Menurutnya, Iran mampu melakukan nasionalisasi tanpa takut dan mereka berhasil sampai sekarang, bahkan negara akhirnya menjadi lebih kuat.
Sang teman ternyata belum mempelajari bagaimana proses revolusi di Iran itu sendiri.
Iran sebelum revolusi di tahun 1979, adalah negara monarki atau kerajaan. Negara dipimpin oleh Syah Reza Pahlevi, yang juga boneka AS. Pada masa itu, moral masyarakat di Iran turun drastis. Pelacuran, narkoba dan gaya hidup disana lebih gila dari Amerika itu sendiri. Googling aja bagaimana budaya di kota Iran pada masa itu.
Grasberg |
Hampir semua lini ekonomi dikuasai oleh AS dan sekutunya, dan sebagai imbalannya Syah Reza dihujani harta berlimpah. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Syah Reza banyak membeli para ulama korup dan menindas mereka yg menentang.
Pada dasarnya sebagian besar warga Iran itu relijius, dan mereka taat pada ulamanya. Dengan begitu banyaknya korban penindasan, maka muncullah gerakan dari para ulama yang dikomandani almarhum Ayatullah Khomeini.
Kenapa tidak banyak perlawanan berarti dari pengikut Syah Reza pada waktu revolusi itu dari rakyat Iran sendiri ? Karena 90 persen rakyat Iran mendukung. Pertumpahan darahnya tidak menjadikan Iran menjadi lautan merah. Dengan adanya Revolusi dan sistem negara beralih dari monarkhi menjadi Republik Islam, secara otomatis aset negara yang tadinya dimiliki asing menjadi milik pemerintah. Itu nasionalisasi dengan konsep revolusi.
PT. Freeport Indonesia |
Bagaimana dengan Indonesia ?
Sedikitpun situasinya tidak sama. Masyarakat kita masih terpecah-belah baik dalam pandangan politik maupun agama. Kasus sampit, sampang, singkil, tolikara adalah contoh2 nyata dimana masih banyak dari kita yang belum dewasa. Belum lagi kalau ada masalah, dikit2 teriak minta merdeka. Momen seperti 1998 memang bagus, dan hitung saja berapa banyak korban meninggal ?
Me-nasionalisasi Freeport dengan begitu saja hanya karena "kita harus gagah" karena itu milik kita, tentu bukan tanpa dampak.
Iran sesudah berhasil revolusi langsung digempur oleh Irak, yang ditumpangi oleh AS melalui Saddam. Perang 8 tahun lamanya. Sesudah menang, gempuran disusul dengan embargo ekonomi 30 tahun lamanya.
Mereka bertahan karena hanya mempunyai satu pimpinan. Indonesia mirip Suriah, dimana ada pro kontra terhadap pemimpin.
Sebagai catatan, perang Suriah itu juga diawali dengan kontrak kerjasama antara Suriah, Iran, Rusia dan China dalam pembangunan pipa gas disana. Barat yg tidak setuju kemudian membangun aliansi dengan negara2 arab seperti Saudi memanfaatkan situasi pro dan kontra itu untuk membangun Suriah baru dimana Presidennya bukan Bashar Assad.
Ambillah contoh gampang, AS diusir dan Freeport dikerjasamakan dengan Rusia atau China, misalnya. Mereka yang tadinya melempar isu supaya Freeport harus direbut dari AS, akan melempar isu kembali bahwa Rusia komunis dan China itu aseng.
Ambillah contoh kita kerjakan sendiri, misalnya. Maka akan muncul gerakan2 separatis di beberapa pulau, terutama di Papua. Freeport akhirnya sulit produksi karena kerusuhan yg diciptakan akhirnya meninggalkan banyak pengangguran dan pengangguran itu dampak sosialnya kemana2.
Inilah yang pernah ditakutkan Maroef Sjamsudin, karena ia mantan BIN dan lama di Papua. Meski ia sekarang Presdir, tapi ia tidak bisa apa2 ketika pimpinan puncaknya mengambil keputusan. Selama ia disana, ia bisa melakukan balancing terhadap hubungan antara 2 negara.
Pertanyaannya, siapkah kita melakukan nasionalisasi hanya karena "harus gagah" ?
Nasionalisasi harus, tetapi dilakukan dengan cara yang elegan. Kepemilikan saham dikuasai setahap demi setahap. Era perangnya beda. Sekarang perang negosiasi di atas meja. Otak yang main, bukan otot. Kalau kita sudah mayoritas, toh kita yang atur perusahaan. Dengan kepemilikan mayoritas nantinya, kita sekalian belajar tehnologi terbaru yang mereka punya termasuk menguasai pasar penjualan.
Jadi ini bukan masalah saya tidak setuju nasionalisasi, seperti yang teman saya bilang. Hanya bagaimana caranya saja, kita kan bukan preman. Kita harus lebih pintar. Jangan seperti kata Imam Ali as : "Orang yang akalnya melemah, kebanggaan dirinya menguat." Itu bodoh namanya.
Cara mudah mendeteksi apa yang akan terjadi nantinya, lihat kemana tokoh2 KMP berpihak. Kalau mereka teriak2 pemerintah harus nasionalisasi segera, berarti ada udang dibalik banyaknya personil JKT48.
Pertanyaan lanjutan, itu udang ngapain aja disana ? Seneng bener ma yang bening-bening...
Penulis: Denny Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar