Di Bangsal Wisomarto setiap hari banyak orang duduk untuk menikmati suasana kraton atau sekedar melepas lelah. Saya termasuk di antara orang yang ingin menikmati suasana Kraton Surakarta.
Namun di situ saya menemukan banyak pelajaran kehidupan yang mentakjubkan. Berikut adalah salah satunya.
Wanita Jawa |
Ibu tersebut sangat ramah, sehingga kami bisa berbicara cukup banyak. Dan akhirnya beliau mau menceritakan kisah hidupnya.
“ Sudah lama jualan telor Bu?” tanya saya.
“ Sudah sejak gadi mas” jawabnya
“ Ooo..sudah lama sekali...lha putranya berapa sekarang?”
“ Anak saya 1,sudah bekerja. Bersyukur, sudah mapan mas”
“Wah, lha kalau anak sudah mapan, koq ibu masih bekerja?” tanya saya penasaran
“o, iya jangan mengharapkan anak to mas. Selama masih bisa bekerja, ya harus cari penghidupan sendiri. Supaya bisa memberi cucunya” jawabnya sambil tersenyum.
“ Kalau bapak bekerja dimana?”
Ibu itu diam sebentar, lalu jawabnya, “ Bapak tidak ada di rumah”
“ Maksud ibu”
“ ya, ini lelakon yang harus saya jalani”
“ Ada sesuatu terjadi bu?”
“ Iya, mas. Bapak sedang kena goda orang” jawabnya sambil senyum sedih.
“Apa yang terjadi Bu” tanya saya ingin tahu.
“ Bapak beberapa kali kecanthol wanita...” jawabnya dengan pelan
“ o, iya? Terus bagaimana?” saya lebih ingin tahu.
Ibu itu diam agak lama. Kemudian dengan suara berat ibu tersebut melanjutkan.
“ Bapak beberapa kali kecanthol wanita. Tapi dulu bapak selalu pulang. Namun itu berulang dan tidak kapok-kapok. Bapak masih merasa kuat, belum merasakan hukuman Tuhan. Tapi ya saya selalu terima kalau bapak pulang.”
“Wah, berat ya Bu..”
“Berat mas, tapi ya ini lelakon. Bagaimanapun saya harus menjalani dan tetap harus menerima Bapak. Bagaimanapun dia adalah suami saya dan ayah dari anak saya”
Saya terpesona dengan jawabannya yang indah. Karena itu saya ingin tahu lebih lanjut.
“ Kalau yang sekarang bagaimana?”
“ Ini juga sudah lama mas. Bapak bekerja di satu perusahaan. Lalu kecanthol dengan juragannya. Entah bagaimana juragannya cinta kepada bapak. Nah, setelah dengan perempuan ini bapak tidak peduli dengan keluarga.” Ibu itu menghela nafas berat.
“Oooo, bgt ya?”
“Pulangnya jarang, dan malah kemudian tidak pulang. Sampai hari ini tidak pulang.”
“ Wah, sejak kapan itu bu”
“ Sejak anak saya SD”
“oo, sudah lama sekali?”
“Iya mas. Anak saya marah sekali dengan ayahnya. Dia sering mengatakan kata-kata yang tidak baik. Tapi saya selalu berkata kepada anak saya untuk tidak mengatakan hal-hal buruk tentang ayahanya. Bagaimanapun dia adalah ayahnya. Anak harus tetap menghormati ayahnya. Sekarang ayahnya sedang gelap mata, tidak tahu mana yang benar. Namun anak tidak boleh berkata buruk tentang ayahnya dan tidak boleh tidak hormat kepada ayahnya. ”
Wah, saya terpesona dengan ibu tersebut. Kagum sekali. Inilah wanita jawa sejati. Seseorang yagn mengerti hakekat hidup.
Lalu ibu itu melanjutkan,” Sebagai wanita saya pernah sakit hati mas. Tapi terus saya pupus. Ini adalah lelakon hidup. Suami saya sedang dalam kegelapan, saya tidak boleh ikut-ikutan. Satu waktu suami saya akan sadar. Mungkin setelah nanti menerima akibat dari kesalahannya. Sejak itu saya bertekad yang penting saya bekerja keras untuk menghidupi anak saya. Bersyukur anak saya sudah bisa mandiri”
“ Bagaimana kalau satu waktu bapak kembali Bu?”
“ Saya akan menerimanya mas. Saya adalah istrinya hingga hari ini. Saya akan menunggunya. Saya mengatakan kepada anak saya, saya akan menunggu bapakmu. Dan kalau nanti bapak pulang dalam kondisi menerima hukuman,saya siap merawatnya sampai sembuh ataupun sampai dipanggil yang maha kuasa...”
Saya terdiam. Saya seperti berada di depan seorang filsuf.Ini bukan sekedar penjual telor. Ini pemilik kehidupan.
Saya bertanya untuk menguatkan,” Ibu siap merawat Bapak, kalau seandainya bapak pulang, tapi dalam kondisi stroke atau mengalami keadaan lainnya?”
“ Ya, mas. Itu sudah tanggung jawab saya sebagai istri...Saya siap merawatnya...” jawabnya dengan penuh kesungguhan.
Wah, bagaimana mungkin orang bisa memiliki jiwa sebesar itu. Saya memujinya, tapi ibu itu berkata, itu hal biasa. Itu sudah kewajiban hidup. Katanya lagi,” Orang lain yang sakit saja saya mau menolong , apalagi ini suami dan ayah dari anak saya”
Kami masih berbincang beberapa hal lagi, dan akhirnya ibu tersebut melanjutkan perjalanannya sambil menggendong tenggok di punggungnya.
Saya memandanginya. Saya belajar banyak dari wanita tersebut. Wanita jawa sederhana,tapi itulah wanita jawa sejati yang pernah saya kenal. Wanita yang memahami kehidupan sebagai orang jawa. Dia tidak belajar dari bangku sekolah atau dari agama, dia belajar dari leluhur melalui kehidupannya.
Saya kagum, tapi juga merasa malu dengan kekerdilan hidup saya.
Penulis: Gunawan Sri Haryono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar