Senin, 15 Mei 2017
TUHAN DALAM SECANGKIR KOPI
"Saya selalu menganalogikan hidup ini seperti sebuah game, permainan elektronik.."
Temanku membuka percakapan dengan gayanya yang - seperti biasa - lugas, waktu kami sedang nongkrong di warung kopi sore hari. Ia selalu bisa menyederhanakan penjelasan dengan perumpamaan2 dalam gaya bahasa awam dan mudah dimengerti karena membawa contoh sesuatu yang dikenal.
"Kita manusia ini sejatinya hidup mencari poin-poin bonus yang akan membawa kita pada level-level permainan yang lebih tinggi.
Kita yang harus mencari dimana poin-poin itu. Ada yang terlihat di depan mata dan ada yang tersembunyi di batu bata yang harus disundul supaya poinnya keluar..
Kerjaan kita dalam hidup ini hanya mengumpulkan poin-poin itu saja, tidak lebih. Dan ketika poin itu terkumpul, maka level baru akan terbuka.
Level baru ini tingkat kesulitannya lebih tinggi, tetapi nilai poinnya pun lebih banyak. Dan disetiap level kita akan menemukan musuh-musuh baru yang semakin lama semakin kuat.
Ada musuh yang cukup kita hindari saja, tetapi ada juga musuh yang harus kita lawan sebagai pembuka pintu level selanjutnya.."
Aku mendengarkannya dengan penuh perhatian. Menarik sekali penjelasannya sehingga aku mengabaikan kopiku yang tadinya panas mendingin dengan sendirinya.
Tidak sabar aku pun bertanya, "Dalam kehidupan nyata, poin-poin itu diartikan sebagai apa ?"
Temanku tersenyum. Ia menyeruput kopinya dengan tenang. Tampak kestabilan dalam dirinya karena ia memahami apa sejatinya manusia itu dan fungsinya di dunia.
"Poin-poin itu adalah amal. Banyak manusia yang salah mengira bahwa ia di dunia tugasnya mengumpulkan harta. Kesalahan pandangannya itu dampak dari ia mengukur dirinya dan orang lain dengan materi. Sehingga ia pun menjadi penilai dan selalu menilai manusia lain dengan materi juga..
Orang-orang yang selalu memandang dunia ini dengan materi, lupa bahwa ia harus mengumpulkan poin-poin amal dalam hidupnya. Ia - di dalam kehidupannya - menjadi manusia yang merugi, karena hartanya akan lenyap bersamaan dengan ketiadaan dirinya di dunia ini.
Sedangkan musuh-musuh yang muncul dalam setiap level adalah nafsunya sendiri. Nafsu yang harus ia hindari dan yang harus ia perangi. Ketika ia tidak berhasil mengalahkan nafsunya sendiri, sesungguhnya ia terus berada dalam level yang itu-itu saja tapi ia tidak sadar diri.
Dan ketika ia berhasil mengalahkan nafsunya di level yang lebih rendah, maka di level selanjutnya ia akan bertarung dengan level nafsunya yang semakin kuat.."
Temanku berhasil menghadirkan tentang nilai-nilai sejati yang harus dicari manusia di dunia ini. Bukan materi, tetapi nilai dalam bentuk amal yang tidak mempunyai wujud di alam materi ini.
Aku mengerti sekarang. Betapa mudah sebenarnya ketika kita mengenal apa, siapa dan bagaimana kita di dunia ini. Mengenal diri kita dengan memahaminya, sejatinya adalah pengetahuan manusia yang tertinggi.
"Lalu apa gunanya poin-poin amal yang kita kumpulkan itu ?" Tanyaku penasaran.
Temanku menatapku. "Kamu tahu bahwa sesudah alam materi ini, ada alam lain yang akan kita jalani ? Alam non materi yang berupa perjalanan kedua kita sebelum menghadapi hari pengadilan nanti.
Disanalah poin-poin amal itu berfungsi. Poin amal itu adalah bekal kita, penyelamat kita sehingga kita tidak buta dan tersesat di alam yang tidak kita ketahui.
Poin amal itu menjadi kompas, menjadi pelita, menjadi penyelamat kita saat kita menghadapi kesulitan. Bayangkan, ketika kita tidak punya bekal di alam itu nanti..."
Ah, begitu rupanya. Sebuah rahasia terbuka. Sederhana seharusnya, tetapi banyak dari kita yang lupa bahwa ada perjalanan kedua nanti. Perjalanan di dunia yang tidak kita ketahui..
Sore itu hujan gerimis. Terbuka lagi satu bab dalam kehidupan ini. Kopiku jadi terasa nikmat sekali..
"Kenapa dunia ini dinamakan dunia ? Karena ia paling rendah dari segala sesuatu.." Imam Ali as.
Penulis: Denny Siregar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar