari
kerjaan karena mengurus ibunya dan anaknya. Duh, kasihan-lah
pokoknya...."
Kutatap wajah temanku. Ada guratan keprihatinan di
wajahnya membayangkan kehidupan temannya. Dia merasa sangat bersyukur
dengan hidupnya yang lebih baik. Aku tersenyum.
Terbayang ketika
aku berkunjung ke seorang sahabat yang terkena kanker stadium akhir.
Dia sudah tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Tubuhnya kurus tinggal
tulang. Anehnya, wajahnya ceria. Senyumnya terus mengembang.
Aku
duduk disampingnya, memegang tangannya dengan jari2 yang kurus. Kami
pernah melewati "masa gila" bersama. Masa ketika rasa takut itu bukan
menjadi bagian dari diri kami. Masa ketika kami sama sekali tidak
berfikir.
"Kamu tahu, den.." Katanya lemah. "Banyak orang yang
memandang kasihan padaku. Mereka menganggap apa yang aku alami adalah
musibah. Kata-kata mereka mencoba menghiburku. Tapi apa yang harus
dihibur ? Aku sedang gembira..."
Begitulah sahabatku. Sisi pandangnya selalu menarik untuk disimak.
"Tidak banyak orang tahu, bahwa sakit, kemiskinan, kepedihan, kesulitan
adalah cara Tuhan untuk mengikis dosa2 yg selama ini kita lakukan.
Seandainya mereka tahu bahwa penyakit itu adaah anugerah, maka mereka
tentu menyambutnya dengan gembira.
Bayangkan, dosa2 dikikis di
dunia supaya ringan siksa kita di alam kubur nanti, yang kita tidak bisa
membayangkan seberapa keras tekanannya. Betapa mulyanya. Tentu saja aku
menjadi gembira. Kamu belum tentu semulya aku sekarang, karena
pengikisan dosaku jauh lebih cepat dari kamu... "
Berat rasanya
kelopak mataku. Ada embun yang menggantung disana. Bukan karena sedih,
bukan. Karena aku sangat kagum akan cara pandangnya dengan dasar ilmu
yang kuat.
"Dan dia..." Temanku memandang ke istrinya yang
tersenyum di pojok kamar meihat kami berdua ngobrol bersama. "Dia paham,
bahwa aku adalah ladang amal-nya yang harus dia jemput. Aku adalah
poin2, bonus yang dia kumpulkan untuk bekal perjalanan dia di alam kubur
nantinya. Kesabaran dan keikhlasan dia merawatku menjadi penyelamat dia
nantinya. Tuhan memberiku sakit sebagai pengikis dosaku, dan Tuhan
mengirimkan aku dalam kondisi sakit kepada istriku sebagai "paket amal"
yang diantarkan langsung ke depannya untuk dia kumpulkan..."
Temanku menoleh kepadaku. "Hebat, bukan ?" Senyumnya tidak pernah
kulupakan. Senyum terakhir yang aku rekam dalam otakku saat aku
mengantarnya berbaring di kegelapan kubur. Ketika satu persatu tanah
dimasukkan ke liangnya, istrinya terduduk ditanah dengan tangis yang
tertahan.
Aku merasa itu tangis kegembiraan karena ia berhasil mengumpulkan poin amal sebanyak2nya yang dikirimkan Tuhan kepadanya.
Ah, aku baru teringat. Temanku dan istrinya mengambil sudut pandang
akhirat dalam membaca peristiwa mereka, berbanding terbalik dengan
banyak orang yang mengambil sudut pandang dunia sehingga mereka
menganggapnya sebuah musibah.
Selamat jalan, sahabatku.. Di
perjalanan kedua nanti, semoga engkau sudah menyiapkanku secangkir kopi
untuk menemani kita bercerita.
"Dunia adalah tempat amal tanpa perhitungan dan akhirat adalah tempat perhitungan tanpa amal" Imam Ali as.
Penulis: Denny Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar