Adagium ini biasa disematkan untuk dunia politik. Dalam politik pertemanan dan permusuhan hanya didasarkan pada persamaan atau perbedaan kepentingan. Dengan kata lain, dalam politik, setia kawan adalah barang langka.
Fadli dan Fahri |
Tapi saya kaget, ketika Fadli dan Fahri sepertinya amat sangat menghargai perkawanan. Ini seperti menolak adagium tidak ada kawan abadi dalam politik. Pembelaanya pada Setya Novanto luar biasa. Bahkan Fadli pernah berujar, Gerindra akan pasang badan buat Setya. Padahal Golkar saja, partainya Setya Novanto memilih komentar yang lebih datar. "Sebagai kader Golkar kami akan membela. Tapi jika nanti terbukti salah, kami ikuti prosedurnya," begitu kata Idrus Marham.
Apakah pembelaan Fadli dan Fahri itu sebuah anomali dalam politik? Rekaman sudah beredar. Setya sudah mengakui pertemuan dengan Freeport. Lalu kenapa masih ngotot dibela? Setia kawan? Sebuah komitmen yang diikat dengan ketulusan persahabatan? Sebuah anomali dalam dunia politik?
Begini. Jika Setya Novanto dinyatakan melanggar etika, secara logis dia tidak punya lagi legtimasi moral duduk sebagai ketua DPR-RI. Dia harus lengser dan posisinya digantikan orang lain. Lalu bagaimana proses pergantiannya?
Disinilah letak masalahnya. Naiknya Setya, Fadli dan Fahri sebagai ketua dan wakil ketua DPR didapatkan dengan mengubah sistem pemilihan. Jika mengikuti pola sebelumnya, ketua DPR harusnya dijabat oleh partai pemenang Pemilu, dalam hal ini PDIP.
Tapi karena waktu itu kekuatan KMP agak dominan di DPR, maka dibuatlah perubahan cara memilih pimpinan DPR dan kelengkapan dewan. Penguasaan pimpinan DPR oleh Setya, Fadli dan Fahri lahir dari semacam rembukan diinternal KMP. Termasuk Taufik Kurniawan (PAN) dan Agus Hermanto (Demokrat).
Jika karena kasus papa minta saham posisi Setya sebagai ketua DPR goyah, dengan sendirinya peluang pergantian bukan hanya satu kursi ketua saja. Ada kemungkinan juga satu paket ketua DPR dengan wakil-wakilnya sekalian.
Setelah PAN hijrah ke barisan pemerintah sementara Golkar dan PPP belum solid, kekuatan KMP di DPR hanya tinggal PKS dan Gerindra saja. Hitung-hitungannya mana mungkin mereka menang jika terjadi pertarungan politik di DPR.
Nah, pembelaan membabi buta terhadap Setya dapat kita lihat dalam bingkai ini. Sebagai wakil ketua, posisi mereka juga rawan jika peluang pergantian ketua DPR terbuka lebar.
Jadi ketika statemen Fadli berubah lagi, "Gerindra tidak pasang badan buat Setya Novanto," itu bisa diartikan mereka tidak mau rubuh bareng-bareng. Jika Setnov tidak bisa lagi diselamatkan, dia akan dibiarkan tenggelam sendiri.
Fadli dan Setnov |
Soal tenggelam atau tidaknya Setnov pada akhirnya bergantung pada seberapa besar kepentingan orang lain berada di tangannya. Sebab naganaganya kasus ini tidak sesimpel perkiraan kita. "Kalau mendengar rekaman utuhnya... ngeri," ungkap seorang politisi. Kita hanya bisa menduga-duga apa makna kalimat 'ngeri' disini.
Walhasil dalam kasus ini, akhirnya setiap orang sebetulnya sedang menjalankan kepentingannya sendiri-sendiri. Kepentingan untuk ngeles, cuci tangan, cari selamat, memagari kedudukan yang sudah digenggamnya, atau menjaga agar kasusnya tudak melebar.
Tetap saja yang ada adalah kepentingan sejati.
So, dalam soal perkawanan, sebaiknya kita jangan sering-sering meniru para politisi, deh...
Penulis: Eko Kuntadhi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar