Ia bercerita tentang anaknya, tentang cucunya, tentang cita-citanya yang sederhana. Ia jauh dari kemulukan mimpi banyak manusia yang sudah terdoktrinasi kemewahan materi yang dipompakan oleh banyak media.
Ia adalah orang yang mampu menempatkan dirinya sebagai manusia. Ia paham, dimana dirinya. Ia tidak perlu memaksakan memenuhi dirinya dengan hal-hal yang indah di matanya namun sulit digapai sehingga ia harus mencuri, merampok ataupun korupsi. Ia merasa cukup dengan dirinya.
Saya pernah bertanya kepada seorang motivator terkenal, “Kenapa ukuran sukses dari para banyak motivator selalu diukur dari keberadaan dunia ? Dan apakah karena itu para motivator selalu membungkus dirinya dengan kemewahan dunia, supaya dianggap sukses oleh mereka yang ingin di motivasinya ?” Dia bilang, “Kalau urusan akhirat, itu urusan ustad..” Dan semua yang hadir tertawa
Lama saya baru paham, bahwa para motivator itu hanya penjual berdasarkan hukum pasar. Teori supply dan demand. Karena banyak manusia mengukur kesuksesan dari dunia, maka ia menjual dunia. Jika ia mengukur kesuksesan dari yang bukan dunia, tentu ia tidak akan laku karena melawan hukum pasar.
Sulit mengatakan bahwa apa yang dilakukan pak Kardi adalah kesuksesan. Karena siapa yang mau bekerja sepertinya? Sayapun pasti tidak mau.
Tetapi itulah ukuran kesuksesan bagi dia dan keluarganya. Ukurannya adalah perjuangan. Ia konsisten pada nilainya. Ia tidak berfikir hasilnya.
Ia tidak tergoda dengan berapa banyak yang ia dapatkan, tetapi ia fokus pada apa yang ia perjuangkan. Itulah yang dinamakan nilai. Materi adalah nilai semu, tetapi menjadi manusia adalah nilai yang abadi.
Pak Kardi adalah salah seorang guru saya, meski kami hanya bertemu sebentar.
Tetapi pertemuan saya dengan dia dan nilai yang diajarkannya, seperti saya membaca puluhan buku hikmah hanya untuk mendapat sarinya. Saya beruntung bertemu dengannya daripada bertemu dengan seorang kaya yang sibuk dengan hartanya, yang sama sekali saya tidak mendapat pelajaran apa2 selain decak kagum akan materi yang dia punya sekaligus kasihan karena ia tidak mampu mem-fungsikannya dengan benar.
Terkadang sulit sekali menjadi secangkir kopi yang bisa memberikan nikmat dimanapun ia berada, baik di warung kopi maupun di hotel termewah. Kopi dinilai karena nilainya sebagai kopi bukan karena harganya.
Penulis: Denny Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar