Seharusnya malam ini ia bisa membawa pulang nasi goreng kesayangan anaknya. Entah sudah berapa lama ia tidak mampu menyenangkan hati mereka, karena kesulitan ekonomi yang seakan tidak pernah selesai. Kebahagiannya hanya ketika sampai di rumah, ia melihat anaknya yang tumbuh dengan semua cerita lucu yang diomelkannya dengan lidah yang tertatih.
Seharusnya malam ini ia membawakan istrinya sepasang baju rumah. Ia sudah tidak tahan melihat baju istrinya yang dari ke hari itu saja. Lusuh, sobek dimana-mana, tetapi ia tidak mengeluhkannya. Ia ingin melihat orang yang mendampinginya sekali-sekali berbinar matanya. Hanya itu kebahagiaannya.
Tetapi malam ini semua sia-sia. Ia bersandar di pojok sebuah mall, menatap hujan yang seakan tidak bersahabat dengannya. Ia menyelimuti dagangannya dengan plastik, melindunginya karena itu adalah barang paling berharga miliknya.
Diambilnya sebuah terompet. Ia memeluknya. Tidak terasa airmatanya menitik mengingat bahwa untuk kali inipun ia gagal membahagiakan orang-orang yang dicintainya.
Tanpa sadar matanya tertumbuk pada bungkus terompet baru itu. Sebilang huruf yang sangat dikenalnya. Kaligrafi indah yang tertumpuk diantara kertas lainnya. Ia tidak mampu membaca apa artinya, tetapi ia tahu bahwa itu adalah bagian dari kitab suci, sebuah sampul.
Memorinya sejenak terbang ke masa lalu ketika hidupnya begitu tenang. Masa kecil tanpa beban. Ketika ia beramai-ramai sembahyang di mushola kecil di kampungnya dan tumpukan Alquran berjejer menanti dibacakan mereka.
Ia semakin menangis. Teringat betapa semua itu sudah lama ditinggalkannya. Teringat betapa ia sibuk memenuhi semua hidupnya dengan kebutuhan duniawi. Baru disadarinya, betapa kosong sekarang jiwanya. Ia tidak lagi pernah berdoa, tidak pernah mendekat kepada-Nya.
Hujan semakin deras, pak Munir tenggelam dalam isaknya. “Tuhan, ampuni aku yang telah melupakan-Mu..” Ia merintih mengingat betapa ia mencari kebahagiaan yang hakiki, yang tidak pernah ditemukannya dalam setiap langkah kakinya. Ia merintih ketika sebuah terompet mengingatkannya, menohok relung hatinya.
Tiba2 segerombolan manusia berjubah datang. Warnanya putih, matanya merah membara. Terompetnya dirampas, ia dimaki. Ia mempertahankan hak miliknya, tetapi ia ditendang. Sayup-sayup ia mendengar kata “Penghinaan…” Entah apa yang membuat mereka merasa terhina sampai begitu marahnya.
Terompet Tahun Baru |
Pak munir mengayuh sepeda dengan gontai. Tuhan sekejap datang padanya, dan kini hilang sudah ditelan malam.
Selamat tahun baru, wahai manusia yang hidupnya sempurna.
Penulis: Denny Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar