Sebanyak 180 mahasiswa geologi Indonesia dari kampus di ujung barat Indonesia di Banda Aceh sampai di ujung timur Indonesia di Jayapura, saya temani pada Senin awal minggu ini di tepi utara dan barat Pegunungan Selatan Jawa bagian timur di area Perbukitan Jiwo, Bayat sampai selatan Sukoharjo dan utara Wonogiri. Fieldtrip ini diselenggarakan dalam rangkaian PIT PERHIMAGI (Persatuan Himpunan Mahasiswa Geologi Indonesia) 2016 yang berlangsung di Yogyakarta 6-13 Maret 2016.
Contact person Panitia fieldtrip dari Geologi Universitas Diponegoro, Semarang, Sdr. Yan Bachtiar Muslih -sekaligus menjadi asisten saya di lapangan, menginformasikan bahwa tema fieldtrip adalah pandangan baru tentang geologi dan tektonik area Bayat dalam konteks regional SE Java Microcontinent. Sdr. Yan dan para mahasiswa geologi di Undip nampak jelas mengikuti apa yang saya kemukakan dalam tiga tahun terakhir ini.
Dalam tiga tahun terakhir ini saya komunikasikan idea-idea terkait status baru tektonik Bayat baik secara formal di pertemuan-pertemuan ilmiah para profesional nasional dan internasional (Satyana, 2014 -IPA; Satyana, 2014-IAGI; Satyana, 2015-IPA; Satyana, 2016 -IPA Mei besok), maupun secara internal di berbagai forum (perguruan tinggi, institusi, oil companies), atau secara informal dan populer melalui media sosial (facebook). Juga tengah diupayakan untuk menuliskannya dalam jurnal internasional oleh kawan saya seorang peneliti di Geoteknologi LIPI.
Awang Satyana |
Perhatikan bagaimana cara saya mengkomunikasikan idea-idea itu melalui berbagai cara formal dan informal, eksternal dan internal. Sebagian presentasi-presentasi itu juga adalah bersifat undangan. Komunikasikan saja idea itu bila memang dirasa signifikan, baik, dan berimplikasi luas. Idea itu benar atau ngawur akan teruji dengan sendirinya. Jangan takut mengemukakan idea selama ada fakta, data, bukti, argumennya.
-----------------
Maka ketika saya diundang untuk menjadi instruktur fieldtrip PIT PERHIMAGI 2016 dengan tema "Memberikan Status Baru bagi Tektonik Bayat dalam Konteks Geologi Regional Mikrokontinen SE Java", saya menyambutnya dengan baik. Kesempatan yang baik bagi saya untuk bercerita kepada sekitar 180 perwakilan mahasiwa geologi dari sekitar 25 kampus di seluruh Indonesia tentang bagaimana dan mengapa saya mempunyai idea begitu.
Sehari sebelumnya dalam sebuah seminar rangkaian acara PERHIMAGI di Kampus Geologi UPN, saya juga diundang menyampaikan materi terkait yang saya beri judul: Tectonics of Java: Revisited - Cretaceous Subduction, Microcontinent Collision, and Implications for Pre-Tertiary Petroleum Potential.
Meskipun demikian, pada kesempatan-kesempatan di seminar dan di lapangan, saya tak hendak mempengaruhi para generasi muda calon geolog Indonesia ini melalui idea-idea saya itu.
Di seminar, saya ceritakan dengan runtut alur pekerjaan saya dari field geology, ke laboratory analysis, ke interpretasi, sampai sintesis. Saya tunjukkan kepada mereka mereka data-data terbaru, interpretasinya, literatur-literatur, argumen-argumen, dan sintesis saya. Mereka bisa melihat dengan jelas alur nalar saya. Saya minta peserta seminar entah para mahasiswa atau para dosen yang hadir untuk mengajukan pertanyaan atau tantangan atas argumen-argumen saya.
Di lapangan pada Senin lalu saya tunjukkan singkapan-singkapan di hadapan para mahasiswa ini. Bagaimana saya mendeskripsi, menganalisis, menginterpretasi singkapan di tempat itu, lalu mengaitkannya ke singkapan-singkapan lain di sekitarnya, dan secara regional dalam ruang dan waktu, lalu akhirnya mendudukannya dalam konteks regional dan melakukan sintesis. Saya minta para mahasiswa mengajukan pertanyaan- pertanyaan atas deskripsi dan interpretasi saya. Tugas geolog tak hanya mendeskrpsi singkapan, tetapi juga mengintetpretasinya secara regional dalam ruang dan waktu. Para geolog bukan hanya observer dan deskriptor singkapan, tetapi mereka juga para saintis yang melakukan rekonstruksi. Para geolog melihat sekaligus yang terlihat (singkapan batuan) dan tidak terlihat (rekonstruksi).
PIT PERHIMAGI 2016 |
Pendek kata, meskipun saya punya kesempatan untuk mempengaruhi pikiran para mahasiswa ini dengan idea-idea yang saya hasilkan, apalagi sebagian besar dari mereka percaya dengan yang saya katakan, saya tak akan menggunakan kesempatan itu. Biarkan saja mereka mencerna sendiri. Di lapangan saya mengajari mereka mengamati dan mencatat dengan baik apa yang dilihat. Yang tak terlihat adalah bagian interpretasi dan sintesis geologi, yang harus dibangun dengan data, argumen, dan nalar. Saya mengajari mereka begitu.
Bahkan saya berkata kepada mereka, "Bila kalian punya fakta, data, bukti, analisis, interpretasi, dan argumen; kemukakan saja. Tak perlu takut itu akan kontroversial atau sangat berbeda dengan konsep atau teori mapan yang dikeluarkan oleh para geolog terdahulu ternama sekalipun, juga termasuk dari saya.
Pendapat saya tentang Bayat dan rekonstruksi tektonik Mesozoic untuk SE Sundaland yang saya ajukan bertentangan dengan Bothe (1928), Katili (1972), Hamilton (979), Hall (2012), dan beberapa lagi. Tidak masalah, ilmu berkembang melalui penemuan-penemuan baru termasuk perdebatan-perdebatan di dalamnya. Kalau saya berkata soal empat pilar mental untuk berkembang, yaitu: cinta, ketekunan, konsistensi, dan keberanian. Nah kali ini saya sedang mengajari kalian tentang keberanian. Keberanian dengan data, argumen dan nalar, bukan keberanian yang nekad tanpa apa pun."
Di sebuah singkapan batugamping kapuran Miosen Tengah Formasi Oyo di selatan Sukoharjo Senin sore itu saya mengatakan hal tersebut kepada para mahasiswa ini -mengakhiri fieldtrip sehari bersama mereka.
Saya mengajari para mahasiswa geologi Indoneia ini tak hanya sekadar mendeskripsi singkapan, tetapi lebih dari itu, sebuah sikap KEBERANIAN YANG BERNALAR!***
Penulis: Awang Satyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar