Rabu, 06 Juli 2016
TUAN RUMAH TERKEJAM DI HARI YANG FITRI
Saya tahu, teman saya adalah tuan rumah yang kejam. Tapi lebaran kali ini, saya tetap harus mendatanginya. Seberapa kejamkah dia, hingga saya tidak mau berlebaran?
Saya rasa sekejam apapun dia sebagai tuan rumah, saya tidak punya alasan untuk memutus silaturahmi.
Jadi pagi ini, di hari raya yang agak mendung, saya telah duduk di ruang tamunya. Setelah berbasa-basi, saya melirik kaleng Khong Guan di atas meja. Saya membayangkan sebentar lagi menggigit biskuit dengan kismis di dalamnya. Ini salah satu jenis yang paling saya suka.
Ternyata kekejaman tuan rumah belum berubah. Saat saya membuka kaleng biskuit, saya hanya menenukan rengginang warna merah jambu. Keras dan kasar. Ini jenis penipuan klasik saat lebaran. Mungkin nasi aking untuk membuat rengginang kurang lama dijemurnya, hingga alot digigit. Butuh setengah jam untuk menghabiskan sepotong rengginang.
Meskipun dia adalah tuan rumah yang kejam, tapi saya adalah tamu yang beradab. Tidak mungkin saya campakkan rengginang alot itu di depan mukanya. Itu sungguh tidak sopan.
Obrolan kami terus dilanjutkan. Mata saya tertumpu pada toples nastar. Bentuknya bulat terbuat dari plastik transparan. Isinya kelihatan masih penuh. Saya tertarik dengan irisan keju kecil di ujungnya.
Pelan-pelan tangan saya meraih toples kecil itu. Tanpaknya masih baru. Mungkin karena saya tamu pertama yang datang ke rumahnya pada lebaran ini. Tapi saya kesulitan membuka tutupnya. Sepanjang obrolan saya sibuk mencari ujung solatip yang merekatkan tuup toples itu. Sial. Saya menghabiskan 30 menit berbasa-basi dengan jari tangan terus memutari tutup toples, hasil akhirnya nihil. Entah dimana ujung solatip itu.
Sudahlah. Nastar memang belum rezeki saya, pikirku. Bagaimana jika kacang atau kolang kaling? Hmmm, boleh juga. Tapi kacangnya juga berada di toples yang sama dengan nastar. Masih penuh isinya. Saya trauma dan tidak berani lagi mencari ujung solatipnya. Trauma itu telah meninggalkan bekas sangat dalam pada diri saya.
Mungkin hanya manisan kolang-kaling rezeki saya. Penutupnya pasti gampang dibuka, sebab ini adalah toples beling. Tidak mungkin ada solatip di tutupnya. Alhamdulillah, benar saja. Bukanya memang gampang.
Tapi, busyet dah. Rupanya tuan rumah yang kejam ini tidak menyiapkan piring kecil beserta sendoknya. Bagaimana caranya saya makan manisan kolang kaling, yang licin dan lengket itu? Apakah saya harus mencomot sebiji lalu memasukannya langsung ke mulut? Ah, itu sangat tidak sopan.
Tapi apakah saya harus pulang dengan tangan hampa? Pikiran-pikiran berkecamuk. Berbagai rencana disusun, tapi untuk menjalankannya saya butuh situasi yang kondusif.
Untung saja ada tamu lain yang mampir ke rumahnya. Sepertinya tamu itu cuma sekadar mengucapkan selamat lebaran. Tuan rumah beranjak untuk menyambut tamunya yang baru.
Buru-buru tangan saya masuk ke toples manisan kolang-kaling, mencomot satu buah. Begitu saya angkat kolang-kaling yang licin itu malah melompat keluar. Melejit dari genggaman tangan. Jatuh di lantai, dekat kaki tuan rumah yang kejam itu.
Untung dia tidak memperhatikan. Saya rasa dia masih sibuk berbasa-basi dengan tamu barunya.
Kakinya bergerak sedikit. Saya mulai khawatir, ketika langkahnya mendekati biji kolang kaling di lantai meramik itu. Ah, benar saja. Dia menginjak kolang-kaling yang licin, lalu --gubrak! Saat tubuhnya oleng sebelah tanganya meraih taplak meja. Segelas kopi ikut tumpah menyiram baju koko barunya yang berwarna putih bersih.
Setelah dia membersihkan diri, saya buru-buru pamit pulang. Sebetulnya dia menahan saya, tapi seperti biasa, saya beralasan harus ke rumah famili lain. Jadi dia tidak mungkin menahan saya terus di ruang tamunya.
Ketika berpamitan, dia memeluk saya sangat erat. Saya pikir dia merasa berat melepaskan sahabat lamanya pulang. Kami memang jarang bertemu. Mungkin hanya setahun sekali saja.
Tapi rupanya bukan itu. Dalam pelukan eratnya dia berbisik. "Aku tahu kamu sengaja menjatuhkan kolang-kaling ke dekat kakiku," katanya. Pelukannya tambah erat.
"Kamu juga sengaja menambah solatip di toples nastarmu," jawabku tidak mau kalah. Lalu dia melepaskan pelukannya. Memandang wajahku dalam-dalam.
"Kamu tidak berubah," katanya lagi. Kali ini wajahnya serius.
"Kamu juga tidak berubah. Lebaran tahun lalu, semurmu cuma berisi lengkuas. Aku makan ketupat hanya dengan kuah semur sambil menghisap-hisap lengkuas. Aku masih ingat itu," balasku.
"Tapi tahun lalu aku menyediakan permen karet," dia seperti membanggakan diri.
"Iya. Kamu juga menyajikan tepung gula. Kalau permen karet sudah tidak manis, kamu mempersilahkan tamumu mencocolnya dengan tepung gula. Begitu terus berulang-ulang. Mulut kami gak sempat makan kue yang lain," balasku.
"Aku berusaha jadi tuan rumah yang baik meski harus mengorbankan baju baruku."
"Siapa bilang. Kamu adalah tuan rumah yang kejam."
Lantas kami saling berpandangan. Dalam sekali.
Lalu kami tertawa. Tertawa sangat keras di hari yang fitri itu. Karena hidup begitu menyedihkan, kami ingin tertawa-tawa saja sepuasnya.
Penulis: Eko Kuntadhi
Selamat Idul Fitri 1437 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar